Whistleblower dan justice collaborator

4. Whistleblower dan justice collaborator

Perihal justice collaborator (pelapor) dan whistleblower (saksi pelaku yang bekerjasama) diatur lebih lanjut oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Agustus 2011. Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Perlindungan

19 Bernd Schünemann, Protection of Children and Other Vulnerable Victims against Secondary Victimisation: Making It Easier to Testify in Court, ERA Forum (2009) 10: 387–396.

Siradj Okta

Saksi dan Korban diatur pada Pasal 10: (1)

Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat djadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan djatuhkan.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlin- dungan Saksi dan Korban telah berupaya mengatur tentang pelapor dan juga ‘saksi pelaku yang bekerjasama’, namun kemudian lahir SEMA No.

4 Tahun 2011 sebagai pedoman penerapannya. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlin- dungan Saksi dan Korban menimbulkan permasalahan penafsiran ketika ada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Kedua ayat pada pasal tersebut menimbulkan pertentangan satu sama lain ketika dipertemukan pada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Pada ayat pertama dikatakan bahwa saksi yang melaporkan dan bersaksi tidak dapat dipidana, namun pada ayat kedua dikatakan bahwa jika saksi adalah tersangka pada kasus yang sama maka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. Sementara, mandat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi saksi dan korban, bukan tersangka, sehingga masalah pada Pasal 10 ini kemudian menimbulkan ambiguitas mengenai status perlindungan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada yang bersangkutan. Sebelum adanya SEMA No. 4 Tahun 2011, tampak bahwa Pasal 10 tidak dapat membedakan whistleblower dengan justice collaborator, sehingga pengadilan juga tidak dapat memberikan perlakuan yang tepat.

Pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang melibatkan pelapor tindak pidana menurut SEMA No. 4 Tahun 2011 adalah bahwa yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai ‘saksi pelaku yang bekerjasama’ adalah bahwa yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA No.

4 Tahun 2011. Selanjutnya SEMA No. 4 Tahun 2011 mengharuskan bahwa yang bersangkutan mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan

Perlindungan saksi di Indonesia

sebagai saksi di dalam proses peradilan. Ketentuan ini menimbulkan pemahaman bahwa pengakuan akan menjadi bagian penting dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Selama ini, kedudukan pengakuan pelaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia tidak menempati posisi yang signiikan dalam mencari kebenaran materiil. Namun, SEMA No. 4 Tahun 2011 justru menempatkan pengakuan sebagai pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama yang dapat menjadi kunci bagi upaya pengungkapan kasus-kasus.

Tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2011 adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

Selanjutnya, SEMA No. 4 Tahun 2011 juga mengatur bahwa untuk menentukan seseorang sebagai ‘saksi pelaku yang bekerjasama’ adalah bahwa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signiikan sehingga penyidik dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset- aset/hasil suatu tindak pidana.

4.1. Perlakuan terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator SEMA No. 4 Tahun 2011 diterbitkan dengan mempertimbangkan beberapa

ketentuan internasional yang berpengaruh dalam hal perlin dungan saksi untuk kasus-kasus kejahatan terorganisasi. Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003 pada Pasal 37 mengatur bahwa setiap negara peserta konvensi tersebut berkewajiban untuk mempertimbangkan pemberian keringanan atau pengurangan hukuman bagi pelaku yang memberikan kerja sama yang substansioal dalam penyelidikan atau penuntutuan kejahatan dalam konvensi tersebut. Khusus untuk justice collaborator, konvensi tersebut mengatur selanjutnya bahwa negara peserta berkewajiban untuk mempertimbangkan untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang diatur pada konvensi tersebut. Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes ) tahun 2000.

Siradj Okta

Indonesia telah meratiikasi kedua konvensi tersebut, Konvensi PBB Anti Korupsi diratiikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional dan Terorganisasi diratiikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Dengan demikian, kaidah hukum dalam konvensi-konvensi tersebut haruslah diadopsi dalam perundang-undangan yang terkait. Secara khusus, Mahkamah Agung meminta kepada para hakim agar ketika terdapat pelapor ataupun ‘saksi yang bekerjasama’ dalam kasus-kasus tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA No.4 Tahun 2011, untuk dapat memberikan perlakuan khusus, antara lain dengan memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.

Terhadap ‘saksi pelaku yang bekerjasama’, SEMA No. 4 Tahun 2011 mengatur bahwa hakim dalam menentukan pidana yang akan djatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut:

a. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau

b. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbuktu bersalah dalam perkara yang dimaksud

Namun demikian, pemberikan perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana, hakim tetap berkewajiban untuk mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat. Selanjutnya, terkait dengan keberadaan pelapor maupun ‘saksi pelaku yang bekerjasama’, Ketua Pengadilan diharapkan untuk dapat mendistribusikan perkara dengan memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap ‘saksi pelaku yang bekerjasama’ kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan. Selain itu, Ketua Pengadilan juga diharapkan untuk dapat mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh ‘saksi pelaku yang bekerjasama’.

Baik SEMA No.4 Tahun 2011 maupun Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memiliki tujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk menjamin partisipasi pu blik dalam penegakan hukum pidana. Adanya jaminan keamanan dalam tatanan hukum diharapkan dapat mampu mendukung partisipasi publik tersebut.

4.2. Kedudukan pelapor (Whistleblower) Istilah ‘pelapor’ atau whistleblower terdeiniskan dalam Penjelasan Pasal

10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlin dungan Saksi dan Korban.

Yang dimaksud dengan ‘pelapor’ adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.

