Heboh Perpres Penunjang Penggusuran
Heboh Perpres Penunjang Penggusuran
ENGETAHUI Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 3 Mei lalu, meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, hati penulis tergetar. Pikiran kusam meng- gelayuti isi kepala, membayangkan akan kian memburuknya kondisi agraria di Tanah Air tercinta. Betapa tidak, demi “pembangunan” dan “kepentingan umum”, Perpres ini memberi kewenangan kepada Presiden untuk mencabut hak rakyat atas tanah.
Tak berlebihan jika dikatakan Perpres ini sejatinya sarana penun- jang penggusuran. Padahal kita rindu berhentinya penggusuran terhadap rakyat, berdalih pembangunan kepentingan umum seka- lipun. Perpres ini tak pelak bikin heboh karena berpotensi mengu- kuhkan cakar kapitalisme yang jadi biang krisis agraria, juga poten- sial membangkitkan otoritarianisme di lapangan agraria akibat makin ringan tangannya penguasa menggusur tanah untuk pembangunan. Makin banyak dan kerasnya penggusuran tanah rakyat menjadi sesu- atu yang sangat mungkin terjadi jika Perpres ini dijalankan.
Latar belakang dan motif di balik Perpres ini sudah banyak dibe- ritakan dan dianalisis media massa. Liputan dan tajuk rencana koran ini jadi contoh baik (lihat Sinar Harapan, 9/5/05). Perpres yang berisi
24 pasal ini tidak secara gamblang memastikan keharusan tiap proyek pembangunan melindungi dan menghormati hak rakyat atas tanah. Perpres ini hanya merinci 21 jenis proyek berkategori pembangunan
Kembali ke Agraria untuk kepentingan umum (Pasal 5), yakni: (a) Jalan umum, jalan tol,
rel kereta api, saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, (b) waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan ba- ngunan pengairan lainnya, (c) rumah sakit umum dan pusat kese- hatan masyarakat, (d) Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal, (e) peribadatan, (f) pendidikan atau sekolah, (g) pasar umum.
Selain itu; (h) fasilitas pemakaman umum, (i) fasilitas kesela- matan umum, (j) pos dan telekomunikasi, (k) sarana olah raga, (l) stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya, (m) kan- tor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, PBB, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB. Juga mencakup; (n) fasilitas TNI dan POLRI sesuai tugas pokok dan fungsinya, (o) lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, (p) ru- mah susun sederhana, (q) tempat pembuangan sampah, (r) cagar alam dan cagar budaya, (s) pertamanan, (t) panti sosial, dan (u) pem- bangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik.
Penulis mencatat ada delapan jenis yang paling kerap menuai konflik; (a), (b), (d), (m), (n), (q), (r), dan (u). Sekedar contoh; kasus proyek jalan tembus Gunung Leuser Ladia Galaska di Aceh, waduk Jatigede di Sumedang Jabar, perluasan Bandara Hasanuddin di Sulsel. Lantas, banyak pembangunan kantor pemerintah bermasalah di daerah, penyerobotan tanah rakyat untuk latihan perang maupun sarana militer lain, TPA sampah Bojong di Bogor, taman nasional Moronene di Sultra, dan kasus SUTET transmisi listrik di banyak tempat.
Jelas harus ditolak
Data-base KPA merekam 1.753 kasus konflik agraria sepanjang Orba. Secara akumulatif konflik paling kerap terjadi pada proyek “pembangunan untuk kepentingan umum”, yakni 431 kasus (24,6%), dengan rincian: sarana umum atau fasilitas kota (243), bendungan atau pengairan (77), sarana militer (47), konservasi atau lindung (44),
Usep Setiawan dan perairan (20).
Perpres ini jelas akan membawa implikasi luas di tengah masyarakat, meliputi berbagai segi kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, hukum, maupun keamanan. Setidaknya ada enam potensi implikasi pokok. Pertama, akan makin maraknya konflik agraria/ sengketa tanah di kota, desa bahkan pedalaman. Konflik ini akan diwarnai makin tingginya represivitas yang dipertunjukkan aparat sehingga pelanggaran hak sipil-politik rakyat kian rawan terjadi.
Kedua, akan menguatkan komoditisasi tanah untuk kepentingan investasi, tanah diperlakukan sebagai dagangan objek spekulasi dengan difasilitasinya agenda-agenda industrialisasi yang kapita- listik. Ketiga, akan semakin berkurangnya akses rakyat terhadap penguasaaan dan pemilikan tanah sehingga pelanggaran HAM segi ekonomi, sosial dan budaya jadi makin gencar. Keempat, akan men- dorong percepatan pelepasan hak atas tanah dari rakyat yang memicu konsentrasi penguasaan tanah di kaum elite politik, ekonomi, bahkan militer. Kelima, akan melipatgandakan alih fungsi lahan produktif pertanian yang mengancam keamanan dan kedaulatan pangan. Keenam, akan memicu penggenjotan eksploitasi kekayaan alam yang memperparah laju kerusakan lingkungan hidup.
Perpres ini jelas harus ditolak. Pakar/akademisi pro-rakyat, mahasiswa dan aktivis pro-reforma agraria, aktivis serikat tani, nela- yan, masyarakat adat dan kaum miskin kota, wakil rakyat dan aparat negara yang jujur dan amanah, jurnalis sejati, serta publik mesti bersatu membendung penggusuran dengan dalih pembangunan untuk kepentingan umum.
Organisasi rakyat yang terdidik, militan dan bermassa luas hen- daknya maju di garda depan menentang perampasan tanah rakyat lewat Perpres 36/2005. Desakan massa akan efektif didengar pengu- asa yang mabuk kekuasaan, sehingga otoritarianisme agraria dapat ditangkal. Secara legal, dengan sokongan kuat dari elemen publik yang peduli, layak diajukan permohonan judicial review atau kaji ulang atas substansi dan potensi implikatif dari Perpres ini kepada
Kembali ke Agraria MA, sekaligus desakan penundaan pelaksanaannya.
Yang diperlukan kini Perpres reforma agraria sebagai jawaban atas ketiadaan kebijakan pembangunan yang memprioritaskan ma- yoritas rakyat. Pemerintahan sewajarnya menemukan solusi cerdas dalam membangkitkan bangsa melalui penyediaan, perlindungan dan penghormatan hak rakyat atas tanah. Piawai menggusur rakyat bukan sekedar tak manusiawi, tapi juga cermin sebuah rezim yang kehilangan akal sehat dalam mengurus rakyatnya sendiri.***
Kompas, 26 Mei 2005