Tanah Telantar

Tanah Telantar

ETELAH proses yang cukup panjang, regulasi baru mengenai tanah telantar akhirnya terbit juga. Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menandatangangi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (22 Januari 2010) menggantikan PP 36/1998. Revisi PP 36/1998 diper- lukan untuk mempercepat penyelesaian masalah akut terkait tanah telantar di Indonesia.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menuntaskan identi- fikasi tanah telantar di seluruh Indonesia. Sebanyak 7,3 juta hektare lahan telantar yang sudah diidentifikasi itu akan didayagunakan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat. Kepala BPN, Joyo Winoto, mengatakan, tanah telantar itu harus didayagunakan sesuai perintah PP 11/2010. Pemerintah berencana memanfaatkan tanah telantar itu, di antaranya, untuk reforma agraria (land reform), kepentingan strategis negara dan pemerintah seperti ketahanan pangan, energi, dan pengembangan perumahan rakyat (Republika, 22/03/2010).

Setelah PP 11/2010 terbit, maka siapa pun terbukti menelantarkan tanah harap bersiap sedia untuk ditertibkan demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Selama ini, penelantaran tanah telah menjadikan akses masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha terhadap tanah men- jadi tertutup. Kerugian negara yang lahir dari hilangnya manfaat karena penelantaran tanah sangatlah besar. Setiap tahunnya diper- kirakan lebih besar dari total anggaran pembangunan publik. Maka

Usep Setiawan dari itu, tanah-tanah telantar ini harus ditertibkan, kemudian dima-

sukkan ke dalam sistem ekonomi dan politik sebagai sumber baru kesejahteraan rakyat.

Menurut hemat penulis, Revisi PP 36/1998 boleh dipandang seba- gai terobosan untuk mempercepat dan mempermudah penyelesaian tanah telantar sebagai bagian dari program reforma agraria. Sejak awal, penulis mendorong agar regulasi mengenai tanah telantar diletakkan sebagai bagian dari reforma agraria. Adapun program reforma agraria perlu diletakkan sebagai agenda bangsa dan strategi dasar mem- bangun struktur politik, ekonomi, dan sosial yang lebih sehat.

Menurut PP 11/2010, ‘’Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya’’ (Psl 15). Peruntukan dan pengaturan peruntukan bekas tanah telantar dilakukan Kepala BPN RI.

Regulasi yang ditunggu

Kondisi agraria di Tanah Air memerlukan operasi besar dengan kemauan politik kuat dari penyelenggara Negara dalam membongkar struktur agraria lama dan membangun tatanan agraria baru yang lebih berkeadilan sosial. Jika ada kemauan politik yang amat sangat kuat dari Presiden SBY dan seluruh jajarannya, penertiban dan penda- yagunaan tanah telantar ini dapat menjadi pintu masuk bagi reforma agraria. Pendayagunaan tanah telantar yang kewenangannya ada di pemerintah mestilah sungguh-sungguh diabdikan bagi upaya mengatasi ketimpangan struktur agraria, kemiskinan rakyat, dan pengangguran yang masih mendera sebagian penduduk negeri.

Terbitnya PP 11/2010 merupakan sesuatu yang ditunggu meng- ingat regulasi mengenai tanah telantar yang lama mandul dalam konsep maupun dalam praktiknya di lapangan. PP yang lama amat sulit untuk diberlakukan mengingat proses yang sedemikian panjang, rumit, dan mempersulit pelaksanannya. Alhasil, sejak PP tersebut

Kembali ke Agraria disahkan hingga diganti, tak ada satu pun bidang tanah yang secara

formal dinyatakan telantar. Dampaknya, jutaan hektare tanah yang secara fisik telantar, tapi secara hukum tak dapat dinyatakan telantar.

Secara keseluruhan, isi PP 11/2010 ini meliputi 8 bab dan 20 pasal, serta dilengkapi penjelasan. Kedelapan bab tersebut adalah; Ketentuan umum; Objek penertiban tanah telantar; Identifikasi dan penelitian; Peringatan; Penetapan tanah telantar; Pendayagunaan tanah negara bekas tanah telantar; Ketentuan peralihan, dan; Keten- tuan penutup. Kepastian adanya perbaikan dalam prosedur dan mekanisme operasional penertiban dan pendayagunaan tanah telan- tar sangat diperlukan agar tanah-tanah telantar itu otomatis sebagai objek reforma agraria. Sehingga, penertiban dan pendayagunaan tanah telantar berguna bagi keperluan menutup defisit kebutuhan rakyat miskin atas tanah sebagai faktor produksi utama.

Reforma agraria menjadi jawaban tepat memajukan dan memak- murkan bangsa, secara bersama. Reforma agraria, hakikatnya proses penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Ini adalah upaya besar seluruh komponen bangsa. Di sinilah relevansi menempatkan seluruh pengertian, ruang lingkup, dan kegu- naan dari pengelolaan ‘’tanah negara bekas tanah telantar’’ dalam realisasi reforma agraria sejati, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan struktural yang dihadapi mayoritas rakyat Indonesia, khususnya kaum tani di pedesaan.

Reforma Agraria tanpa kebijakan pemerintah ialah kemustahilan. Sementara itu, reforma agraria tanpa melibatkan organisasi rakyat akan gagal dalam mencapai tujuannya. Keberadaan organisasi rakyat (tani) yang kuat ialah prasyarat pokok keberhasilan reforma agraria. Peran dan keterlibatan organisasi rakyat dalam pelaksanaan reforma agraria sangat penting. Pada akhirnya, upaya penertiban dan pendayagunaan tanah telantar hanya akan berkontribusi pada penanggulangan kemiskinan jika ia diletakkan dalam bingkai pelaksanaan program reforma agraria untuk kepentingan rakyat miskin. Wallahu ‘alam.***