Kepentingan umum dalam asas oportunitas
6. Kepentingan umum dalam asas oportunitas
Tidak jelas apa yang dimaksud kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan karena deinisi yang masih kabur dan tidak ada pedoman sebagai rujukannya. Beberapa pakar hukum di Indonesia berargumentasi bahwa pengaturan yang luas mengenai apa yang dimaksud public interest adalah jaminan akan leksibilitas peraturan yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Prof. Sudikno Mertokusumo dalam papernya yang dipresentasikan di kantor Kejaksaan Agung berpendapat bahwa kepentingan umum seharusnya tidak dideinisikan secara spesiik untuk menjaga leksibelitas dari deinisi yang mampu sejalan dengan perkembangan masyarakat. Namun sebagaimana telah djelaskan diatas, deinisi yang terbuka condong untuk
15 Ibid.hal.20
Kepentingan umum dalam mengesampingkan perkara pidana di Indonesia
disalahgunakan. Jika didasarkan atas penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan yang mensyaratkan adanya konsultasi untuk menerima saran dari lembaga yang terkait perkara tersebut maka justiikasi penghentian perkara yang didasarkan asas oportunitas oleh Jaksa Agung merupakan justiikasi politis atas kekuasaan yang sedang memerintah (kekuasaan eksekutif) yang cenderung untuk mempertahankan kekuasaanya. Lebih jauh lagi, jabatan Jaksa Agung adalah jabatan politis karena Jaksa Agung diangkat oleh Presiden (eksekutif power) dan ditakutkan penggunaan asas oportunitas ini bukan didasarkan kepentingan umum secara objektif namun berdasarkan kepentingan politis yang hanya mempertahankan kekuasaan. Meskipun secara konseptual tidak bisa dihindari bahwa penerapan asas oportunitas syarat akan kepentingan politis, namun seyogyanya kepentingan politis tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara public dan masyarakat dapat berpartispasi dalam mengontrolnya. Lorne Sossin menyebutkan bahwa Discretion is ultimately a political issue,
not simply a legal one. 16 Karakter dari penerapan asas oportunitas yang diskresional dan sangat politis ini membuat setiap keputusan yang diambilnya sangat tertutup. Indonesia sebagai Negara yang demokratis dan berdasarkan atas rule of law sudah seharusnya menerapkan prinsip keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahannya serta membuka ruang yang seluas-luasnya untuk partisipasi masyarakat dalam menjalankannya. Sebagai konsekuensi Negara yang demokratis dan berdasarkan rule of law, dalam penerapan asas oportunitas haruslah terbuka dan dimungkinkan saluran politis untuk dinilai karena sifat dari kewenangan tersebut yang diskresional. Saluran politis yang dimaksud adalah saluran politis yang memungkinkan masyarakat untuk berpartispasi aktif untuk menyampaikan pendapatnya baik melalui media maupun lembaga- lembaga politis lainnya seperti legislative. Untuk menjaga objektiitas dari partisipasi tersebut maka diperlukan tolok ukur yang jelas untuk menilai penerapan asas oportunitas tersebut. Kepentingan umum sebagai jantung dari penerapan asas oportunitas seharusnya dibuat batasan-batasannya yang jelas sebagaimana disusun sebagian besar Negara maju seperti Belanda, Amerika, Inggris maupun Australia sehingga partisipasi public dapat tersalurkan secara objektif.
