Pelajaran yang mungkin dipetik oleh Indonesia
5. Pelajaran yang mungkin dipetik oleh Indonesia
Sekalipun di Belanda pranata hukum kesepakatan dengan saksi jarang digunakan, dari pengalaman praktik yang sedikit di atas tetap dapat dipetik sejumlah pelajaran bagi pembuatan peraturan tentang itu di Indonesia. Pertama-tama perlu dicermati bahwa pranata hukum ke sepakatan dengan saksi tidak niscaya terkait dengan sistem hukum common law yang memberikan kepada jaksa-penuntut umum keleluasaan untuk menye- lesaikan perkara pidana melalui plea bargaining. Instrumen kesepakatan dengan saksi ternyata juga dapat berfungsi dalam sistem civil law se perti di Belanda. Namun demikian perlu pula dicermati bahwa sejumlah karak- ter khas sistem peradilan pidana Belanda besar pengaruhnya terhadap bagaimana pembuatan kesepakatan dengan saksi diatur di dalam per- undang-undangan. Karena plea bargaining tidak dikenal dalam sistem Belanda, setidaknya dalam bentuk sebagaimana instrumen ini berfungsi dalam sistem hukum anglo-saxon, di Belanda kita temukan pembatasan yang diberlakukan terhadap jaksa-penuntut umum berkenaan dengan imbalan apa yang dapat ditawarkan pada saksi. Pembatasan demikian kiranya berpengaruh terhadap kesediaan saksi yang sedang menimbang- nimbang apakah ia akan bekerjasama dengan yustisi atau tidak. Pada lain pihak, pembatasan tersebut juga mencegah diberikannya keterangan oleh saksi yang semata-mata bertujuan menyelamatkan dirinya sendiri. De- ngan membuat pilihan imbalan tidak terlalu menarik sekaligus hendak dicegah penyalahgunaan instrumen ini oleh saksi-saksi yang sebenarnya hanya mencari keuntungan demi dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, dengan membatasi imbalan yang dapat diberikan hendak pula dicegah diberikannya keterangan yang tidak dapat diandalkan. Semakin tinggi imbalan yang ditawarkan, meningkat pula risiko saksi memberikan kete- rangan apapun sekadar untuk memastikan diterimanya imbalan yang
Jan Crijns
djanjikan. 17 Satu aspek lain dari pengaturan Belanda tentang kesepakatan de- ngan saksi ialah kenyataan OM tidak dapat menjamin bahwa pengurangan hukuman yang diperjanjikan betul akan terwujud dalam putusan akhir hakim. Ketidakpastian (relatif) tersebut merupakan satu kendala utama yang kiranya menghalangi saksi untuk menerima kesepakatan yang ditawarkan. Kendati demikian, pembatasan ini tidak dapat dihindari satu dan lain karena dalam sistem peradilan pidana Belanda, jaksa- penuntut umum hanya berwenang mengajukan usulan tentang hukuman yang sepantasnya djatuhkan. Adalah tugas dan tanggung jawab hakim untuk dalam putusan akhir memutus hukuman apa yang harus djalani terdakwa/terpidana. Pada lain pihak, kita tidak boleh berlebih an menilai ketidakpastian tersebut: pengalaman praktik menunjukkan bahwa hakim umumnya menghormati inisiatif jaksa-penuntut umum untuk mengurangkan (tuntutan) hukuman sebagai imbalan bagi keterang- an saksi. Lagipula seperti yang terjadi di Belanda, juga dalam negara- negara dengan sistem hukum anglo-saxon yang mengenal instrumen plea bargaining , kese pakatan yang dibuat antara terdakwa dengan OM tetap harus diperiksa, diuji dan dikukuhkan oleh hakim. Dengan kata lain, juga dalam sistem common law kita tenggarai adanya ketergantungan pemanfaatan kesepakat an dengan saksi pada persetujuan hakim.
