Reforma Agraria: Menggali Akar Guna Menemukan Konteks Baru

Reforma Agraria: Menggali Akar Guna Menemukan Konteks Baru

IAPA menguasai tanah maka ia menguasai makanan, demikian Mochammad Tauchid, tahun 1952. Dalam sejarah peradaban ma-

nusia, masalah tanah (agraria) telah menjadi sumber persoalan yang senantiasa hangat di segala penjuru dunia. Kondisi tiga pilar yakni penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan hasil dari tanah, serta sumber-sumber agraria lainnya diketahui selalu mengalami peruba- han baik pola maupun dampak sosial yang ditimbulkannya. Peru- bahan ketiga pilar agraria di atas telah pula didorong dan disertai upaya redefinisi konsepsi dan reorganisasi dari strategi implemen- tasinya, yang dalam bahasa “resmi” dikenal dengan istilah “reforma agraria” (agrarian reform) atau pembaruan agraria.

Di banyak negara seperti Korea, Jepang, India, Inggris, Jerman, Amerika, dan Perancis, reforma agraria telah dengan sengaja dicip- takan secara terencana dan sistematis. Di hampir semua negara “maju”, agenda reforma agraria dijalankan secara sadar akan urgen- sinya bagi perkembangan serta kemajuan negara tersebut. Hasilnya, di negara-negara yang menjalankan reforma agraria bisa ditemukan kualitas kesejahteraan rakyatnya dengan basis keadilan agraria.

Sebaliknya, banyak pula negara yang ogah menjalankan reforma agraria. Bahkan tidak sedikit kalangan penguasa negara yang alergi terhadap inisiatif gerakan reforma agraria yang didesakkan oleh

Kembali ke Agraria rakyatnya sendiri. Di negara-negara semacam ini biasanya akan

segera kita temukan dua hal pokok: (1) maraknya sengketa dan konflik tanah (agraria) yang nyaris tanpa penyelesaian, dan (2) munculnya ketimpangan struktur agraria pemicu kemiskinan dan ketidakadilan.

Kedua hal pokok itu oleh banyak pihak diyakini merupakan penyumbang utama bagi keterbelakangan suatu negara. Lebih jauh- nya, dengan tidak dijadikannya reforma agraria sebagai fondasi pem- bangunan, maka “bangunan” negara itu akan keropos, mudah ter- guncang, dan rentan terkena krisis.

Lalu, termasuk kelompok negara yang manakah Indonesia? Semua orang sudah tahu bahwa Indonesia di masa lalu sudah ber- upaya membuat dasar hukum bagi dijalankannya perombakan struk- tur penguasaan tanah, yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Dengan UUPA inilah Indonesia pada era Bung Karno mencoba melaksanakan landreform sebagai salah satu inti dari reforma agraria. Sayang upaya itu kandas di tengah jalan, terhenti sebelum terciptanya keadilan dalam penguasaan tanah.

Setelah rezim populis yang dipimpin Bung Karno digantikan Orde Baru yang dikomandani Jenderal Soeharto, seketika itu konsep dan program landreform masuk keranjang sampah. Sepanjang keku- asaan Orba, jangankan berusaha menjalankan landreform, sedangkan membicarakannya pun telah menjadi barang yang “haram”.

Begitulah, rezim populis telah digulingkan oleh rezim kapitalis yang memiliki visi dan orientasi yang sama sekali bertolak belakang dalam hal penanganan masalah-masalah agraria. Jika semangat UUPA 1960 adalah mengutamakan tanah untuk kepentingan rakyat (petani) kecil, maka sebaliknya produk hukum dan kebijakan politik penguasa Orba lebih mengutamakan kepentingan sindikat kaum pemodal besar.

Begitu rezim Orba runtuh, media massa banyak memberitakan tindakan “sepihak” rakyat (petani) yang mengambil kembali tanah- tanah yang sebelumnya dijarah untuk kepentingan kaum pemilik

Usep Setiawan modal dan atau pemerintah dengan dalih pembangunan.

