Aturan Hukum tentang Kekerasan Anak dalam Keluarga di Thailand

4.1. Aturan Hukum tentang Kekerasan Anak dalam Keluarga di Thailand

Pada prinsipnya, Thailand melarang tegas segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk yang terjadi dalam rumah dan dilakukan oleh anggota keluarga. Hal ini telah djamin dalam Pasal 52 Konstitusi Thailand (2007), yang berbunyi sebagai berikut:

“Children, youth, woman and family members shall have the right to be protected by the state against violence and unfair treatment and the right to receive remedy in such case”(Anak-anak, remaja, wanita dan anggota keluarga berhak untuk mendapatkan perlindungan negara dari kekerasan dan perlakuan yang tidak adil, sekaligus berhak mendapatkan penyembuhan/pemulihan dalam kasus tersebut).

Dari rumusan pasal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Konstitusi Thailand tersebut mengakui bahwa bebas dari segala bentuk kekerasan merupakan hak asasi setiap manusia (termasuk anak-anak tanpa kecuali), yang sifatnya mutlak dan tidak dapat dialihkan.

Dalam rangka melindungi anak-anak dari kekerasan dalam keluarga, Thailand menerapkan 2 (dua) peraturan utama, yakni Child Protection Act (2003) dan Domestic Violence Victims Protection Act B.E. 2550 (2007). Kekhasan dari dua peraturan ini adalah dikedepankannya penggunaan sarana-sarana nonpenal daripada sarana penal dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan tersebut. Sarana yang bersifat punitif yang ditetapkan dalam kedua undang-undang tersebut cenderung lunak, dikarena prinsip yang mendasari keduanya adalah memelihara hubungan keluarga untuk kepentingan terbaik dari anggota keluarga itu

sendiri. (CRC/C/THA/3-4, 2011: 14) 13

Kedua undang-undang tersebut lebih menekankan pada perbaik- an korban (anak-anak), pelaku (keluarga), dan setiap akibat (kerugian) yang disebabkan oleh tindak kekerasan, dibandingkan pengenaan sanksi pidana yang berat kepada pelaku. Tampaknya, sanksi pidana dalam 2 (dua) aturan ini memang sengaja didesain bukan sebagai sarana utama (primum remedium), melainkan sebagai alternatif upaya terakhir (the last resort) atau ultimum remedium.

Adapun jenis sarana nonpenal yang disediakan oleh undang-undang antara lain: bantuan kesejahteraan (welfare assistance), perlindungan keselamatan (safety protection), mediasi (mediation), pembinaan (treatment), hukuman bersyarat/percobaan (probation) dengan membayar sejumlah

13 Laporan ke-3 dan ke-4 Unicef Thailand menyebutkan bahwa “the punitive measures stipu- lated in these two Acts tend to be lenient as their underlying principle is to maintain family rela- tionship for the best interest of the family members”

Perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan dalam keluarga ...

dana tertentu, dan upaya-upaya perbaikan lainnya (other remedial measures) berupa larangan memasuki area tertentu dimana anak (korban) berada (bond of perfomance).

Batasan yuridis kekerasan dalam keluarga atau dalam hal ini Thailand menyebutnya dengan istilah “domestic violence” (kekerasan dalam rumah tangga), dirumuskan dalam section 3 Domestic Violence Victim Protection Act B.E. 2550 (2007), yakni sebagai berikut.

“Domestic violence means any act commitedwith an intention to cause bodily, mentally or healthily harm of, or an act commited intentionally in a manner that may cause bodily, mentally or healthily harm of, a family member or any coercion orundue inluence conducted with a view to make a family member to do something, refrain from doing something or accept any act illegally, but not including an act commited through negligence”

Dari rumusan tindak pidana di atas, diketahui bahwa kekerasan dalam keluarga (dalam rumah tangga) mengandung beberapa unsur, yakni (1) Adanya perbuatan (termasuk yang berupa paksaan dan pengaruh buruk/tidak sepatutnya) sebagai actus reus, (2) dilakukan dengan sengaja atau dengan maksud sebagai mens rea , (3) dapat atau diduga dapat menyebabkan kerusakan atau kerugian isik, mental, dan kesehatan sebagai akibat yang dilarang, (4) baik pelaku maupun korban sama-sama merupakan anggota keluarga. Unsur yang terakhir inilah yang kemudian membedakan kekerasan dalam keluarga (rumah tangga) dengan bentuk kekerasan lainnya.

