Otonomi Daerah: Buah Simalakama?

Otonomi Daerah: Buah Simalakama?

YARIS semua kalangan kini menjadikan tema otonomi daerah sebagai menu pembicaraan. Lirik saja media massa, seminar,

lokakarya, pelatihan, diskusi, bahkan warung kopi semarak membin- cangkan isu seksi nan hangat bernama otonomi daerah. Asal mula datangnya kegandrungan orang terhadap isu otonomi daerah tidak lepas dari lahirnya dua UU pada era Habibie, yakni Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah—selanjutnya disebut UU No. 22/1999—dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perim- bangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Yang dimaksud dengan otonomi daerah oleh UU No. 22/1999 adalah: “kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berda- sarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan” Pasal 1 poin (h). Lebih dari itu, UU ini memberi kewenangan kepada daerah, mencakup dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain—Pasal 7 Ayat (1).

Tulisan ini mencoba menangkap kecenderungan perdebatan publik mengenai otonomi daerah dan menggagas peluang peman- faatan kebijakan otonomi daerah sebagai momentum pengembalian hak-hak kedaulatan rakyat. Kita identifikasi pendapat masyarakat (publik) secara umum. Kini tengah berkembang perdebatan yang sengit antara pihak yang menilai otonomi daerah secara optimistik

Usep Setiawan dan pesimistik.

Secara tegas, golongan yang optimis merupakan pendukung uta- ma otonomi daerah baik dari sisi ide dasar maupun strategi imple- mentasinya. Bagi golongan ini, otonomi daerah adalah jawaban atas kritik terhadap model hubungan pusat-daerah yang selama ini sangat sentralistik. Bahkan dengan otonomi, kemajuan dan kesejahteraan rakyat di daerah akan seperti mimpi yang menjadi kenyataan (dream comes true).

Hal ini berlaku sebaliknya bagi yang pesimis. Bagi golongan ini, otonomi daerah dinilai hanya akan mengalihkan ‘raja-raja’ (pengu- asa) dari pusat (Jakarta) ke daerah. Belum lagi, kekuatan politik di daerah sekarang masih berkemampuan rendah (under skill) yang bisa memicu kemungkinan salah arah (disorientasi) pengembangan daerah. Golongan pesimis melihat bahaya otonomi daerah justru lebih besar ketimbang peluang positilnya. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan rekomendator kelahiran UU ini adalah kalangan rezim kapilalis glo- bal, seperti IMF dan Bank Dunia. Golongan pesimistik memperkirakan proses penetrasi kapital ke desa-desa di daerah akan kian mulus dan massif. Jika ini yang terjadi, maka dampaknya mudah ditebak: penyingkiran rakyat dari akses sosio-ekonomi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber penghidupan masyarakat akan makin menguat.

Di luar dua golongan di atas, tidak dipungkiri ada (banyak) pula yang apatis merupakan golongan tidak peduli dan ogah ambil pusing terhadap isu otonomi daerah. Besar kemungkinan alasan golongan ini muncul akibat kekurangan informasi sehingga tidak cukup untuk mengambil sikap tertentu. Hemat penulis, perdebatan tentang oto- nomi daerah seyogianya mendapat tempat yang cukup di hadapan wacana publik. Tentu saja, dialog mengenai perbedaan pendapat ini mesti dilakukan secara terbuka, rasional, dan sepanjang bertujuan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Masalahnya sekarang, bagaimana kita mengolah perbedaan pendapat itu sehingga jadi rah- mat, bukannya laknat.

Kembali ke Agraria Menyikapi kecenderungan kebijakan otonomi daerah, dalam

pandangan penulis perlu dibedah terlebih dahulu mengenai perumusan orientasi (yang dilatari oleh visi dan misi) pengembangan daerah. Orientasi ini penting sebagai fondasi dari bangunan yang bernama daerah otonom. Kita bisa belajar dari masa lampau bahwa orientasi pembangunan daerah sama sebangun dengan yang diru- muskan di pusat.

Rezim Orde Baru sebagai penganut pembangunan kapitalistik (mengutamakan kepentingan modal besar) yang mendorong pertum- buhan ekonomi setinggi-tingginya, maka begitu pula yang berlaku di daerah. Dengan otonomi daerah, terbuka ruang yang lebar bagi lahirnya orientasi baru dari pengembangan suatu daerah. Prinsip dari orientasi baru mestinya mengutamakan kepentingan mayoritas rakyat kecil di daerah.

