Pengalaman terbaik Thailand untuk Indonesia
4. Pengalaman terbaik Thailand untuk Indonesia
Pada prinsipnya benar kiranya pesan yang senantiasa dihimbau oleh PBB melalui Unicef bahwa “tidak ada kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan dan semua bentuk kekerasan terhadap anak sebenarnya dapat dicegah” (no violence against children is justiable, and all violence against children is preventable) (Willems, J.C.M., 2006:45).
Dalam hal ini, baik Indonesia maupun Thailand juga telah melakukan serangkaian usaha yang progresif dan berkesinambungan untuk melindungi anak dari setiap bentuk kekerasan, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 19 Konvensi Hak Anak. 14 Berbagai upaya yang dilakukan Indonesia dan Thailand tentunya sama-sama memiliki kelebih- an dan kelemahan. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan penye- lenggaraan perlindungan anak yang lebih ke depannya, maka terdapat
14 Article 19 of Convention on the Rights of Child states that“all appropriate legislative, ad-
ministrative, social and educational measures to protect the child from all forms of physical or mental violence, injury or abuse, neglect or negligent treatment, maltreatment, or exploitation including sexual abuse, while in the care of parent(s), legal guardia(s) or any other person who has the care of the child”
Perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan dalam keluarga ...
beberapa kelebihan Thailand yang dapat menjadi kontribusi konstruktif bagi Indonesia dalam mengembangkan perlindungan hukum bagi anak, khususnya anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga.
Secara global, setidaknya terdapat 2 (dua) hal positif yang dapat Indonesia pelajari dari Thailand, yakni perihal model sistem perlindungan, paradigma sekaligus sarana yang digunakan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Adapun uraian keduanya adalah sebagai berikut:
a. Sistem Perlindungan Anak Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem perlindungan anak yang dimiliki Indonesia saat ini memiliki banyak kelemahan dan belum mampu mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi pada anak. Sistem yang ada saat ini tidak sistematis dan cenderung fragmentair, serta tidak sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem kesejahte raan sosial. Oleh karena itu beberapa hal yang seyogyanya dibenahi terutama elemen struktur, fungsi, dan kapasitas dari sistem perlindungan anak Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Mengingat permasalahan anak ini terkait dengan permasalah-
an sosial lainnya, maka perlu kiranya mengintegrasikan sistem perlindungan anak ini dengan sistem sosial lainnya.
(2) Dari sisi struktur, perlunya pembenahan kebjakan hukum yang ada. Kebjakan hukum (dalam hal ini hukum pidana) saat ini seolah-olah nampak terpisah dengan kebjakan sosial lainnya. Padahal seyogyanya kebjakan hukum tersebut perlu diintegrasikan ke dalam kebjakan sosial lainnya. Sebagaimana yang pernah ditegaskan PBB dalam kongresnya yang ke-5 tahun 1975, yang berbunyi: the many aspect of criminal policy should be coordinated an the whole be integrated into the general social policy of each country” (Barda Nawawi Arief, 2008:7).
Kemudian, terkait dengan kelembagaan sebagai pelaksana sistem ini, perlu kiranya membentuk perwakilan KPAI di semua daerah di Indonesia (terutama daerah yang berpotensi besar terjadinya pelanggaran terhadap anak). Pembentukan KPAI tersebut kiranya didasarkan pada sebuah keharusan (kewajiban), bukan sekadar kebutuhan daerah, yang akan diadakan jika dianggap perlu saja. Selain itu, antara KPAI nasional dengan KPAID perlu diikat dengan hubungan hierarkis bukan sekadar koordinasi fungsional seperti yang ada selama ini.
(3) Dari sisi fungsi, perlu kiranya penguatan fungsi KPAI itu sendiri sebagai lembaga yang independen, yang mana tugasnya bukan sekadar memberikan masukan kepada pemerintah dan sosialisasi undang-undang saja, namun juga harus proaktif dalam menye lesaikan kasus-kasus anak dan menye lenggarakan
Rusmilawati Windari
perlindungan bagi anak di semua level, terutama level bawah. (4) Dari sisi kapasitas, kapasitas yang dimiliki sistem perlindungan anak Indonesia saat ini belum memadai, terutama dalam hal pendanaan dan infrastruktur pendukung. Pemerintah sudah sepatutnya mengalokasi dana lebih untuk penyelenggaraan perlindungan anak di semua lini, dan memberikan kesempatan bagi KPAI sebagai lembaga independen untuk mengelola dana sendiri. Tidak seperti selama ini, yang mana dana KPAI diinklusikan ke dalam pendanaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Selain itu, perlu ditambah pengadaan infrastruktur pendukung yang memadai seperti yang dimiliki Thailand, misalnya adanya berbagai pusat rehabilitasi sosial, pusat perawatan anak, dan pengadilan khusus untuk anak dan keluarga.
b. Paradigma dan Sarana penanggulangan Kekerasan terhadap Anak dalam Keluarga. Mengingat beberapa pertimbangan bahwa: (1)
Masalah kejahatan bukan semata-mata masalah hukum, tetapi juga masalah sosial (Barda Nawawi, 2008:22);
(2) Keluarga dan anak sebenarnya sebuah ikatan yang tidak terpisahkan. Anak adalah bagian penting dari sebuah keluarga, dan demikian halnya keluarga adalah penting bagi pertumbuhan anak;
(3) sarana penal bukanlah satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk menanggulangi kejahatan;
(4) Penanggulangan kejahatan bukan semata-mata urusan penegak hukum, namun melibatkan banyak pihak dari berbagai bidang (Barda Nawawi, 2008:22);
(5) Sanksi pidana memiliki efek luar biasa; Maka, perlu adanya perubahan paradigma penanggulangan kekerasan anak dalam keluarga. Jika selama ini penang- gulangan tersebut lebih difokuskan pada pemidanaan pelaku (keluarga), diubah untuk lebih difokuskan pada restorasi pelaku dan korban. Dalam hal ini, perlu kiranya keluarga diberdayakan untuk kembali melaksanakan fungsinya dalam merawat dan membesarkan anak secara patut. Selain itu, perlu kiranya meminimalisasi penggunaan sanksi pidana yang ada, dan disediakan alternatif lain dari sanksi pidana tersebut, dengan lebih mengedepankan sarana-sarana nonpenal sebagaimana yang telah dilakukan oleh Thailand.
Perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan dalam keluarga ...