Berbarengan dengan tindakan rakyat tersebut, kini terbit sejum- lah buku dan dokumen-dokumen lain yang mencuatkan tema-tema perjuangan kaum tani dan wacana reforma agraria. Salah satu buku terpenting yang baru saja terbit adalah yang ditulis Gunawan Wiradi (pakar agraria dari IPB) yang disunting Noer Fauzi (salah satu Ketua BP-KPA) dengan judul Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir.

Buku ini terbilang lengkap dalam menelusuri sejarah reforma agraria, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Lebih dari itu, buku ini juga berhasil menyajikan tema yang sesungguhnya “amat berat” menjadi terasa ringan dan mudah dicerna.

Berangkat dari penelusuran sejarah dunia yang sangat panjang dari apa yang disebut sebagai reforma agraria (pembaruan agraria), Wiradi memulai paparannya dari pengalaman penataan tanah di zaman Yunani Kuno yang disusul dengan dinamika Romawi Kuno. Pada masa berikutnya diulas enclosure movement di Inggris, Revolusi Perancis, Revolusi Rusia, dan pascaperang dingin.

Bagian awal buku ini ditutup dengan ulasan yang sangat jitu mengenai sumbangan Piagam Petani (The Peasants’ Charter) pada tahun 1981 yang menunjukkan pengakuan internasional terhadap urgensi reforma agraria. Dengan lahirnya piagam petani, maka diha- rapkan mereka yang semula ragu-ragu dapat menjadi sadar bahwa telah ada pengakuan dunia mengenai perlunya program reforma agraria sebagai dasar pembangunan (hlm 55).

Saking pentingnya tonggak Piagam Petani ini, Dr. Edouard Saouna (Dirjen FAO) menyebut piagam ini pada hakikatnya meru- pakan piagam rakyat miskin (hlm 54). Wiradi mendefinisikan “ge- rakan reforma agraria” sebagai usaha, upaya, dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merom- bak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejah- teraan rakyat (hlm 196).

Pada bagian berikutnya, buku ini menyajikan tentang rationale

Kembali ke Agraria reforma agraria yang berinti perdebatan klasik dan kontemporer

mengenai transisi agraris. Debat itu adalah sebuah jalan pencarian gagasan dan diwujudkan dalam suatu kebijakan reforma agraria yang selalu mengalami perkembangan baik dari sisi substansi, sifat, tujuan, maupun konsepsi ilmiahnya. Dengan cukup jernih, Wiradi juga berhasil menunjukkan rationale untuk reforma agraria yang beranjak dari fakta maraknya konflik agraria. Masih dalam bagian ini, dihadir- kan juga pro-kontra mengenai reforma agraria sembari mencari jalur transformasi untuk Indonesia dan skenario reforma agraria secara khusus untuk petani di Jawa.

Dalam konteks keindonesiaan, bagian selanjutnya buku ini telah menunjukkan tonggak-tonggak perjalanan kebijaksanaan agraria. Secara padat, tonggak yang dimaksud meliputi zaman Raffles dengan teori domein-nya yang menerapkan sistem penarikan pajak bumi (1811); zaman kolonialisme Belanda yang dipelopori Gubernur Jenderal Van den Bosh yang menerapkan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa (1830); dan kemenangan kaum liberal di Belanda yang ingin mengubah sistem tanam paksa di negeri jajahannya menjadi dalam bentuk undang-undang yang disebut Regerings Reglement (1848).

Tonggak berikutnya yang terpenting adalah tahun 1870 ketika lahir Agrarische Wet 1870 yang di antaranya memuat agrarische besluit (keputusan tentang pertanahan) yang menyatakan domein verklaring (pernyataan tentang kepemilikan) yang mengalami legalisasi domi- nasi negara atas sumber-sumber agraria di Indonesia. Kemudian, baru pada tahun 1960 Republik Indonesia sebagai negara merdeka berhasil memiliki undang-undang yang mengatur sumber-sumber agraria. Pada masa pemerintahan Soekarno telah lahir apa yang dikenal sebagai UUPA 1960 sebagai peraturan pokok agraria secara nasional.

