Wajah Paradoks Agribisnis

Wajah Paradoks Agribisnis

D depan cukup mengemuka di sejumlah media massa. Dalam tang-

EWASA ini wacana mengenai agrobisnis atau agroindustri sebagai alternatif pengembangan sektor pertanian di masa

gapan menulis, pemikiran yang dilontarkan sejumlah ahli di bidang pertanian paling tidak mengandung dua fondasi paradigmatik yang kuat.

Pertama, kompleksitas krisis ekonomi Indonesia dewasa ini telah menempatkan posisi sektor usaha pertanian menjadi signifikan sebagai altematif penyelesaian krisis dan pemulihan dampak-dam- paknya. Kedua, kebijakan ekonomi-politik negara (pemerintah) yang berpihak pada agrobisnis diyakini dapat secara simultan menye- lesaikan sejumlah problem sosial-ekonomi yang dilahirkan krisis ekonomi. Misalnya saja, problem ketenagakerjaan atau pengangguran yang kini menggejala dan ancaman kerawanan pangan dapat dielakan jika agrobisnis dijalankan.

Bagi banyak pihak, agrobisnis merupakan jalan lapang bagi upaya membenahi pembangunan di sektor pertanian. Banyak penganjur agrobisnis yang menandaskan pertumbuhan, pemerataan, dan kestabilan adalah bagian dari sumbangan dari agrobisnis dalam pembangunan ekonomi sekarang. Keyakinan ini menyiratkan ada- nya landasan paradigma pembangunan pertanian yang bertumpu pada kekuatan modal besar serta hitungan-hitungan ekonomi makro dari model agrobisnis yang ditawarkan. Lantas apa yang kurang?

Kembali ke Agraria Gagasan yang dilontarkan sejumlah kalangan pemikir pertanian

berperspektif agrobisnis sering tidak menyertakan pengungkapan fakta mengenai kondisi objektif mengenai usaha kontemporer yang berkembang di lapis masyarakat bawah (grassroot level). Dalam tulisan ringkas ini, penulis menawarkan beberapa catatan yang seyogyanya tidak dikesampingkan begitu saja dari wacana pengembangan perta- nian di negeri agraris ini. Jika kita cermati potret sosial kaum tani Indonesia dengan segera kita menyaksikan hal-hal yang mempriha- tinkan.

Pertama, sudah diketahui umum bahwa kaum tani di negeri agraris ini berada dalam lapisan sosial yang tidak menguntungkan. Penghisapan surplus yang diraih petani oleh kelompok sosial lain yang ada di atas-nya menjadi kenyataan sosial yang sulit dibantah. Rendahnya harga produk-produk pertanian yang tidak diimbangi oleh murahnya sarana-sarana produksi telah menyebabkan ongkos produksi yang dikeluarkan kaum tani menjadi tidak seimbang. Con- toh aktual, anjloknya harga gabah (padi) petani telah menyudutkan petani hingga ke titik yang membuat mereka frustrasi. Tidak heran jika semua petani kita kini mengancam mogok tanam padi jika kebijakan politik beras tidak diperbaiki.

Kedua, potret lain yang mendera petani adalah ketimpangan penguasaan tanah yang semakin menajam. Penelusuran data statistik (BPS 1993) menunjukan bahwa semakin banyak petani kehilangan tanahnya (43%). Di lain sisi, semakin luas tanah pertanian (69%) yang dikuasai oleh sedikit orang saja (16%). Kenyataan ini tentu saja sangat relevan untuk ditinjau saat kita bicara pengembangan model usaha tani yang tepat untuk Indonesia. Lebih jauhnya, faktor ketim- pangan ini bisa menentukan; siapa yang akan diuntungkan oleh usaha tani (agrobisnis) yang dijalankan di atas struktur penguasaan tanah yang timpang?

Ketiga, maraknya drama penggusuran tanah petani untuk berbagai keperluan di luar pertanian; Pertanian tanah petani untuk beragam keperluan yang mengatasnamakan ‘pembangunan

Usep Setiawan nasional’, dan ‘kepentingan umum’ yang digarap pemerintah, swasta

atau kolaborasi keduanya. Proyek lapangan golf, kawasan pariwisata, real estate, industri dan sebagainya adalah pemangsa tanah-tanah pertanian. Penggusuran lahan pertanian tidak hanya telah menciut- kan luas lahan pertanian (sawah) secara massif, tapi juga menghi- langkan akses petani terhadap tanahnya.

Kemudian apa yang mungkin terjadi jika kita abai pada kenya- taan tadi? Bisa dipastikan (hipotetik) bahwa pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri dengan dalih ‘pem- bangunan’ seenaknya menggasak kekayaan agraria seperti lahan pertanian yang subur, hutan yang perawan, gunung menjulang, dan kekayaan alam lainnya untuk dijadikan sebagai objek eksploitasi dan komoditi bernilai ekonomis.