Dari rumusan deinisi tersebut di atas, juga dapat diketahui bahwa setidaknya terdapat 3 jenis perbuatan dalam undang-undang di Thailand yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam keluarga (rumah tangga), yakni.

a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menyebabkan kerugian atau bahaya isik, mental, dan kesehatan dari anggota keluarga; contohnya: seorang ibu yang dengan sengaja membakar anak kandungnya sendiri.

b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dengan cara-cara yang dapat menyebabkan kerugian atau bahaya isik, mental, dan kesehatan dari anggota keluarga; contohnya: tindakan orang tua yang memasung anaknya yang menderita cacat mental agar tidak mengganggu orang lain lagi.

c. Setiap paksaan atau pengaruh (bujukan) tidak patut, yang dilakukan untuk membuat anggota keluarga untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau menerima setiap perbuatan secara melawan hukum, tapi tidak termasuk perbuatan yang sifatnya lalai (negligence act). Contohnya: orang tua yang memaksa anaknya untuk melakukan penipuan atau tindakan melawan hukum lainnya demi membantu keuangan keluarga.

Rusmilawati Windari

Selain Domestic Violence Victim Protection Act B.E. 2550 (2007), aturan lain yang dapat diterapkan untuk melindungi anak dari kekerasan dalam keluarga (rumah tangga) di Thailand adalah Child Protection Act of 2003. Meskipun tidak secara khusus mengatur tentang kekerasan dalam keluarga, namun undang-undang ini juga memuat beberapa perbuatan yang hakikatnya dapat dipandang sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dalam keluarga (rumah tangga), yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga yang menjadi walinya, yakni Pasal 25 dan 26 Child Protection Act of 2003.

Pasal 25 menyebutkan beberapa perbuatan yang dilarang keras dilakukan oleh orang tua atau wali anak, antara lain:

a. Meninggalkan anak di tempat penitipan anak, atau di fasilitas pelayanan kesehatan, atau dengan seseorang yang bekerja untuk merawatnya, atau di tempat umum, atau tempat lainnya dengan maksud untuk tidak mengambilnya kembali. (Abandon a child at a nursery or health care facility, or with a person employed to look ater the child, or at a public place or any other place, with the intention of not taking him or her back);

b. Menelantarkan anak di tempat manapun tanpa menyediakan perawatan atau perlindungan keamanan yang patut. (Neglect a child at any place without arranging for appropriate safety protection or care);

c. Dengan sengaja atau dengan kealpaan menarik segala sesuatu yang dibutuhkan anak untuk menyambung hidupnya atau untuk kesehatannya, sehingga dapat menyebabkan bahaya bagi isik dan kejiwaannya. (Deliberately or neglectfully withhold from a child things that are necessary for sustaining the child’s life or health, to an extent which seems likely to cause physical or mental harm to the child);

d. Merawat anak dengan jalan menghambat tumbuh kembangnya (Treat a child in ways or manners which hinder his or her growth or development);dan

e. Merawat ana dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum. (Treat a child in ways or manners which constitute unlawful caring).

Sedang Pasal 26 khususnya ayat (1), (2), (3), mengatur beberapa perbuatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa mensyaratkan adanya kualitas tertentu, termasuk bisa juga dilakukan oleh keluarga (orang tua), yakni sebagai berikut.

a. Melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang berakibat pada pengrusakan tubuh dan pikiran anak. (Commit or omit acts which result in torturing a child’s body or mind);

b. Dengan sengaja atau kealpaan menarik segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup atau kesehatan anak yang berada di bawah pengasuhan, sehingga dapat menyebabkan

Perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan dalam keluarga ...

