Cegah Reforma Agraria Gagal

Cegah Reforma Agraria Gagal

(Renungan Hari Tani Nasional, 24 September 2007)

EKALIPUN rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria mulai tahun 2007 ini disambut baik, ada yang khawatir

dalam praktiknya akan menemui kebuntuan sehingga tertunda. Bahkan, ada yang menduga, jika rencana pemerintah itu dijalankan sekarang, hasilnya pastilah kegagalan. Aroma harapan yang berbaur dengan berbagai kekhawatiran terhadap program reforma agraria ini menjadi suguhan unik saat kita memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September 2007—sebagai pengingat atas terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria No 5/1960.

Kalangan yang skeptik senantiasa menyandarkan argumen pada enam prasyarat reforma agraria, yakni kemauan politik pemerintah, data yang lengkap dan teliti, organisasi rakyat yang kuat, elite pengu- asa terpisah dari elite bisnis, adanya pemahaman minimal tentang agraria, dan, adanya dukungan militer dan polisi.

Keenam prasyarat itu—seperti kerap disampaikan Gunawan Wiradi (pakar politik agraria), menjadi rambu-rambu untuk menilai mungkin tidaknya reforma agraria yang sejati dapat terlaksana di suatu negara. Diasumsikan, reforma agraria akan gagal jika salah satu syarat tadi tak terpenuhi. Apalagi kalau seluruh syarat tak terse- dia, reforma agraria dipastikan mustahil bisa berjalan.

Penulis setuju reforma agraria memerlukan enam prasyarat seba-

Kembali ke Agraria gai landasan idealisasi atas gerakan reforma agraria yang sejati (genu-

ine agrarian reform ). Muncul pertanyaan: sejauh mana kondisi prasya- rat di Indonesia saat ini? Kalau mau jujur, keenam prasyarat tadi pada kenyataannya memang belum sepenuhnya mantap tersedia. Ada dua pilihan. Pertama, menunggu semua prasyarat terpenuhi terlebih dahulu baru reforma agraria dijalankan. Atau, kedua, segera laksanakan dengan kekuatan yang ada sambil berusaha memenuhi prasyarat yang diperlukan?

Penulis condong tidak (lagi) menunggu. Setidaknya, kemauan politik pemerintah dan kekuatan organisasi rakyat kini mulai tumbuh berkembang maju. Keduanya batu pijak untuk memenuhi prasyarat lainnya.

Komitmen pemerintah

Kemauan politik Presiden RI untuk memulai pelaksanaan refor- ma agraria dan keseriusan Badan Pertanahan Nasional RI meru- muskan model praktis reforma agraria sebagaimana ditugaskan Perpres 10/2006, patut diapresiasi positif. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato politik (31 Januari 2007), menyatakan bang- sa ini menghadapi tiga masalah mendasar: tingginya tingkat kemis- kinan, pengangguran, dan besarnya utang pemerintah. Menurut Presiden, ketiga masalah itu mengalir dari masa lalu yang menjadi tantangan bersama masa kini.

Lalu, presiden mengabarkan: mulai tahun ini pemerintah akan membagikan tanah bagi rakyat miskin. Tanah yang dibagikan tersebut berasal dari hutan konversi maupun tanah-tanah lain yang secara hukum bisa dibagikan. Kebijakan reforma agraria akan dilakukan dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Ring- kasnya, “Reforma agraria mutlak untuk dilakukan...,” demikian komitmen RI-1.

Agenda strategis pemerintah ini perlu diapresiasi, dikaji substan- sinya sekaligus dikawal kritis implementasinya. Yang juga cukup melegakan, ditengarai juga kecenderungan meningkatnya perhatian

Usep Setiawan sejumlah menteri, para gubernur, bupati/wali kota dan jajarannya

untuk menyukseskan reforma agraria. Para pejabat pusat-daerah mulai berupaya menjadikan reforma agraria sebagai bagian dari agenda dan program kerja di lingkup kelembagaan mereka. Penulis mendengar sendiri kesediaan Gubernur Gorontalo, Bengkulu, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, dan bebe- rapa yang lain untuk menjalankan reforma agraria di provinsinya.