Langkah lanjutan setelah ditemukan orientasi pengembangan daerah adalah penentuan strategi apa yang akan diambil dalam pengembangan daerah tersebut. Dulu, Orde Baru menerapkan strategi massa mengambang (floating mass) dan mengontrol secara ketat dan keras (represif) kehidupan masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi ditopang pendekatan keamanan (secu- rity approach) untuk menjaga stabilitas kekuasaan politik nasional yang mantap. Sekarang, strategi semacam ini telah digugat banyak sekali pihak, termasuk oleh pendukung fanatiknya dulu. Otonomi daerah memberi peluang dipilih dan digunakannya strategi pengem- bangan daerah yang jauh dari praktek eksploitasi, manipulasi, pemaksaan, dan kekerasan.

Orientasi dan strategi tadi penting untuk diaktualisasikan ke dalam rumusan kebijakan-kebijakan pokok daerah. Kalau di era Orde Baru daerah punya posisi melulu sebagai pelaksana kebijakan yang telah diputuskan dari pusat (top down), sekarang terbuka peluang untuk menggali kebijakan-kebijakan pokok yang dinilai tepat untuk suatu daerah (bottom up). Dengan begitu tidak pantas lagi diterap- kannya kebijakan di satu daerah yang mutlak dari pusat dengan

Usep Setiawan mengabaikan aspirasi, kebutuhan dan potensi di daerah yang ber-

sangkutan. Kebijakan yang dirumuskan dan dijalankan di suatu da- erah sekarang mestinya mencerminkan aspirasi murni rakyat, kebu- tuhan aktual dan potensi nyata dari daerah itu.

Yang tak kalah krusialnya adalah memilih orang yang tepat seba- gai pemimpin pemerintahan daerah. Pemilihan kepala pemerintahan daerah secara otonom merupakan salah satu sisi positif otonomi daerah. Kalau dulu, sistem politik ala Orde Baru menghasilkan proses politik yang anti demokrasi dalam pemilihan kepala pemerintahan daerah, sedangkan otonomi daerah memberi peluang bagi legislatif daerah (DPRD) untuk secara leluasa menentukan orang yang tepat untuk duduk di kursi kepala pemerintahan daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerahnya sendiri.

Pada era sekarang, pimpinan pemerintahan daerah sepatutnya adalah individu yang sungguh-sungguh punya kredibilitas tinggi, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), punya kapasitas kepe- mimpinan yang mumpuni (capable), moralitas individu yang , tinggi (morality), dan berpihak pada kepentingan rakyat kecil pada umum- nya (populis).

Sebagai catatan akhir penulis menyodorkan tiga agenda strategis guna menepis ancaman otonomi daerah. Agenda tersebut meliputi: Kesatu, semua kalangan di daerah perlu melakukan pengkajian yang mendalam atas problem pokok yang dihadapi masyarakat dan poten- si serta kekuatan yang dimiliki daerahnya.

Hasil kajian inilah yang akan menjadi bahan baku perumusan orientasi kebijakan (ekonomi-politik-hukum-sosial) serta untuk me- nentukan prioritas kebijakan apa yang relevan. Semangat menguta- makan rakyat kecil hendaknya menjadi prioritas utama yang meman- du kinerja lembaga-lembaga pemerintah maupun legislatif di daerah.

Kedua, pentingnya memperketat mekanisme pengawasan dan kontrol dari legislatif daerah (DPRD) terhadap pemerintah daerah. Melakukan pengawasan dan kontrol secara sistematis terhadap jalan-

Kembali ke Agraria nya roda pemerintahan merupakan tugas pokok DPRD yang tidak

bisa disepelekan. DPRD wajib menjalankan fungsi pengawasan seperti yang dimandatkan UU No. 2/99 Pasal 18 Ayat (1) poin f (4): mengawasi kebijakan daerah. Untuk menjalankan fungsi ini, tentu saja DPRD penting untuk meningkatkan kapasitas personal dan kelembagaan, serta tetap menjaga jarak terhadap kekuasaan peme- rintah daerah untuk menghindari praktek konspirasi politik antara eksekutif dan legislatif yang merugikan rakyat di daerahnya.

Ketiga, menyediakan ruang publik yang selebar-lebarnya bagi partisipasi dan kontrol masyarakat dalam setiap kebijakan yang diam- bil di daerah. Partisipasi dan kontrol langsung dari masyarakat akan efektif mencegah kemungkinan penyelewengan kekuasaan oleh institusi maupun aparat di daerah. Jika ruang publik sudah terkuak lebar maka peluang munculnya ’raja-raja’ di daerah akan makin kecil.

Lebih dari itu, dengan kontrol langsung rakyat maka otonomi daerah tidak lagi bak buah simalakama—dimakan ayah mati tak di- makan bunda mati—melainkan menjadi buah apel yang indah ben- tuknya dan manis rasanya. Wallohualam.***

Kompas, 20 Oktober 2000