bahaya isik dan kejiwaannya. (Intentionally or neglectfully withhold things that are necessary for sustaining the life or health of a child under guardianship, to the extent which would be likely to cause physical or mental harm to the child);

c. Memaksa, mengancam, membujuk dan mendorong atau membiarkan anak mengadopsi perilaku atau cara-cara yang tidak patut dapat dapat menyebabkan anak melakukan perbuat yang salah (menyimpang). (Force, threaten, induce, encourage or allow a child to adopt behaviour and manners which are inappropriate or likely to

be the cause of wrongdoing). Meskipun Pasal 25 dan 26 Child Protection Act of 2003 tersebut dapat

dikategorikan sebagai bentuk kekerasan dalam keluarga berdasarkan rumusan section 3 dari Domestic Violence Victim Protection Act B.E. 2550 (2007), namun konsekuensi yuridis yang timbul dari pelanggaran kedua pasal tersebut adalah berbeda. Dalam hal ini, pelanggaran Pasal

25 oleh orang tua atau wali tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Sedangkan, pelanggaran Pasal 26 yang tidak secara spesiik menyebutkan kualitas pelaku, dapat mengakibatkan saksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya, termasuk jika yang melakukannya adalah orang tua.

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, sarana yang disediakan oleh undang-undang untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak dalam keluarga (rumah tangga) ini meliputi 2 jenis, yakni upaya nonpenal dan penal. Adapun bentuk sarana nonpenal yang disediakan baik dalam Child Protection Act of 2003 maupun Domestic Violence Victim Protection Act B.E. 2550 (2007), adalah sebagai berikut:

a. Bantuan kesejahteraan sosial (social welfare assistance); Bantuan ini tidak hanya diberikan kepada anak sebagai korban, melainkan juga kepada keluarga (orang tua) sebagai pelaku dengan tujuan agar mereka tidak mengulangi lagi perbuatannya, mampu merawat sekaligus menjaga anak-anak mereka dengan lebih baik menurut hukum yang berlaku (lihat Pasal 33 Child Protection Act of 2003).

Bentuk bantuan kesejahteraan sosial yang diberikan bervariasi, tergantung pada derajat kerugian/bahaya yang ditimbulkan dan kemungkinan terjadinya pengulangan tindakan yang sama di kemudian hari. Adapun bantuan yang dimaksud antara lain seperti: menyerahkan anak untuk dirawat di pusat perawatan anak (nursery centre), dengan jangka waktu tidak lebih dari 1 bulan, dan menyerahkan anak untuk dirawat oleh keluarga asuh yang telah ditentukan.

b. Tindakan perlindungan keselamatan (safety protection) Tindakan ini khusus diberikan kepada anak yang menjadi korban

Rusmilawati Windari

penyiksaan (tortured children). Setelah adanya laporan, pejabat yang berwenang (competent oicial) akan mendatangi rumah tempat terjadinya perkara, untuk melakukan inspeksi, dan memisahkan si anak dari keluarganya untuk sementara waktu. Kemudian, sebelum memutuskan bentuk perlindungan keselamatan yang tepat bagi si anak, pejabat yang berwenang sesegera mungkin melakukan serangkaian eksaminasi isik dan mental terhadap anak, dan melakukan penelusuran informasi dan pengamatan kepada anak berikut dengan keluarganya.

c. Rehabilitasi mental;

d. Pembinaan (treatment);

e. tindakan hukuman bersyarat (probation) dengan membayar sejumlah bantuan inansial tertentu dan melakukan pengabdian masyarakat,

f. Remedial measures atau tindakan perbaikan berupa larangan memasuki area tertentu atau berhubungan dengan anak untuk sementara waktu (bond of perfomance)

Sedangkan, sarana penal yang disediakan di dalam kedua aturan tersebut berupa sanksi pidana penjara untuk waktu tertentu dan sejumlah denda. Kedua jenis sanksi ini dapat diterapkan secara fakultatif maupun kumulatif oleh hakim, dengan masa pidana yang variatif. Untuk pelanggaran Pasal 26 Child Protection Act of 2003, sanksi pidana penjara yang dikenakan maksimal 3 bulan (Pasal 78), dan untuk sanksi pidana denda yang djatuhkan maksimal 30000 Bath. Untuk pelanggaran Pasal

3 Domestic Violence Victim Protection Act B.E. 2550 (2007), sanksi pidana penjara yang diancamkan maksimal 6 bulan, sedangkan sanksi pidana dendanya maksimal 6000 Bath.