Pengamanan dalam masyarakat penuh risiko
8.1 Pengamanan dalam masyarakat penuh risiko
Kesejahteraan materiil yang dinikmati masyarakat dunia Barat mencapai tahapan yang mengagumkan, namun serta merta memunculkan risiko tidak tampak dan tidak terduga sebelumnya. Produk-produk canggih yang melingkupi kehidupan kita sehari-hari serta makanan yang secara kualitatif sangat tinggi justru menghasilkan timbunan sampah (kimiawi) serta pemiskinan-pencemaran lingkungan. Di samping itu kita juga menghadapi risiko serta ancaman pecahnya perang nuklir dan kimia, bencana lingkungan, serta juga serangan teroris. Melekat pada kehidupan modern adalah rasa tidak aman yang terkait berkelindan dengan ancaman dan risiko kehidupan dunia modern. Oleh Ulrich Beck dengan tepat digambarkan sebagai masyarakat modern penuh risiko (de moderne
risicomaatschappj). 20 Kita hidup dalam masyarakat yang mengalami lonjakan kemajuan teknik yang tidak dapat mengendalikan dan menguasai risiko yang muncul darinya. Kemajuan teknologi betul berhasil mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun juga menyembunyikan ragam ancam an bahaya yang sulit dikendalikan. Kita selalu berupaya keras mengantisipasi semua ancaman tersebut, namun sampai saat ini, semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil apapun.
Gambaran di atas perihal masyarakat penuh ancaman (risiko) juga mencakup ancaman yang muncul dari ragam wujud kriminalitas. Kejahatan terjalin erat dengan kehidupan masyarakat dan mewujudkan diri dalam pelbagai bentuk mulai dari kekerasan yang dilakukan serampangan di jalanan (tanpa tujuan/makna: meaningless violence- zinloos geweld ) dan perampokan/pencurian yang dilakukan pecandu sampai dengan korupsi yang dilakukan penguasa serta kriminalitas yang dilakukan dengan bantuan internet. Merupakan ilusi bahwa masyarakat dapat dan mampu memberantas semua bentuk kejahatan sampai ke akar-akarnya. Kita sudah harus bersyukur bilamana mampu menekan jumlah kejahatan dan mencegah penyebarannya. Lagipula kita juga harus cermati pandangan bahwa setiap masyarakat berbeda akan mendapatkan bentuk-bentuk kejahatan yang layak diperolehnya.
Sebab itu pula semakin penting dan menyolok dorongan dan kebutuhan menjamin (memelihara) keamanan dan dengan cara itu pula ihtiar menekan risiko yang muncul di masyarakat. Dorongan
20 .U.Beck, Risk Society, Towards a new modernity. Sage Publications, London, 1992. Gagasan- gagasannya lebih lanjut ia kembangkan di dalam U. Beck, World Risk Society. Polity Press, Cambridge, 1999
Apakah pidana penjara efektif?
dan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih aman terus meningkat dan kiranya hal itu dilandaskan pada adanya ancaman nyata. Sekalipun harus pula diperhatikan bahwa rasa tidak aman tidak selalu berjalan seiring dengan perkembangan serta peningkatan kriminalitas. Demikian, maka secara keseluruhan terjadi penurunan kriminalitas dalam beberapa tahun terakhir ini – bukan peningkatan -, namun seruan masyarakat akan perlunya keamanan ditingkatkan semakin keras bergaung dan sekaligus toleransi masyarakat terhadap gangguan keamanan terus mengalami penurunan. 21
Semangat mempersenjatai diri terhadap ancaman bahaya serta risiko dapat pula kita tenggarai muncul dalam ihtiar pemberantasan kejahatan, apa yang kita kenal sebagai kebjakan justisi (penegakan hukum) beranjak dari risiko (risicojustitie). Dalam pada itu kita dapat cermati bagaimana pemikiran yang beranjak dari pengurangan risiko atau ancaman bahaya yang kemudian melandasi pembuatan perundang- undangan pidana dan penegakan hukum pidana mengandung sisi negatif. Dikatakan negatif karena berdampak buruk tidak saja terhadap upaya memberikan perlindungan hukum kepada pencari keadilan (justiabele) terhadap penguasa, namun juga dalam perspektif intrumental, mengancam ihtiar perlindungan warga oleh penguasa.