Perlu dicatat, bahwa semangat membangun dengan mengejar pertumbuhan ekonomi inilah yang telah melegitimasi proses peram- pasan hak-hak kaum tani secara masif. Kalau kita mau jujur, lumatnya kaum tani sesungguhnya karena diterapkannya model pengem- bangan pertanian yang berpihak kepada kekuatan modal besar. Ujungnya suka tidak suka petani kecil menjadi tumbal pembangunan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa usaha tani merupakan lapangan kerja utama bagi anak bangsa, tetapi kita jangan lupa tidak sedikit di antara mereka (tani) yang bekerja di lahan milik orang lain. Pada umumnya, petani penggarap biasa memperoleh pendapatan yang nilainya jauh di bawah perolehan para pemilik tanah dari usaha tani yang sama. Belum lagi nasib kalangan buruh tani, yang hidupnya semata-mata menjual tenaga dalam usaha tani, sebagian besar mene- rima upah yang jauh dari rata-rata upah yang biasa diterima kaum buruh di sektor lainnya. Minimnya pendapatan kaum tani mencer- minkan adanya hubungan yang asimetris atas usaha tani selama ini.

Oleh sebab itu, ketika konsep agrobisnis yang bias kapitalistik diimplementasi dalam kondisi grass root semacam itu, maka bisa

Kembali ke Agraria dimengerti jika esensi keadilan usaha tani malah menyingkirkan

mereka yang berstatus sebagai petani kecil, kaum tani penggarap dan buruh tani. Agrobisnis atau agroindustri belum tentu menja- dikan surplus usaha tani dinikmati mereka yang bekerja di atas tanah pertanian. Potensinya justru surplus akan masuk ke kantung para pemilik tanah (modal) yang mungkin hidupnya tidak mesti berhu- bungan dengan cangkul dan tanah—sering disebut petani berdasi. Model pembangunan agrobisnis atau agroindustri berpeluang besar untuk melegitimasi penggedutan ‘tuan-tuan tanah bermodal besar’ sembari memperkurus kaum tani yang telah mengabdikan totalitas hidupnya bagi pertanian. Inilah wajah paradoks agrobisnis yang patut diwaspadai.

Mengingat peran ekonomi yang strategis dari sektor pertanian, pemihakan yang jelas dari pemerintahan Gus Dur - Megawati kepada pengembang sektor petanian memang tidak bisa ditawar lagi. Namun yang tidak kalah penting dari itu, diperlukan perhatian sepenuhnya hati dan komitmen yang tinggi untuk terlebih dahulu menjalankan penataan struktur penguasaan tanah seadil-adilnya dan penyele- saian sengketa agraria yang hingga sekarang belum juga dituntaskan.

Konsep struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang dike- nal luas sebagai pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform) dalam arti yang lebih terbatas disebut landreform, sebagai jalan yang relevan untuk mencari formulasi ideal dari program reformasi ekonomi-politik di bidang petanian dan agraria pada umumnya. Dengan distribusi sumber-sumber produksi yang vital bagi usaha tani maka kesempatan yang luas untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan pun semakin terbuka.

Menyitir pidato Bung Kamo berjudul Berdikari (17 Agustus 1965); “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan gedung tanpa isi. Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia”. Walaupun tema yang trend sekarang bukan revolusi, melainkan reformasi, pada esensinya tetap sama

Usep Setiawan yakni mencapai kemerdekaan sepenuh-penuhnya dari cengkraman

kemiskinan, kebodohan, penindasan dan keterbelakangan. Landasan kontitusional untuk implementasi landreform di Indo- nesia sebenamya telah dibuat, yakni UU No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) dan UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) – hingga kini belum dicabut. Sub- stansi UUPA 1960 setidaknya mengandung 4 prinsip dasar berikut: (1) tanah pertanian adalah untuk petani penggarap, (2) hak utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi, adalah khusus untuk warga negara Indonesia, (3) pemilikan guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalam pengecualian lain, dan (4) petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukannya lebih kuat. Terlepas dari adanya kritik terhadap UU tersebut, sesungguhnya prinsip-prinsip dan semangat para pendahulu kita masih tetap rele- van untuk kita pegang.

Semangat UUPA 1960 menyiratkan bahwa landreform bertujuan menumpas eksploitasi dan ketergantungan yang absolut dari ka- langan penggarap (client) terhadap para pemilik (patron) lahan perta- nian. Oleh karena itu, mengembangkan usaha tani yang berbasiskan penguasaan sumber-sumber agraria dan faktor-faktor produksi pen- dukung bagi kaum tani senyatanya lebih berharga daripada sekadar mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi nasional melalui perta- nian yang masih fatamorgana.

Soalnya sekarang, cukup besarkah hati kita untuk membuka catatan lama mengenai agenda landreform di republik ini? Ibarat pepa- tah herang caina beunang laukna (jernih airnya dapat ikannya), berke- nankah kita mengupas hutang sejarah dengan jernih dan menjauhkan diri dari prasangka yang kontra produktif bagi perbaikan hidup petani kita? Wallahualam.***