Tentang keagrariaan pada era Orba, banyak pengamat menyim- pulkan bahwa rezim Orba dengan sadar dan sistematis memandul- kan semangat populisme yang dikandung UUPA 1960. Lebih jauh-

Usep Setiawan nya, penguasa Orba dengan sangat kasat mata mengkhianati

semangat yang diamanatkan UUPA 1960 yakni “tanah untuk penggarap”. Itu tampak dalam tindakan Orba mengeluarkan berbagai regulasi (UU dan peraturan pelaksanaannya) untuk memfasilitasi kaum pemodal besar ketimbang melindungi kepentingan rakyat kecil yang mati-hidupnya nyata-nyata dari hasil pengolahan tanah, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Tanah mereka itulah justru yang digusur untuk kepentingan pemodal besar.

Menyadari kesesatan konsep dan praktik pembangunan yang diusung rezim Orba, Wiradi dalam buku ini mencoba menawarkan konsep alternatif yang substansial. Pada bagian IV, diketengahkan konsep reforma agraria sebagai dasar pijakan bagi dijalankannya pembangunan. Uraian bagian ini diawali dengan mempertanyakan era reformasi sebagai pintu baru yang relevan pascakejatuhan Orba. Wiradi juga menyuratkan pentingnya perubahan paradigma pem- bangunan yang diharapkan bisa membendung ancaman baru dari arus besar globalisasi. Ditandaskan bahwa pembaruan agraria meru- pakan perjuangan yang terus-menerus, berkelanjutan, yang setiap langkahnya ke depan perlu dibentengi, terutama terhadap kekuatan pasar bebas yang semakin meningkat yang lahir dari kegiatan yang semakin meluas dari perusahaan-perusahaan transnasional (hlm. 203).

Untuk menggenapkan gagasannya, ia juga membedah tujuan dan model reforma agraria yang tepat untuk Indonesia, misalnya dalam bentuk nyata perlunya badan otoritas khusus pelaksana refor- ma agraria. Menutup keseluruhan isi buku, Wiradi menggagas pen- tingnya menjadikan reforma agraria sebagai gerakan sosial yang berti- tik tumpu pada reforma agraria berbasis kesadaran dan kekuatan kolektif dari rakyat sendiri (agrarian reform by leverage). Agar peran sebagai dongkrak (leverage) itu efektif, maka semuanya harus dirun- dingkan dan diputuskan bersama secara demokratis mulai dari ting- kat lokal, wilayah, sampai tingkat nasional (hlm 204-206).

Kembali ke Agraria Buku ini pantas dan penting untuk dibaca oleh siapa pun. Bagi

kalangan yang sudah sering merambah wacana reforma agraria buku ini dapat membantu merekonstruksi asal muasal dan dinamika ga- gasan serta seluk beluk reforma agraria yang kini tampaknya akan menjadi trend. Sedangkan bagi kalangan “pemula” pemerhati masalah tanah, buku ini sama sekali jauh dari “menyeramkan”. Selain gaya bahasanya sedemikian bersahaja, sistematika tema disusun dengan tertib sehingga mudah untuk diikuti.

Secara sederhana buku ini boleh juga diberi julukan; “Pengantar Pembaruan Agraria” atau “Pembaruan Agraria bagi Pemula”. Tambah menariknya buku ini, ketika di bagian akhirnya disertakan bonus berupa glossary yang dapat membantu pembaca memahami secara persis istilah-istilah khusus yang sering digunakan dalam wacana reforma agraria.

Sayangnya buku ini tidak memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah upaya yang harus dilakukan agar perjalanan reforma agraria berakhir dengan kemenangan massa rakyat? Atau mungkin jawabannya tidak lagi harus berupa tulisan, melainkan dalam bentuk kerja nyata semua kalangan pro-rakyat untuk mendukung perjuangan reforma agraria agar rakyat kecil memperoleh hak-hak hidupnya. Dan, ... bisa jadi inilah reforma agraria dalam konteks baru.***

(Sumber: Resensi Buku “Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir”, Pengarang: Gunawan Wiradi, Penyunting: Noer Fauzi, Pengantar: Prof Dr Ir Sajogyo, Penerbit: Insist Press, KPA dan Pustaka

Pelajar, Edisi: September 2000, Tebal: (xvii + 247 halaman).