Asas pembatasan minimal dan asas kesebandingan (ekuivalen)

4. Asas pembatasan minimal dan asas kesebandingan (ekuivalen)

Terpidana selama kemerdekaan mereka dirampas akan tetap mempertahankan sebanyak mungkin hak yang mereka miliki sebagai warga bebas. Pengurangan atau pengenyampingan hak-hak dasar dari orang-orang yang dirampas kemerdekaannya hanya diperbolehkan sepanjang dipandang perlu dalam rangka tujuan penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan itu sendiri.

Titik tolaknya ialah bahwa perampasan kemerdekaan adalah hukuman. ‘Esensi dari perampasan kemerdekaan ialah disingkirkannya pencari keadilan dari lalulintas pergaulan masyarakat’. 4 Sebaliknya pada tahanan/ narapidana sejauh mungkin diberikan hak-hak yang dalam kehidupan masyarakat bebas tersedia bagi mereka.

Asas pembatasan minimal (het beginsel van minimale beperkingen) antara lain dimaktubkan di dalam undang-undang pokok penitensier (Penitentiaire Beginselenwet (Pbw)). Ketentuan Pasal 2(4) Pbw berbunyi: ‘Terhadap orang-orang yang dikenakan pidana atau tindakan dalam bentuk perampasan kemerdekaan tidak akan dikenakan pembatasan (hak) lain terkecuali yang dipandang perlu dalam rangka mencapai tujuan perampasan kemerdekaan atau demi kepentingan penegakan ketertiban

3 Hirschi 1969 4 Handboek Rechtspositie Gedetineerden, Den Haag: Sdu uitgevers, 2004, hlm. 75-77

Martin Moerings

atau yang dipandang perlu dalam rangka pemeliharaan keamanan (dalam institusi)’.

Berkenaan dengan pemeliharaan kesehatan, titik tolak dari asas pembatasan minimal berarti bahwa layanan jasa kesehatan yang diberikan secara kualitatif harus sebanding dengan yang tersedia di dunia bebas di luar. Hak untuk mendapatkan layanan pemeliharaan kesehatan yang baik sebagaimana terkait dengan kebutuhan tahanan/narapidana dianggap terus ada dan tidak boleh dibatasi, terkecuali perampasan kebebasan yang (sedang) djalani menghalangi pemberian layanan tersebut. Asas kesebandingan (equivalentiebeginsel) juga dapat kita temukan kembali di dalam Memorie van Toelichting (memori penjelasan) dari peraturan tentang

penjara Eropa. 5 Aturan demikian kiranya tidak (belum) memiliki kekuat- an mengikat, namun harus dianggap sebagai rekomendasi bagaimana seharusnya memperlakukan narapidana/tahanan. Sekalipun demikian bagi penguasa di Belanda hal tersebut dianggap patokan: “Pemeliharaan kesehatan dalam institusi penitensier harus dikelola sesuai dengan norma-norma yang secara kualitatif sebanding atau setara dengan apa yang tersedia di dalam masyarakat.’

Asas kesebandingan atau kesetaraan di atas merupakan titik tolak penting untuk mengevaluasi rezim pemenjaraan, keseluruhan aturan yang berlaku dan situasi-kondisi kehidupan di lembaga penitensier. Jika ini kita lakukan baik untuk Belanda maupun Indonesia, dapat diduga hasilnya akan jauh berbeda karena taraf kesejahteraan dan kehidupan kemasyarakatan di Indonesia berbeda dibanding dengan Belanda.

Kewenangan untuk mengurangi atau mengenyampingkan hak- hak dasar bisa saja ditegaskan di dalam peraturan perundang-undangan, namun di dalam praktiknya direktur (kepala lembaga pemasyarakatan atau sipir) memiliki kewenangan diskresioner, untuk misalnya menilai apakah ketertiban dan keamanan di dalam lembaga yang dipimpinnya terancam bahaya atau tidak.