Pertanyaan yang kemudian dapat muncul adalah mengenai apakah

Perlindungan saksi di Indonesia

pelapor dapat dipersamakan dengan saksi. Pertanyaan ini akan meng- arah kepada perlindungan yang dapat diberikan oleh lembaga perlin- dungan saksi. Mandat undang-undang sebagaimana terdapat pada Pasal

2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah bahwa undang-undang tersebut hanya melindungi saksi dan korban pada seluruh tahap proses peradilan.

Pelapor, secara gramatikal memberi arti ‘orang yang melapor’, yaitu sebagai kata ganti atas orang yang melakukan suatu perbuatan (dalam hal ini memberi laporan). Pada SEMA No. 4 Tahun 2011, dipertegas sebagai orang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu. Oleh karena itu, hal ini sesuai jika melihat bahwa deinisi saksi yang lebih luas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dibandingkan deinisi saksi dalam KUHAP. Deinisi saksi dalam undang-undang tersebut dimulai dari proses penyelidikan, oleh karena itu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlin dungan Saksi dan Korban tampak berupaya untuk memasukkan perlindungan terhadap orang-orang yang dapat membantu upaya penyelidikan, dalam hal ini yang masih berstatus pelapor. Berdasarkan pengertian dan keselarasan ini, maka tercermin bahwa perumus Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berkeyakinan bahwa pelapor sudah termasuk dalam lingkup penyelidikan, oleh karenanya dapat menjadi subjek perlindungan.

Namun, deinisi saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini juga tetap dalam kerangka deinisi saksi dalam KUHAP, yakni seorang saksi harus sebagai orang yang memberikan keterangan perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri. Doktrin ini akhirnya memberi batasannya sendiri pada ‘orang yang memberikan keterangan perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri’. Padahal, dalam kasus, dapat saja terdapat orang yang berstatus pelapor meskipun ia bukan orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri suatu tindak pidana. Misalnya, seseorang yang mengetahui informasi mengenai keberadaan dokumen-dokumen pembuktian yang terkait. Lebih lanjut lagi, sebagai orang yang pertama kali ‘membawa’ suatu perkara pidana ke dalam alur peradilan pidana, pelapor sangat berpotensi menjadi pihak yang paling rentan terhadap intimidasi, sementara, hukum belum mengakomodir secara paripurna kedudukan pelapor.

Batasan yang melingkupi kerangka deinisi saksi dalam KUHAP maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sangat berkaitan dengan kekuatan pembuktian se- bagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang secara hakikat dimaksudkan untuk melindungi proses pengadilan dari adanya

Siradj Okta

testimonium de auditu , yaitu kesaksian yang berisi perkataan dari orang lain lagi. Doktrin inilah yang kemudian menjadi pembatasan ‘orang yang memberikan keterangan perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri’. Namun perlu diketahui bahwa antisipasi terhadap testimonium de auditu kemudian meluas bukan hanya pada tahap pengadilan, tetapi mulai dari penyidikan, sesuai deinisi KUHAP. Dengan demikian, jika Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengacu pada kerangka ini untuk perluasan yang meliputi juga tahap penyelidikan untuk mengakomodir ‘pelapor’, upaya tersebut akan dimentahkan oleh doktrin kekuatan pembuktian yang menjauhi testimonium de auditu sebagai semangat dalam KUAHP, khususnya pada tahap pengadilan. Sesuai Pasal 185 KUHAP: (1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang

pengadilan. (2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. (6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan

Sehingga, penerapan deinisi saksi dalam KUHAP untuk mengakomodir pelapor dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak akan memasukkan pelapor yang memberikan informasi testimonium de auditu sebagai subjek perlindungan. Padahal, pada tahap penyelidikan, segala informasi bahkan termasuk testimonium de auditu dapat bermanfaat untuk merangkai dan menegakkan diagnosis ada atau tidaknya tindak pidana. Lebih lanjut lagi, penerap an seperti ini berarti membawa doktrin kekuatan pembuktian pengadilan (yang sangat erat terkait pada Pasal 185 KUHAP) kepada tatanan penyelidikan, sehingga perlindungan pelapor menjadi marjinal.

4.3. Jenis kejahatan dalam lingkup SEMA No. 4 Tahun 2011

Jenis kejahatan yang disebutkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 adalah korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pindana lainnya

Perlindungan saksi di Indonesia

yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masayarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahaya kan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

Masing-masing dari tindak pidana tersebut telah memiliki ketentuan perundang-undangannya. Khusus mengenai ‘tindak pidana lain yang terorganisir…dan seterusnya’, SEMA No. 4 Tahun 2011 tidak memberikan deinisi konkret. Penjabaran yang luas ini memberikan ruang untuk interpretasi lebih lanjut mengenai tindak pidana apa yang masuk dalam kategori terakhir ini. Keuntungan dari penjabaran yang meluas ini juga memberi ruang untuk tindak pidana yang baru diatur di masa mendatang.

Semua tindak pidana yang disebutkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 merupakan tindak-tindak pidana yang secara internasional diakui sebagai kejahatan terorganisir. Secara internasional, kejahatan terorganisir diatur oleh United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, Palermo pada tahun 2000 yang diratiikasi oleh Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Terkait konvensi ini, Indonesia telah mempunyai sejumlah undang-undang yang substansinya terkait dengan Konvensi ini, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi;

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

3. Undang-Undang

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;

Nomor

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2003;

6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;

7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana;

8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksidan Korban;

9. Undang-Undang

21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Nomor

Berdasarkan penjelasan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tersebut, tindak pidana terorganisir dapat ditentukan berdasarkan lingkup, karakter, modus operandi , dan pelakunya.

Siradj Okta