Dinamika ini tentu mesti kita letakkan sebagai upaya menuju terciptanya keadilan agraria, di mana tidak ada ketimpangan dalam pemilikan penguasaan dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lainnya, sebagai wujud nyata keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Komitmen ini tampak mulai tumbuh subur di jajaran pe- merintahan sepanjang 2006-2007 ini. Soalnya, sejauh mana komitmen ini diaktualisasikan ke dalam program konkret secara nasional sam- pai di daerah? Bagaimana reforma agraria tak sekadar wacana, tapi membumi nyata di lapangan. Inilah tantangan pokok sebenarnya.

Penulis percaya kekuatan rakyat selalu terjaga. Jangan pernah meremehkan kekuatan rakyat dalam agenda nasional menyangkut hajat hidup bangsa. Tak pantas menganggap rakyat bodoh hanya karena jarang bicara tentang reforma agraria. Rakyat terjaga, sehingga tak ada satu pun kebijakan negara yang lolos dari mata hati mereka. Rakyat adalah ibu kandung dari negara, sehingga tak mungkin ada negara jika rakyat tak pernah ada. Karenanya, reforma agraria yang kita maksud harus meletakkan kekuatan rakyat sebagai penentu, bu- kan pelengkap apalagi penderita.

Sejumlah indikasi positif menandai kemajuan kalangan rakyat yang kondusif bagi pelaksanaan reforma agraria. Mulai meluasnya pembentukan serikat-serikat petani nasional, regional dan lokal men- jadi isyarat penting pemenuhan prasyarat kekuatan rakyat bagi refor- ma agraria. Sekadar contoh, di level nasional telah berdiri: Federasi Serikat Petani Indonesia, Serikat Tani Nasional, Aliansi Petani Indo- nesia, Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Dewan Tani Indonesia, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Tiap organisasi tani nasional

Kembali ke Agraria ini punya fokus perhatian, namun semuanya punya plattform sama,

yakni: mendorong terlaksananya reforma agraria sejati. Di tingkat wilayah ada Serikat Petani Pasundan di Jabar, Orga- nisasi Tani Jawa Tengah di Jateng, Serikat Tani Independen di Jatim, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia di Sumut, Serikat Tani Bengkulu, Serikat Petani Lampung, Serikat Tani NTB, Serikat Petani Kabupaten Sikka di NTT, Serikat Tani dan Nelayan di Sulsel, dan lainnya. Walau kondisi serikat tani ini variatif tapi pokok perjuangan- nya reforma agraria sejati.

Penulis menganggap penting organisasi rakyat yang ada mengambil peran strategis dalam pengawalan reforma agraria secara kritis konstruktif. Konsolidasi dan penguatan organisasi rakyat serta para penyokongnya diperlukan untuk memastikan program ini mengarah pada reforma agraria sejati—sebuah pembaruan yang benar-benar untuk rakyat miskin, terutama kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin kota.

Jangan gagal

Rencana pelaksanaan reforma agraria sekarang ini sejatinya tiupan peluit tanda dimulainya gerakan besar penghadiran keadilan sosial. Untuk menghindari kegagalan, pemerintah dan rakyat ditan- tang untuk segera memenuhi syarat-syarat utama yang diperlukan bagi reforma agraria. Perjuangan reforma agraria tak boleh layu sebe- lum berkembang, tak pantas busuk sebelum matang. Niat baik yang sudah ada di tubuh pemerintah dan rakyatnya harus terus dimatang- kan agar reforma agraria tercegah dari penundaan dan kegagalan.

Reforma agraria harus jadi konsensus kolektif bangsa (Koran Tempo, 18/12/06). Reforma agraria harus mengisi benak, hati dan tindakan nyata pemerintah bersama segenap rakyatnya. Tak perlu ada yang merasa paling pintar, karena yang diperlukan adalah sinergi antarkomponen bangsa. Jangan saling melemahkan, bersikaplah sa- ling menguatkan dan meneguhkan.

Kematangan bangsa ini akan menjadi penentu mulusnya reforma

Usep Setiawan agraria atas inisiatif rakyat yang didukung penuh komitmen peme-

rintah (siapa pun rezimnya). Reforma agraria harus dicegah dari kegagalan. Jika gagal, bukan hanya para penggagas dan pelaksana- annya yang merugi, tapi bangsa ini secara keseluruhan rugi. Semoga tidak. Selamat merayakan hari tani! ***