Selama ini kepentingan umum dalam perkara pidana dipandang sama dengan kepentingan umum secara umum karena tidak pernah ada pedomannya. Sebagai contoh beberapa peraturan di Indonesia yang menyebut tentang Public interest adalah Instruksi Presiden Nomor 9/1973, Peraturan Pemerintah Nomor 36/2005, Keputusan Presiden Nomor 55/1993. Di dalam peraturan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan perkara pidana sehingga inteprestasi sistematis dalam peraturan
16 Lorne Sossin, Puzzle of Discretion, 24 Can.J.L.& Soc. 301 2009
Tauik Rachman
perundang-undangan tidak dapat memberikan jawaban atas makna Public Interest dalam perkara pidana. Oleh karena itu, penelitian untuk menentukan makna kepentingan umum dalam asas oportunitas sangatlah penting. Mengadopsi secara langsung dari Negara maju juga bukan jalan yang tepat karena karakteristik tiap Negara berbeda satu dengan lainnya. Namun, alangkah baiknya jika contoh yang sudah diterapkan di Negara maju tersebut sementara djadikan acuan awal baik untuk diteliti lebih lanjut maupun djadikan pedoman untuk mengukur makna kepentingan umum yang diterapkan di Indonesia. Alasan yang dapat diajukan adalah
1. Sifat dari pedoman mengenai public interest di Negara maju tersebut yang tidak mengikat 2. Untuk segera membatasi kekuasaan Jaksa Agung dalam mengkesampingkan perkara pidana yang terlalu besar dan tidak terukur. Lebih baik ada pedoman terlebih dahulu dalam menerapkan se- suatu dari pada menerapkan sesuatu tanpa pedoman sama sekali. Dengan menggunakan terlebih dahulu pedoman yang sudah diterapkan di Negara maju bukan berarti menutup makna kepentingan umum yang mungkin muncul dikemudian hari sejalan dengan perkembangan masyarakat, penelitian, praktik hukum dan kesadaran masyarakat. Bahkan dengan digunakannya pedoman untuk menentukan kepentingan umum sekaligus dapat mengakomodir masuknya nilai-nilai adat istiadat (kearifan lokal) bangsa dalam system hukum pidana Indonesia secara transparan dan objektif terkait penuntutan perkara pidana maupun penghentian perkara pidana melalui penerapan asas oportunitas yang selama ini terkesan eksklusif politis untuk mempertahankan regim yang berkuasa secara politis. Sudah waktunya untuk menempatkan asas oportunitas kepada kepentingan masyarakat Indonesia dan bukan kepentingan politik yang berorientasi kekuasaan. Konsep rule of law, negara demokratis dan kewenangan diskresi membuka peluang untuk dipergunakan bagi kelompok yang termarginalkan, disadvantages dan poor untuk memperoleh perlakuan yang adil dan bermartabat. Lebih jauh lagi harusnya mulai dipikirkan untuk menempatkan penghentian penuntutan dan menuntut perkara pidana sebagai kewenangan diskresi karena system peradilan pidana akan collapse jika harus mengadili semua perkara yang masuk. Asas oportunitas sebagai kewenangan Jaksa Agung yang diskresional sudah seharusnya diterapkan kepada masyarakat umum bukan hanya pada pejabat untuk membuka tabir diskriminasinya. Pajak masyarakat akan lebih banyak dihemat dan dialokasikan untuk kepentingan yang lebih tepat seperti biaya pendidikan, pengentasan kemiskinan ataupun biaya kesehatan dari pada membiayai system peradilan pidana yang tidak efektif. Bukankah terjadinya kejahatan dimasyarakat tidak terlepas dari faktor pendidikan yang rendah dan kemiskinan sebagai factor eksternal yang sangat mempengaruhi dengan tidak menutup kemungkinan kejahatan dengan motivasi serakah dan kekuasaan. Selain
Kepentingan umum dalam mengesampingkan perkara pidana di Indonesia
itu, banyak penelitian yang sudah dilakukan di Indonesia menunjukan bahwa pemidanaan, terutama pada anak, bukanlah solusi yang tepat untuk mengurangi tingginya tingkat kejahatan di Indonesia. Belum lagi ditambah penjara-penjara yang ada di Indonesia yang dapat dikatakan tidak layak (syarat dengan pelanggaran HAM) karena terlalu overcrowded dan tidak didukung fasilitas yang manusiawi.