Sistem peradilan pidana

2. Sistem peradilan pidana

Hingga kini masih banyak suara-suara pesimis tentang eksisnya suatu sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) di negara kita. Padahal sistem ini sangat penting dalam menanggulangi kejahatan di setiap negara. Dalam kepustakaan sering disebut bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan agar berada dalam batas-batas

toleransi masyarakat. 3

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta

mendapat pidana. 4 Di antara tujuan sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. Dengan meningkatnya kasus kejahatan yang membawa korban, sistem peradilan pidana diharapkan mencapai tujuannya, terutama dalam menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi,

3 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.cit, hlm. 84.

4 Ibid.

Topo Santoso

agar kepercayaan masyarakat, terutama kepercayaan korban, meningkat. Sistem ini juga diharapkan mencegah korban-korban baru.

Umumnya, setiap mencuat suatu kasus kejahatan, masyarakat segera mengharap kepolisian bertindak cepat dan lembaga pengadilan menghukum pelaku seadil-adilnya. Tapi, perlu diingat bahwa masih ada komponen lain dari sistem ini, yaitu kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama secara terpadu. Namun, pada realitasnya hal itu ternyata lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Kasus mondar-mandirnya BAP dalam suatu perkara misalnya, kerap dituding sebagai kurangnya saling pengertian sub-sistem kepolisian dan Kejaksaan.

Berbagai masalah dan kendala sering menghantam para aparat penegak hukum kita, seperti polisi, dan lembaga peradilan, hingga lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan fungsinya sebagai satu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Kasus-kasus yang mendera bagian-bagian dari sistem ini sepertinya tidak pernah habis. Polisi sebagai subsistem terdepan dari sistem ini terus mendapat sorotan, misalnya soal kekerasan yang digunakan polisi dalam menjalankan tugasnya. Pengadilan sebagai sub-sistem lainnya pun tidak kalah mendapat kritik tajam akhir- akhir ini. Isu-isu seputar pengaturan vonis, kolusi, percaloan, dan tiadanya independensi hingga lahirnya putusan-putusan kontroversial, menambah semaraknya tudingan bagi subsistem ini. Kaburnya beberapa narapidana “penting”, serta diskriminasi perlakuan terhadap beberapa narapidana juga diarahkan kepada subsistem lainnya, yaitu Lembaga Pemasyarakatan. Jadi kian lengkaplah kritikan kepada semua bagian sistem ini. Maka, menjadi pertanyaan apakah dengan keadaan demikian sistem ini dapat berhasil dalam tugasnya.

Adalah tidak mudah merumuskan apakah tugas serta fungsi penegakan hukum tersebut sudah tercapai atau belum. Namun masyarakat awam yang mengikuti permasalahan kriminalitas melalui media massa, tidak akan peduli dengan berbagai analisa rumit. Bila realitasnya fenomena kejahatan dan pelanggaran hukum meruyak, masyarakat akan cepat berkesimpulan bahwa sistem ini telah gagal menjalankan fungsinya. Begitu pula, masyarakat bisa menjadi ragu-ragu akan ketangguhan dan keprofesionalan para petugas yang kelihatan masih “bingung” aturan mana yang akan dipakai serta siapa yang harus menangani suatu kasus.

Memang kita tak bisa mengharap semua bagian dari sistem per- adilan pidana akan berpandangan sama dalam melihat setiap persoalan. Tetapi untuk suatu tugas utama seperti penyidikan ini, perbedaan itu bisa fatal, sebab bisa jadi tujuan penegakan hukum (misalnya dalam penanggulangan korupsi), akan dikalahkan oleh “ribut” benar-salahnya secara prosedural. Tampaknya perlu diingatkan kembali bahwa sistem ini memiliki tujuan sama dalam menanggulangi kejahatan, jadi persoalan yang

Suatu tinjauan atas efektivitas pemidanaan

ada perlu segera dipecahkan agar tujuan ini tidak semakin menjauh. Proses perkara pidana biasa dimulai ketika seseorang masuk ke dalam sistem peradilan pidana sebagai seorang tersangka; selanjutnya ia diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa, dan jika terbukti maka ia dapat

djatuhi pidana, yang umumnya adalah penjara. 5 Hukuman djatuhkan kepada seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dengan ber- bagai argumen, antara lain agar si pelaku tertangkal dan tidak meng ulangi lagi perbuatan jahatnya (special deterence). Umumnya orang mengukur keberhasilan atau efektivitas pemidanaan itu dengan angka residivisme. Jika angka residivisme tinggi maka pemidanaan dianggap gagal atau tidak berhasil mencapai tujuannya. Sebaliknya jika angka residivisme rendah maka proses pemidanaan itu dianggap berhasil. Masalahnya, tidak selalu mudah melihat hubungan antara proses pemidanaan itu dengan angka residivisme. Jadi, kita mesti mempelajari berbagai hal terkait dengan fungsi penangkalan (deterence) dari pemidanaan itu.