Nasib Buruh dan Reforma Agraria

Nasib Buruh dan Reforma Agraria

ASIB suram masih menyelimuti kaum buruh Indonesia. Aksi buruh di beberapa kota pada peringatan Hari Buruh Interna-

sional 1 Mei lalu mengisyaratkan masih beratnya beban hidup dan abainya negara melindungi kaum buruh.

Pemenuhan atas tuntutan upah layak, pesangon, jaminan kese- hatan, cuti hamil, kebebasan berserikat, tunjangan hari raya, dan berbagai hak normatif lain masih sebatas wacana. Ancaman pemu- tusan hubungan kerja terus merongrong kalangan buruh. Selain isu perburuhan, satu dari sembilan tuntutan Aliansi Buruh Menggugat (ABM) dalam aksi di depan Istana Negara adalah desakan agar refor- ma agraria segera dilaksanakan (Kompas, 2/5/2007). Tuntutan ini bisa ditafsirkan mulai merapatnya gerakan buruh-tani, bibit menya- tunya isu industri dan agraria.

Memang, akar masalah buruh berkelindan dengan bekerjanya sistem ekonomi liberal dan diabaikannya reforma agraria. Liberalisme ekonomi mengendurkan tanggung jawab sosial pengusaha atas bu- ruh dan menjadikan industri (kota) tak lagi nyambung dengan reali- tas agraria (desa).

Kuatkan posisi buruh

Masalah utama dunia ketenagakerjaan kita ialah tak sesuainya laju angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia. Dampaknya, angka pengangguran tiap tahun melonjak. Dalam 20 tahun terakhir

Kembali ke Agraria penyerapan tenaga kerja terus menurun. Tahun 2006, dari 106,28

juta jiwa angkatan kerja, yang terserap di bursa kerja hanya 95,18 juta jiwa. Sisanya menganggur (Kompas, 28/4/2007).

Pemerintah mencoba memperbaiki iklim investasi melalui refor- masi kebijakan ketenagakerjaan, seperti rencana mereformasi Un- dang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Namun, rencana reformasi ini memicu ketegangan baru pengu- saha versus buruh. Sumber protes buruh ialah kekhawatiran reformasi kebijakan ketenagakerjaan akan menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel (labour market flexibility) di mana hak-hak kaum buruh kian rentan (Idham Arsyad: 2007).

Disinyalir, penyerapan pasar tenaga kerja yang fleksibel hanya menguatkan posisi pengusaha dalam mengembangkan modal dengan biaya produksi dan upah rendah. Dengan sistem ini, pengusaha mu- dah mengontrol dan mendepak tenaga kerja sesuka hati dengan mene- rapkan skema sistem kerja kontrak (outsourcing).

Jika reformasi kebijakan ketenagakerjaan hanya menguatkan pasar tenaga kerja dan menepis hak buruh ke jurang ketidakpastian, cita-cita membangun industri nasional yang kuat sulit tercapai. Dalam pengembangan dunia industri dan reformasi, kebijakan kete- nagakerjaan yang menguatkan posisi buruh mutlak perlu diuta- makan.

Agraria sebagai fondasi

Kompleksitas persoalan buruh yang muncul dewasa ini sebagian merupakan cermin diabaikannya masalah agraria. Gejala urbanisasi yang meninggi disebabkan aktivitas ekonomi pedesaan tidak memberi surplus dan tak menyediakan ruang memadai bagi penyerapan tena-

ga produktif. Derasnya urbanisasi disebabkan terlemparnya tenaga kerja desa tanpa transformasi ekonomi dan ketenagakerjaan secara wajar. Kesu- litan hidup di desa menjadi faktor pendorong laju urbanisasi digenapi gemerlap kota. Oleh karena itu, penting menyinergikan kebijakan

Usep Setiawan ketenagakerjaan (dan industri) dengan kewajiban pemerintah

menjalankan reforma agraria. Urgensinya tidak hanya untuk mena- han laju urbanisasi dan menciptakan lapangan pekerjaan di desa, tetapi untuk memperkokoh pembangunan industri nasional.

Tujuan ekonomi reforma agraria yang menguatkan basis industri nasional antara lain didapat melalui pembangunan pertanian yang efisien dan responsif terhadap industri, misalnya kebutuhan tenaga kerja, bahan pokok, bahan baku industri, modal, dan mata uang asing (Noer Fauzi: 2003). Reforma agraria memungkinkan orang desa tetap bekerja di desa lewat pemanfaatan tanah dan pengolahan hasil bumi sehingga berkontribusi bagi kemajuan ekonomi bangsa.

Bung Karno menandaskan, “Revolusi tanpa land reform ibarat membangun gedung tanpa alas, ibarat pohon tanpa buah.” Jika di- maknai: menata agraria di desa itu fondasi pembangunan industri nasional agar kelak kita memetik kesejahteraan bersama. Bangsa ini harus meninggalkan gaya lama dalam membangun ekonomi nasio- nalnya yang menghalalkan penyediaan tenaga kerja berupah murah, eksploitasi kekayaan alam, dan stabilitas politik kekuasaan yang dipaksakan.

Selain tidak manusiawi, cara lama itu juga menciptakan pereko- nomian bangsa yang keropos dan ilusif. Dengan agraria tertata adil, tersedia dasar kokoh industri nasional dan integrasi utuh ekonomi desa-kota.***