Permasalahan kejahatan
1. Permasalahan kejahatan
Jika membaca berita di media massa, salah satunya adalah mengenai kian maraknya kejadian-kejadian kriminalitas yang terjadi khususnya di kota- kota besar. Terkadang beberapa kota melaporkan terjadinya kenaikan angka kejahatan, terkadang ada yang menyampaikan turunnya angka kejahatan. Jika angka-angka itu memang akurat, tentu kita kadang menjadi cemas karena angka kejahatan naik, tetapi terkadang kita juga boleh sedikit lega bahwa kejahatan turun. Namun, perlu kita cermati apakah statistik kriminal seperti itu merupakan releksi dari realitas kejahatan di tengah kita ? Apakah angka-angka itu pada gilirannya berdampak pada rasa aman dan rasa takut (fear of crime) masyarakat?
Mengapa kita perlu membaca statistik kejahatan ? Menurut prof. Mardjono Reksodiputro, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, hal itu tidak lepas dari upaya pencegahan kejahatan. Menurutnya, pencegahan kejahatan yang eisien dan efektif harus didasarkan kepada pengetahuan dan pengertian mengenai masalah kejahatan tersebut. Mengingat sifat dari usaha yang dilakukan untuk pencegahan kejahatan, maka nilai dari statistik kejahatan, sering disamakan dengan nilai ‘neraca dan perhitungan Laba-Rugi’ untuk suatu perusahaan yang berusaha
Topo Santoso
memperoleh keuntungan. 1
Uraian di atas menunjukkan pentingnya statistik kejahatan. Meski tidak semua jenis kejahatan diungkap dalam sampel kejahatan serius di suatu negara, namun kejahatan-kejahatan itu dianggap cermin pengukur an kriminalitas dalam masyarakat. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memilih hanya tujuh macam kejahatan sebagai sampel. Kejahatan-kejahatan ini dinamakan ‘Part I Ofenses’ atau ‘Index Crimes’. Pada dasarnya hanya ‘index crimes’ inilah yang diminta dan dipergunakan
sebagai peng ukuran kriminalitas di negara itu oleh FBI. 2 Tujuh macam kejahatan itu adalah Criminal homicide (pembunuhan), forcible rape (perkosaan), Robbery (perampokan), Aggravated Assault (penyerangan berat), Burglary (pencurian dengan membongkar rumah), Larceny-Thet (pencurian), dan Autothet (pencurian kendaraan).
Di negara-negara lain, sampel dari kejahatan yang serius di atas mungkin saja berbeda. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri adanya kesa maan dari semua angka-angka kejahatan itu, yaitu bahwa jumlah kejahatan yang sesungguhnya (the actual amount of crime) yang terjadi di setiap masyarakat adalah tidak diketahui. Kejahatan-kejahatan tetaplah tersembunyi dari pandangan para penegak hukum, karena tidak ada saksi atau tidak dilaporkan ke polisi. Jumlah kejahatan yang tercatat (recorded) hanyalah bagian dari actual crime yang secara resmi diketahui oleh polisi.
Apakah turunnya angka kejahatan berkorelasi dengan turunnya fear of crime dan meningkatnya rasa aman masyarakat? Apakah hal itu mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kejahatan? Dalam The Impact of crime (1975), Conklin mengungkap bahwa persepsi tentang kejahatan sebagian dipengaruhi oleh kejahatan resmi. Djelaskannya ada suatu studi pada delapan masyarakat menunjukkan bahwa kejahatan kemungkinan besar menjadi isu politik di kota dengan tingkat kejahatan tinggi dibanding yang sebaliknya. Namun, Conklin juga menegaskan bahwa persepsi tentang kejahatan atau (bahkan) tentang angka kejahatan resmi tidak selalu menggambarkan jumlah kejahatan yang sebenarnya terjadi.
Ketakutan pada kejahatan dapat saja muncul meski kejadian yang sesungguhnya tidak ada. Berita yang beredar luas, merupakan faktor penting munculnya fenomena seperti itu. Dalam konteks inilah, kita hendaknya menyadari bahwa turunnya angka kejahatan seperti ditemukan dalam statistik kejahatan kepolisian tahun 1997 lalu, tidak serta merta menurun-
1 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994, hlm. 9-10.
2 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994, hlm.16- 17.
Suatu tinjauan atas efektivitas pemidanaan
kan fear of crime masyarakat dan meningkatkan rasa aman me reka. Berita serta ulasan yang kian transparan dan kian sering di media massa cetak atau elektronik tentang berbagai peristiwa kriminalitas di tanah air kita akan dipersepsi sebagai peningkatan kejahatan. Pada gilir- annya, tidak mustahil muncul ironi, meski kejahatan turun, masyarakat justru merasa makin tidak aman.
Selain kita mencatat angka kejahatan (crime rate), kita juga perlu melihat statistik lainnya yakni mengenai angka residivisme, yakni angka pengulangan kejahatan untuk melihat apakah seorang yang dipidana sebelumnya juga pernah melakukan kejahatan atau untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemidanaan terhadap perubahan perilaku seorang narapidana, apakah dia mengulangi lagi ataukah tidak. Dalam konteks itu kita sering menemukan istilah recidivism rate . Berita-berita yang muncul di media massa mengenai kejahatan kerap ditambahi dengan informasi bahwa pelakunya seorang residivis, atau ada pula istilah residivis kambuhan.