Hak Guna Usaha untuk Siapa?

Hak Guna Usaha untuk Siapa?

D perkeras pertarungan beragam kepentingan dalam memperebutkan

ISAHKANNYA Undang-Undang Penanaman Modal oleh DPR (29 Maret 2007) dikhawatirkan berbagai pihak akan mem-

hak atas tanah sebagai sumber utama agraria. Dengan lugas, Rev- risond Baswir mengecam UU ini sebagai kesesatan pikir penyu- sunnya dalam memfasilitasi kepentingan neo-kolonialisme. Memang, menganggap tanah sebagai komoditas dan fasilitas insentif bagi penanaman modal asing maupun domestik ialah bagian dari cara pandang yang sesat itu. Cara pandang sesat inilah yang jadi keke- liruan fatal dari UU Penanaman Modal.

Mestinya disadari bahwa tanah sebagai resources bukan semata landscape fisik geografik, melainkan sarat hubungan sosial dan ekonomi. Tanah bukan hanya sumber daya penghasil surplus pro- duksi, melainkan akar pengetahuan (knowledge) bahkan identitas budaya masyarakat. Di atas tanah itulah hubungan kemanusiaan dibangun (Siti F. Khuriyati, 2007). Di atas tanah masyarakat menganyam relasi sosial, menata produksi dan membangun budaya. Bangsa agraris ini membentuk identitas sosial dalam landscape sosio- kultural secara holistis di atas tanah sebagai satu kesatuan jiwa raga bangsa.

Dalam bahasa UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA): “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa

Usep Setiawan Indonesia… karunia Tuhan Yang Maha Esa … dan merupakan keka-

yaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa… adalah hubungan yang bersifat abadi” (Pasal

1 ayat 1,2,3).

Merampas dari masyarakat

Kerasnya perlawanan terhadap Hak Guna Usaha (HGU) 95 tahun yang dikandung UU Penanaman Modal terus menguat. Bahkan, kalangan organisasi petani, akademisi, dan masyarakat sipil di Indonesia merasa penting untuk segera melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam UUPA, HGU diatur dalam Pasal 28-30 dan aturan kon- versi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan “kelanjutan” dari erpacht Agrarische Wet 1870 dan peraturan consessie. Namun, dalam penjelasan umum dan pen- jelasan pasal per pasal UUPA, HGU diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi.

Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu ada- lah adanya perkebunan modern di satu sisi bersanding dengan perta- nian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal di sisi yang lain. Lebih lanjut, hak erpacht yang dikonversi ke dalam HGU diberi jangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam pidato sebelum pengesahan UUPA (September 1960) merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht tersebut dahulu- nya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Se- hingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya keruwetan hak barat atas tanah semestinya sudah selesai pada tahun 1980-an.

Pemerintah Orde Baru enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres No. 32/1979 tentang Pokok- Pokok Kebiaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah

Kembali ke Agraria Asal Konversi Hak-Hak Barat, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri

No.3/1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan umumnya perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan BUMN sekaligus melihat kenyataan bahwa sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi privilese. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.

Dualisme ekonomi pertanian

Di lain pihak, korporasi swasta juga telah diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU di atas tanah yang diklaim seba- gai tanah negara. Inilah bentuk pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang memanipulasi Hak Menguasai Nega- ra atas tanah dalam UUPA yang seharusnya dipandu oleh kewajiban diabdikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan mem- punyai fungsi sosial.

Pemberian HGU selama ini telah mempertahankan dualisme ekonomi pertanian kita. Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat adat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hu- kum pertanahan oleh rakyat.

Penelusuran singkat ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” dalam pandangan masyarakat sekitarnya dan secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Identiknya perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal menjadikan perusahaan perke- bunan sasaran okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini menje- laskan bahwa umumnya perusahaan perkebunan berdiri di atas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan

Usep Setiawan konflik sosial.

Pemerintah dan DPR mestilah bersepakat untuk segera mem- bentuk sebuah badan independen yang bersifat adhoc untuk melakukan audit terhadap seluruh HGU yang ada dan menyele- saikan segenap persoalan di dalamnya. Sebagai langkah awal, Badan Pertanahan Nasional RI (lembaga pemerintah yang berwenang mengatur HGU) perlu segera mengidentifikasi dan mengklasifikasi ulang HGU yang ada untuk kemudian diadakan evaluasi total terha- dapnya sebagai bagian dari program pembaruan agraria nasional.

Pemberian fasilitas dan kemudahan berlebih kepada penanam modal akan menjauhkan rasa keadilan sosial dalam sanubari rakyat. Pelaksanaan UU Penanaman Modal dapat memicu kontestasi (per- tarungan) dalam bentuknya yang paling konkrit, yakni konflik agraria yang semakin massif.

Agar konflik ini urung terjadi, pembatalan UU Penanaman Modal oleh Mahkamah Konstitusi jalan keluarnya. Sedangkan terkait HGU, untuk ke depan (lihat: Setiawan dan Arsyad, Sinar Harapan, 06/09/ 06), haruslah hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rak- yat sehingga terdapat desain nasional bagi petani kita untuk mem- bentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa.

Dengan begitu, reforma agraria akan membuka jalan bagi pem- bangunan ekonomi kerakyatan yang dimotori kaum tani menuju keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Iwan Nurdin)

Forum Keadilan, No.05/22-28 Mei 2007