Di dalam hukum pidana formil, campur tangan jusitisi (aparat penegak hukum) sekarang ini sudah dimungkinkan pada tahapan makin awal. Dahulu ‘adanya dugaan masuk akal dilakukan tindak pidana’ (het redeljk vermoeden van een strabaar feit) terhadap seorang pelaku tertentu dianggap titik balik yang menentukan kapan polisi bisa beranjak dari tindakan pengawasan rutin dan beralih pada tahapan lanjut, yaitu melakukan penyidikan serta mendayagunakan alat-alat paksa (dwangmiddelen). Sekarang ini sekadar adanya ‘kecurigaan dilakukannya suatu kejahatan’ (verdenking van een misdrjf) secara umum sudah merupakan titik tolak untuk mulai mendayagunakan sejumlah alat/ sarana paksa, seperti penya dapan telepon, dan penggunaan polisi yang melakukan penyamaran/penyusupan dalam rangka mencari informasi (undercoveragenten). Petunjuk (aanwjzingen) adanya tindak persiapan aksi/serangan terorisme sudah memberikan landasan cukup untuk mulai mendayagunakan ragam tindakan penyidikan.
Bahkan juga di dalam hukum pidana materiil semakin kita rasakan pengaruh kebjakan penegakan hukum atas dasar ancaman/risiko. Ini tidak saja berlaku bagi perundang-undangan hukum (pidana) yang bersifat menata/mengatur (ordeningswetgeving). Inheren di dalam hukum pidana demikian ialah ihtiar menghindari atau mencegah munculnya situasi tidak
21 Wetenschappeljke Raad voor het Regeringsbeleid, De toekomst van de nationale rechtsstaat, SDU, Den Haag, 2002, hlm. 221.
Martin Moerings
aman. Ilustrasi dari itu, misalnya dalam aturan lalulintas/jalan raya, ialah mengancam dengan pidana perbuatan mengendarai kendaraan bermotor dengan cara berbahaya atau mengemudi dalam keadaan terpengaruh minuman beralkohol. Tindakan pengemudi kendaraan bermotor diancam dengan pidana bukan karena ia dengan mengendarai kendaraan melewati batas kecepatan atau di bawah pengaruh alkohol mengakibatkan kecelakaan, namun karena secara statistis telah ditunjukkan bahwa cara mengemudi tersebut meningkatkan risiko kecelakaan. Juga di dalam hukum pidana umum (reguliere strafrecht) dapat kita cermati bagaimana rumusan delik diperluas. Apa yang diancam pidana tidak lagi sekadar perbuatan yang menimbulkan kerugian dan nyata mengganggu atau mengancam keamanan/ketertiban umum atau orang per-orang, namun juga perbuatan yang dalam dirinya sendiri memuat risiko demikian.
Pendekatan di atas jelas berpengaruh terhadap bagaimana peraturan perundang-undangan tentang terorisme dikembangkan dan dipertajam. Lingkup rumusan perbuatan yang diancam dengan pidana diperluas dengan cara menetapkan tidak saja tindakan melakukan aksi terorisme sebagai tindak pidana, melainkan juga tindakan-tindakan persiapan (voorbereidingshandelingen) yang terkait dengan terorisme, seperti misalnya pengumpulan/perolehan senjata. Juga dicakupkan ke dalam lingkup hukum pidana, kegiatan persiapan lainnya seperti permufakatan jahat dan aksi merencanakan aksi-aksi teror, sekalipun belum diambil tindakan persiapan konkret untuk mewujudkan rencana tersebut. Beranjak dari itu dapat dikatakan bahwa sekarang ini kita sudah menerima dan memberlakukan pendekatan Gesinnungsstrafrecht, di mana menganut paham/pandangan hidup tertentu sudah diancam dengan pidana. Padahal pendekatan ini dahulu selama bertahun-tahun ditolak atas dasar prinsipil. Pikiran tidak lagi bebas (dari jangkauan hukum pidana), hal mana dibenarkan atas dasar kepentingan membendung risiko yang ditimbulkan pikiran terhadap keamanan masyarakat.