Titik tolak pembatasan minimal selintas terkesan sangat jelas. Namun seperti telah disinggung di atas ruang untuk membatasi lebih jauh atau mengurangi sejumlah hak lainnya juga tersedia dalam rangka pelaksanaan dan/atau pencapaian tujuan-tujuan lain dari pemenjaraan, se perti misalnya demi kepentingan menjaga keamanan masyarakat. Justru tujuan (pemidanaan) inilah yang tahun-tahun terakhir ini semakin berperan. Di dalam sub-8 tulisan ini, hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut. Juga kepentingan memelihara ketertiban dan keamanan internal, sekalipun bukan merupakan tujuan resmi pemidanaan sebagaimana dibahas di muka, tetap sangat penting demi kelangsungan kehidupan

5 C.Kelk, Nederlands detentierecht, tweede herziene druk, Deventer: Kluwer, 2003, hlm.266.

Apakah pidana penjara efektif?

sehari-hari di penjara, dapat menjadi landasan pembenaran untuk, misalnya, membatasi ketat kebebasan bergerak dari narapidana/tahanan. Demikian, maka narapidana yang diduga bekerjasama dengan tahanan lainnya untuk mempersiapkan pemberontakan atau kerusuhan, dapat ditempatkan di dalam sel isolasi.

Juga titik tolak bahwa perampasan kemerdekaan adalah pidana (perampasan kebebasan sebagai hukuman), – dan bukan bahwa penghukuman justru dimulai seketika kebebasan dirampas (perampasan kemerdekaan sebelum/mendahului hukuman) – di dalam praktik penitensier sehari-hari kerap dikesampingkan, sekalipun tetap tidak dapat diabaikan begitu saja. Beranjak dari itu dapat dikatakan bahwa, misalnya, kualitas dan kuantitas makanan haruslah sepantasnya dan narapidana/tahanan tidak boleh hanya diberi roti dan air. Keberlakuan prinsip tersebut juga berarti bahwa narapidana/tahanan tidak perlu diikat dengan rantai pada tembok penjara atau dipasung dengan bola besi. Prinsip ini juga mengimplikasikan bahwa narapidana/tahanan berhak mendapatkan layanan informasi melalui televisi. Asas pembatasan minimal merupakan titik tolak penting untuk mencegah kecenderungan menambah derita mereka yang berada di penjara. Lebih lagi prinsip ini, sekalipun lebih mendasar, juga sejalan dengan kewajiban kita untuk menganggap serius dan mengejewan tahkan prinsip resosialisasi. Dikatakan lebih mendasar karena menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi lembaga penjara, sekalipun tidak difungsikan secara khusus sebagai lembaga pemasyarakatan kembali. 6

Di Indonesia titik tolak pelaksanaan pidana penjara ternyata serupa dengan yang digambarkan di atas, yakni bahwa narapidana/tahanan hanya akan dikenakan derita yang muncul dari dirampasnya kebebasan mereka: pemenjaraan sebagai pidana (derita). Mereka-pun mempertahankan hak- hak yang diberikan hukum kepada mereka. Namun praktik jauh berbeda. Perampasan kebebasan sebagai hukuman kiranya hanya berlaku bagi narapidana/tahanan dengan status sosial tinggi. Mereka mendapatkan dan menikmati fasilitas yang lebih baik, kadangkala sel yang mereka tempati diperlengkapi perabotan lengkap dan pada/selama siang hari mereka boleh tinggal di rumah mereka sendiri. Ada kesenjangan perlakuan yang diberikan dan dinikmati oleh penjahat kerah putih (white-collar criminals) dengan penjahat biasa/jalanan (blue-collar criminals). Para narapidana yang memiliki uang dapat membayar penyediaan sejumlah fasilitas yang jauh lebih baik daripada yang dinikmati narapidana kebanyakan. Kita dapat menyebutnya sebagai diskriminasi Denny Indrayana, wakil menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang juga guru besar hukum tata negara dan mantan aktivis antikorupsi aktif mengawasi dan mencegah terjadinya

6 De Lange en Mevis 2009 hlm. 389

Martin Moerings

diskriminasi terhadap para pelaku kejahatan kerah putih. Ia kerap secara incognito melakukan pemeriksaan mendadak (sidak) ke pelbagai lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) untuk mencari ada/ tidaknya diskriminasi demikian.