Menulis Populer untuk Kampanye dan Advokasi

Menulis Populer untuk Kampanye dan Advokasi

Bagian terakhir yang hendak saya kemukakan untuk menutup buku dari sahabat saya ini adalah soal menulis di media massa untuk tujuan kampanye dan advokasi—satu bidang yang pernah digawangi oleh Usep ketika ia aktif di Badan Pelaksana KPA. Dalam hal ini saya mau menyoroti satu kemungkinan interpretasi yang lain atas tulisan- tulisan Usep yang terkumpul dalam buku ini. Intepretasi ini berangkat dari asumsi menulis suatu artikel untuk bisa diterbitkan oleh media massa tidak sepenuhnya ditentukan oleh keyakinan teoritik maupun gagasan yang dimiliki oleh penulis. Faktor pihak-pihak yang ada di dapur redaksi dari media massa tersebut seringkali justru menentukan ke arah mana dan bagaimana bentuk suatu tulisan bisa diterbitkan oleh media bersangkutan.

Dalam hal ini bisa dipahami bahwa menulis secara popular un- tuk konsumsi media massa mengenai pelaksanaan dan konsep-kon- sep ‘agrarian reform by leverage’ bukan perkara mudah. Sekalipun mungkin ada tulisan tersebut, belum tentu akan sesuai dengan selera redaksi. Redaksi media massa, walau bagaimana pun, akan memilih tulisan-tulisan yang sifatnya aktual yang membahas persoalan-per- soalan kekinian dalam kehidupan masyarakat dengan bahasa yang popular. Seringkali pula, redaksi akan senang jika tulisan tersebut merupakan suatu analisa terhadap kebijakan tertentu. Dengan kata lain, mempromosikan gagasan dan praktek ‘agrarian reform by le- verage’ walaupun itu sangat penting dan (mungkin) menarik untuk sejumlah kalangan pembaca, khususnya yang berminat dengan per-

Epilog kembangan diskursus tentang reforma agraria, belum tentu akan

dianggap ‘menarik’ oleh redaksi media massa. Apalagi isu atau tema agraria bukanlah tema yang mudah untuk dikemukakan ke publik kota, dimana sebagian besar pembaca media cetak dengan muatan artikel-artikel semi-ilmiah-semi-populer bertempat tinggal. Media cetak semacam ini lebih senang menampil- kan tulisan-tulisan atau berita yang berkaitan dengan masalah agra- ria khususnya jika hal itu terkait atau bisa dikaitkan dengan kasus- kasus penggusuran. Berita atau contoh-contoh dari kasus penggu- suran dapat dikategorikan sebagai ‘news’, sementara masalah-mas- alah agraria lainnya yang tidak kalah penting seperti ketimpangan penguasan tanah misalnya sangat sulit diolah menjadi ‘news’ tanpa menampilkan kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan ‘pende- ritaan’ orang-orang yang tak bertanah atau memiliki lahan sempit.

Meskipun banyak berita dan kasus tentang kemiskinan merupa- kan ‘news’ bagi media massa, maka sangat jarang ditampilkan akar dari persoalan kemiskinan itu yang letaknya ada pada masalah agra- ria. Belum lagi jika kita melihat besarnya kemungkinan bias kota dalam media massa di Indonesia. Untuk pembaca kelas menengah kota, dan mungkin juga para anggota redaksi dan pemilik media massa, yang juga banyak dari mereka adalah para tuan tanah, prob- lem ketimpangan penguasaan tanah adalah problem yang terlalu spesifik dan sering dianggap sebagai problem yang ‘sulit untuk dipahami’. Kelas menengah kota, juga tuan-tuan tanah mungkin dengan alasan kemanusiaan atau hak azasi manusia dapat menaruh simpati dan perhatian terhadap hilangnya hak seseorang atau seke- lompok orang atas tanah yang selama ini mereka kuasai; tetapi jika suatu ulasan atau kampanye yang menyangkut pembatasan pengu- asaan tanah, kecil kemungkinan mereka akan bersimpati.

Itu sebabnya banyak sekali tulisan-tulisan yang sangat bagus, bermutu, kritis tetapi sekaligus cukup radikal mengenai gerakan petani dan pembaruan agraria yang tidak dapat dimuat di media massa seperti koran, sehingga hanya menjadi konsumsi kalangan

Usep Setiawan terbatas. Dalam beberapa tulisan Usep sebenarnya berhasil menya-

jikan contoh-contoh yang berkaitan dengan gerakan tani, tetapi tentu saja dilihat dari kuantitasnya dibanding dengan tulisan yang lebih menyoroti kebijakan dan promosi reforma agraria yang dijalankan oleh Negara, jumlahnya sangat sedikit.

Akhirnya terlepas dari segala kekurangannya, kelebihan buku ini telah memperkaya kembali bahan-bahan untuk terus menggu- lirkan pendalaman wacana reforma agraria hingga menjadi sebuah wacana-yang-terterap, tidak hanya sekedar wacana yang berkibar- kibar dalam arena diskusi dan perbincangan. Tulisan-tulisan popu- lar semacam karya Usep ini, di satu sisi, telah berkontribusi secara langsung untuk membuat publik ‘menyadari’ ada masalah yang pen- ting tetapi sangat jarang mengemuka dalam wacana publik; di sisi lain, dimuatnya tulisan-tulisan Usep telah turut membantu ‘melu- ruskan’ cara pandang jurnalis ketika mewartakan soal masalah agra- ria di negeri ini. Contoh terbaik adalah ketika aksi-aksi pendudukan tanah merebak beberapa tahun yang lalu, jurnalis tanpa melakukan pemeriksaan yang mendalam mengenai alasan-alasan yang ada di balik aksi-aksi tersebut langsung ‘menuduh’ pelaku aksi dengan la- bel ‘penjarah tanah’ atau ‘penjarah hutan’ seperti layaknya pemegang otoritas memberikan label.

Tidak bisa dipungkiri buku karya Usep ini akan menjadi bahan yang sangat berguna untuk mencapai tujuan itu. Sambil, tentu saja, kita menanti karya-karya hasil olah pikirnya lebih lanjut! Buku ini juga menjadi bukti baru bahwa keresahan-keresahan yang kerap muncul dari generasi aktivis-pemikir agraria yang ‘lebih senior’ tentang minimnya pemikir-pemikir pembaruan agraria di Indonesia semakin menemukan jawaban positif: Generasi baru aktivis-pemikir (scholar-activist) di bidang agraria di Indonesia terus tumbuh dan berkembang; Usep adalah salah seorang diantaranya.

Bravo Bung Usep, maju terus! … (kau pasti tidak bisa lagi mundur, karena setiap jembatan terakhir telah kau rubuhkan sendiri ) … sebuah penyikapan yang mulia dan luar biasa yang membuat saya merasa

Epilog harus terus ‘menemani’ dan belajar kembali agar selalu dapat menjadi

kawan yang setara. ***

Adelaide, 20 Mei 2010