Upaya mempertahankan adat

Upaya mempertahankan adat

Berdasarkan wangsit leluhur yang selalu disampaikan dari generasi ke generasi, Orang Naga mengenal sejumlah falsafah hidup. Falsafah ini juga mempengaruhi mereka dalam mempertahankan kelestarian hutan larangan. Misalnya, falsafah : Ulah bogoh ku ledokna, ulah kabita ku datarna. Makaya na luhur batu, disaeuran ku taneuh moal luput akaran. Legana saukuran tapak munding, sok mun eling moal lu-put mahi . Artinya: Jangan tergoda oleh kesuburannya, jangan terpikat oleh luasnya. Bercocok-tanam di atas batu, ditimbun tanah takkan sampai tak berakar. Walau luasnya seukuran telapak kerbau, asal ingat aturan adat pasti mencukupi (menurut adat Naga, falsafah hi- dup seperti ini tidak boleh diucapkan pada hari-hari tabu, yakni: Selasa, Rabu dan Sabtu).

Selain itu ada juga sanksi non-fisik yang disediakan bagi Orang Naga yang melanggar tanah adat. Bentuknya, amanat, wasiat, dan akibat. Sanksi ini terkandung dalam falsafah berikut Bandung Parakan Muncang Mandala Cijulang, ana saseda satapa, baeu tunggal seuweu putu. Kulit ka-sasaban ruyung, keureut piceun bisi nyeri . Maknanya: Dari mana pun orang lain berasal, mereka adalah saudara. Kalau ada yang melanggar adat maka buang atau singkirkan saja sebab merugikan dan membuat sakit.

Secara turun-temurun, adat Kampung Naga dipertahankan oleh incu-buyutnya. Caranya dengan mempertahankan jumlah, bentuk dan bahan bangunan yang berasal dari alam sekitar. Rumah dan bangunan lain yang ada di Kampung Naga seluruhnya mengguna- kan bahan utama kayu, bambu, ijuk dan batu sungai yang semuanya tersedia di sekitar pemukiman mereka. Orang Naga menolak ma- suknya listrik ke perkampungan mereka. Alasannya patuh pada la- rangan dari karuhun, atau karena takut perumahan mereka keba- karan. Seperti diketahui rumah mereka terbuat dari bahan yang rentan kebakaran seperti ijuk, kayu dan bambu.

Jika digali lebih dalam, sebenarnya mereka tidak anti ‘kemajuán ’ . Mereka juga tidak ketinggalan berita perkembangan zaman dan

Usep Setiawan dunia luar. Ini dikarenakan mobilitas sosial ke luar kampung yang

cukup tinggi. Di beberapa rumah warga pun sudah ‘dihiasi’ pesawat teve hitam putih dengan tenaga aki dan radio dengan energi baterai. Resep yang dipakai Orang Naga dalam mempertahankan adatnya sekaligus juga mengikuti perkembangan zaman adalah falsafah: Hirup mah kudu miindung ka waktu mibapa ka zaman , yang artinya: bah- wa dalam hidup kita mesti mengikuti perjalanan waktu dan jangan mau ketinggalan zaman, walau begitu jangan sampai kabawa kusa- kaba-kaba (terbawa oleh pengaruh negatif yang ditimbulkan perkem- bangan zaman).

Dalam hal etika dan kearifan (moralitas) hidup, Orang Naga secara ketat patuh terhadap larangan yang ditetapkan leluhur. Tiga larangan utama adalah berjudi (ngadu), mabok (ngamadat) dan melacur (ngawadon) . Jika larangan dilanggar, si pelaku tinggal menunggu ‘hu- kuman’ dari leluhur. Menurut sesepuh setempat, hingga kini belum pernah (diketahui) ada warga adat yang melanggar larangan di atas.

Untuk memelihara kelangsungan adat, setiap tahun Orang Kampung Naga mempunyai enam upacara adat yang mengikuti hari- hari keramat dalam bulan suci Islam. Yaitu setiap bulan Muharram, Mulud, Jumadil Akhir, Sa’ban, Idul Fitri dan Idul Adha. Setiap menjelang Maulid Nabi Muhammad (muludan), dikumandangkan shalawat nabi dengan diiringi musik terbang (khas Naga). Upacara adat dilakukan dengan melakukan ziarah (jarah) ke makam leluhur di Kampung Naga. Yaitu makam karuhun pertama Naga yang ber- nama Eyang Singaparna. Ada lima pihak yang tidah boleh ikut serta dalam jarah, yaitu: perempuan, anak kecil, non-muslim, haji, dan pejabat pemerintah (mester).

Setahun sekali, secara rutin di Kampung Naga biasa diseleng- garakan sunatan massal. Acara ini menarik perhatian, karena selain melibatkan puluhan anak kecil keturunan Naga yang disunat, ada juga hiburan tradisional yang digelar selama kira-kira tiga hari. Tidak jarang, warga mengundang kerabat dan kenalan dari luar Naga untuk menyaksikan.

Kembali ke Agraria