Operasi Pasar vs Kedaulatan Pangan
Operasi Pasar vs Kedaulatan Pangan
ELALUI media massa, di sejumlah tempat kita saksikan rakyat berjejal-jejal dalam antrean panjang untuk mendapatkan beras
murah dalam operasi pasar yang digelar pemerintah. Inilah potret teranyar yang mencerminkan buruknya ketahanan pangan kita. Sementara itu, mewujudkan ketahanan pangan (food security) adalah persoalan besar di dunia saat ini. Data menunjukan, setiap hari ku- rang-lebih 24.000 orang meninggal karena lapar dan tiga perempatnya adalah anak-anak (The Hunger Project PBB, 2005). Di seluruh dunia saat ini terdapat 800 juta penderita kelaparan dan malnutrisi (FAO, 2005).
Dalam menjaga ketahanan pangan, operasi pasar adalah salah satu langkah darurat yang harus dilakukan oleh pemerintah. Namun, ketika operasi pasar menjadi treatment rutin setiap tahun, tentu kita patut mempertanyakan langkah-langkah jangka menengah dan jangka panjang pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, murah dan bergizi bagi rakyat. Persoalan ini mesti kita ungkapkan kembali mengingat setahun lalu telah terjadi bencana kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Setahun yang lewat ber- jangkit berbagai penyakit dan kematian yang diakibatkan oleh kela- paran dan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia Timur. Peme- rintah perlu memperbarui strategi ketahanan pangan nasional yang dijalankan selama ini. Agar lebih mendasar, sebaiknya pemerintah menggeser strategi “ketahanan” pangan menjadi “kedaulatan” pangan.
Usep Setiawan
Alokasi tanah
Kedaulatan pangan adalah sebuah alternatif yang diajukan oleh kalangan gerakan masyarakat sipil dunia dalam mengatasi persoalan kelaparan. Kedaulatan pangan juga sekaligus kritik terhadap isu keta- hanan pangan (food security) yang dikampanyekan oleh badan pangan dunia (FAO).
Pandangan badan tersebut selama ini memunculkan anggapan luas bahwa kebutuhan rakyat terhadap pangan dapat ditempuh dengan membuka pasar domestik pangan secara bebas dan luas. Fakta menunjukkan bahwa laju kemiskinan dan pengangguran di negara-negara yang sedang membangun semakin meninggi semenjak bergabung dengan rezim pasar bebas sehingga daya beli terhadap produk pangan semakin hilang.
Menurut Kaman Nainggolan, kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk men- jamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara mak- ro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupun secara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masya- rakat dan rumah tangga (Sinar Harapan, 16/10/2006).
Kedaulatan pangan adalah perjuangan mendorong alokasi tanah kepada para petani dan lahan bagi tanaman pangan. Sementara itu, rezim ketahanan pangan, akibat kepercayaannya pada pasar bebas, telah mendorong alokasi tanah kepada siapa yang mampu secara efektif dan efisien dalam hal permodalan dan teknologi meman- faatkan tanah. Sehingga, rezim ini secara langsung telah mendorong pengalokasian tanah untuk ditanami produk-produk komoditas ekspor non pangan.
Sebagai misal, di Indonesia lahan-lahan lebih diutamakan untuk tanaman sawit, karet, dan kayu untuk menuai devisa dari ekspor
Kembali ke Agraria ketimbang untuk tanaman pangan. Kalangan yang memperjuangkan
terwujudnya kedaulatan pangan percaya bahwa jalan lapang menu- ju ke sana adalah dengan menjalankan pembaruan agraria (reforma agraria) yang sejati.
Kini diperlukan sistem ketahanan pangan yang secara filosofis harus menghindari ketergantungan terhadap situasi eksternal (pasar bebas) dan pola kebijakan pangan yang reaktif terhadap persoalan internal (operasi pasar). Dengan menyadari persoalan agraria yang bercirikan struktur agraria yang sangat timpang maka kebutuhan mendesak yang harus secepatnya dilakukan adalah menata kembali struktur agraria melalui pembaruan (reforma) agraria.
Lebih adil
Kewajiban pemerintah menjalankan pembaruan agraria telah dipayungi oleh UUPA 1960 (yang belum lama ini disepakati peme- rintah dan DPR untuk dipertahankan) dan Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Rencana pemerintah yang akan mendistribusikan lahan seluas 8,15 juta hektare kepada rakyat mulai tahun ini patut disambut baik seka- ligus dikawal secara intensif oleh masyarakat luas. Media massa perlu menyoroti dan memberitakan secara intensif dinamika imple- mentasinya karena agenda ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
Setelah penataan struktur agraria tuntas, barulah dimungkinkan untuk memasuki upaya sistematis lebih lanjut dalam meraih kedau- latan pangan. Dalam pemikiran, Kaman Nainggolan (2006), keman- dirian pangan masa depan harus dipenuhi terutama melalui perbai- kan produktivitas. Ke depan diperlukan revolusi bioteknologi untuk memperbaiki sifat genetika guna meningkatkan produktivitas.
Indonesia harus mampu mandiri dalam bioteknologi tersebut sesuai dengan kondisi lokal guna melepas ketergantungan terhadap benih yang saat ini dimonopoli oleh para pengusaha multinasional dengan harga mahal. Upaya-upaya tersebut harus disertai dengan investasi dalam perbaikan irigasi, infrastrukur pedesaan, akses
Usep Setiawan modal, peningkatan produktivitas di lahan-lahan marjinal, perbaikan
mutu, gizi dsb. (Sinar Harapan, 16/10/2006). Tanpa struktur agraria baru yang lebih adil dan merata bagi kaum miskin, niscaya cita-cita meraih kedaulatan pangan akan terge- lincir menjadi “makan roti dalam mimpi”. Hal pokok yang mesti dicegah adalah reforma agraria jangan dijadikan kedok untuk proyek ekstensifikasi dan intensifikasi perkebunan-perkebunan besar dan agroindustri yang merupakan kepentingan tuan tanah dan pemodal besar.
Petani miskin tanpa daya hanya dijadikan alat manipulasi. Tanpa pengawalan rakyat melalui organisasi dan nihilnya pemantauan publik terhadap program redistribusi tanah sebagai bagian pokok landreform (lebih luasnya: reforma agraria), agenda besar ini rentan dibelokkan ke skema pasar bebas yang kelak menjerat rakyat dan bangsa ini.
Untuk itu, diperlukan rekonseptualisasi yang tepat dan mendasar disertai uji coba dalam praktek nyata dalam usaha meninggikan produktivitas pertanian rakyat guna memenuhi kebutuhan pangan seluruh anak bangsa. Segala sumber daya nasional, regional dan lokal harus diarahkan dan dikerahkan demi terlaksananya reforma agraria sejati guna mencapai kedaulatan pangan yang semestinya.***
(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Iwan Nurdin)