Korupsi sebagai extra ordinary crime
1. Korupsi sebagai extra ordinary crime
Korupsi di Indonesia telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat dan dilakukan secara sistematis, sehingga merusak perekonomian dan menghambat pembangunan serta memunculkan stigma negatif bagi bangsa dan negara Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional. Upaya pemberantasannya pun terkendala dan berpacu dengan munculnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih (sophisticated). Korupsi mempunyai banyak segi dan dapat dipandang dari segi politik, ekonomi, budaya, kriminologi dan sebagainya. Korupsi yang melanda negara Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) serta menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan membahayakan keberadaan negara. Hal ini terjadi karena perilaku korupsi merusak ber bagai macam tatanan, seperti tatanan hukum, tatanan politik, dan tatanan sosial budaya dari negara yang bersangkutan.
Septa Candra
Dalam penanggulangan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi “legal substance, legal structure, dan legal culture ”. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi “suicient condition”. Sekalipun ia merupakan suatu “necessary condition”, akan tetapi adanya “political will ”, perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adalah “determining factors”. Pendekatan struktur dan substantif tidak akan berhasil jika tidak diikuti pendekatan budaya dan etika dari penegak hukum itu sendiri yang sering terkontaminasi korupsi lanjutan. Permasalahan korupsi di negara Indonesia masih merupakan masalah besar dan menjadi agenda bersama untuk memeranginya.
Tindak pidana korupsi tergolong sebagai “extra ordinary crime”, sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan “extra ordinary measure”. Dalam hubungan ini, penerapan konsep “materiele wederrechteljk”, konsep “reversal of the burden of proof (omkering van de bewjslast)”, dan pembentukan institusi khusus sebagai “anti corruption agency” yang independen menjadi cukup penting dan relevan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi yang bersifat “extra-ordinary crime” juga mempunyai arti bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan bersifat transnasional sehingga pemberantasannya diperlukan kerja sama internasional. Kerjasama ini dituangkan dalam United National Convention Against Corruption pada tanggal 29 September 2003.
Jeremy Pope 1 mensinyalir korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas publik. Berbagai kalangan menganggap korupsi sepertinya sudah merasuk di seluruh lini kehidupan dan sepertinya telah menyatu dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Meningkatnya aktivitas korupsi, menurut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim, baik yang sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga
hukum. 2 Upaya atau kebjakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang ”kebjakan kriminal”.
1 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Jakarta:Transparency International Indonesia, 2003), hlm. 2
2 Lihat Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, edisi pertama, (Jakarta: terjemahan Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 11
Tindak pidana korupsi; Upaya pencegahan dan pemberantasan
Kebjakan kriminal pun tidak terlepas dari kebjakan yang lebih luas, yaitu ”kebjakan sosial” (social policy) yang terdiri dari kebjakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social walfare) dan kebjakan untuk
perlindungan masyarakat (social defence). 3 Dengan demikian sekiranya kebjakan penanggulangan kejahatan menggunakan sarana penal (hukum pidana) maka kebjakan tersebut harus mengarah pada tercapainya kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat.
Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa korupsi merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sangat sulit memperoleh prosedural pembuktiannya, karenanya seringkali memerlukan “pendekatan sistem”
(system approach) terhadap pemberantasannya. 4 Upaya pencegahan korupsi di Indonesia masih bersifat masiv, perkembangan hukum tentang tindak pidana korupsi terfokus pada upaya represif, tetapi sangat minim perhatian pada fungsi preventif, dalam hukum pidana umumnya pencegahan suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi dibedakan menjadi dua, yaitu General prevention (prevention for potential ofender) dan Special prevention (prevention for ofender), tetapi semuanya itu passive prevention dan terkadang mengabaikan upaya yang sifatnya active prevention, padahal pencegahan tindak pidana korupsi seharusnya dilakukan dengan membangun sistem kekebalan (immunity system), sehingga orang tercegah sebelum terjangkit korupsi.