Aspek ketiga terpenting dalam peraturan Belanda perihal kesepakat an dengan saksi ialah diujinya terlebih dahulu keabsahan kesepakatan dengan saksi oleh hakim komisaris. Pada satu pihak, prosedur ini dapat dipandang sebagai hambatan yang tidak perlu dan memakan waktu, namun pada lain pihak, proses ini dapat mencegah dibuatnya kesepakatan-kesepakatan yang melawan hukum dengan segala dampak negatifnya, seperti tidak dapat digunakannya bukti-bukti yang diperoleh secara me lawan hukum. Lebih lagi, pengawasan oleh hakim di atas juga berfungsi untuk memberi kesempatan pada pihak ketiga (hakim) untuk menilai dan menguji seberapa jauh saksi dan keterangan yang akan diberikan dapat dipercaya dan diandalkan. Kiranya prosedur ini juga memiliki fungsi preventif; prapengujian keabsahan kesepakatan dengan OM yang dilakukan oleh hakim (komisaris) mencegah jaksa-penuntut umum yang terlalu bersemangat memberantas kejahatan terorganisir untuk serampangan membuat kesepakatan dengan saksi-saksi yang kurang dapat dipercaya.
Pelajaran terakhir yang dapat dipetik beranjak dari pengalaman Belanda ialah fakta bahwa kesepakatan dengan saksi untuk memberi kete-
17 Kemungkinan munculnya risiko ini juga diakui di Indonesia. Hal mana muncul dari pern- yataan Harkristuti Harkrisnowo, sebagaimana dikutip oleh Trimulyono Hendradi, Secu- ring protection and cooperation of witnesses and whistle-blowers , hlm. 73 (te raadplegen via: htp://www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_GG4_Seminar/Fourth_GGSeminar_P68-75.pdf).
Kesepakatan dengan saksi dalam proses pidana kesepakatan dengan saksi ...
rangan dengan imbalan tertentu ternyata tidak dapat dipandang lepas dari kesepakatan perihal pemberian perlindungan isik (atas keamanan) saksi. Sebagaimana telah disinggung di muka, di dalam sistem Belanda dikenal dua kesepakatan berbeda, masing-masing dengan pihak yang berbeda-beda, dengan latar belakang kepentingan yang berbeda serta akibat hukum yang berbeda pula. Sekalipun demikian, saksi/terdakwa cenderung memandang kedua kesepakatan tersebut sebagai saling kait mengait, karena ia secara wajar tidak akan bersedia memberikan keterang- an yang diperlukan jaksa-penuntut umum selama keamanan isiknya tidak terjamin. Pengalaman Belanda menunjukkan bahwa seketika muncul masalah dalam pemberian perlindungan isik terhadap saksi (atau keluarganya), hal ini berdampak terhadap kesediaan saksi memberikan keterangan. Kedua bentuk kesepakatan atau perjanjian tersebut sekalipun secara formal berbeda satu dan lain, namun dari substansinya justru berkorelasi satu sama lain – terutama dari sudut pandang saksi. Kendati begitu, hal ini tidak serta merta berarti bahwa keduanya dapat disatukan begitu saja dalam satu kesepakatan. Bila hal itu dilakukan, maka perlin- dungan isik dari saksi sepenuhnya dibuat tergantung pada kesediaannya memenuhi kewajibannya di bawah perjanjian dan memberikan keterang- an yang diperjanjikan. Bila ia tidak memenuhi kewajibannya tersebut, maka dalam skenario di atas ia akan sekaligus kehilangan haknya untuk menikmati perlindungan isik dari negara, hal mana dengan mudah memunculkan situasi yang tidak diinginkan. Selanjutnya juga dapat dipersoalkan apakah, dari sudut pandang hak asasi manusia, skenario demikian diperbolehkan, terutama mengingat kenyataan bahwa negara/ penguasa (Belanda) – juga dengan mempertimbangkan hak atas hidup yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (Europees Verdrag voor de Rechten van de Mens) – secara umum bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan saksi dalam kasus-kasus pidana. Kewajiban ini harus dimaknai terlepas dari persoalan apakah saksi demikian mengikatkan diri pada suatu perjanjian dengan OM serta juga terlepas dari kenyataan apakah saksi tersebut memenuhi kesepakatan yang dibuat atau tidak.