Meruya, Pasuruan, dan Reforma Agraria

Meruya, Pasuruan, dan Reforma Agraria

ERUYAKNYA sengketa tanah Meruya di Jakarta yang turut menaikkan tensi politik Ibukota dan meletusnya tragedi

Pasuruan Jawa Timur yang menjatuhkan empat korban jiwa di pihak rakyat (30/05/07) telah melambungkan isu agraria ke puncak per- hatian publik. Tersedotnya perhatian publik atas hal itu nyaris menenggelamkan isu strategis lain terkait kebijakan agraria nasional.

Pemerintah berniat memulai reforma agraria tahun 2007 dengan menyiapkan tanah seluas 9,25 juta ha, untuk dibagikan gratis kepada kaum miskin. Ini terobosan strategis dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Sebanyak 40 juta orang miskin, 67 persen terkon- sentrasi di pedesaan dan sekitar 90 persen yang bergantung pada pertanian. Itulah kenyataan yang hendak diatasi program reforma agraria ini. Joyo Winoto (Kepala BPN RI) berkali-kali mengutarakan program ini tak sekadar bagi-bagi tanah, tetapi land reform plus access reform . Rakyat tak sekadar diberi tanah, tapi diberi kemudahan dalam mengakses sumber ekonomi, seperti kredit, pendidikan, bibit, pupuk, penataan produksi, hingga distribusi dan konsumsinya.

Artikel ini mencermati “kembali” rencana pemerintah memulai reforma agraria, dengan menjadikan Meruya serta Pasuruan sebagai cermin pembelajaran.

Kembali ke Agraria

Meluaskan makna

Reforma agraria dimaksudkan mengatasi masalah sosial eko- nomi pedesaan terkait penguasaan tanah dan sumber daya alam. Restrukturisasi penguasaan, penggunaan, pemanfaatan tanah, dan kekayaan alam ialah unsur penting reforma agraria. Tujuannya, agar tidak terjadi konsentrasi penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam, memastikan hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam, serta menjamin keberlangsungan dan kemajuan sistem pro- duksi rakyat setempat.

Praktik penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam yang melahirkan ketimpangan di masa lalu jelas melahirkan kelompok rakyat tak bertanah, petani gurem, dan termasuk kaum miskin di perkotaan. Akibat lainnya adalah maraknya konflik dan sengketa agraria yang bersifat struktural.

Dalam catatan KPA terdapat 1.753 kasus dengan luas tanah yang disengketakan 10.892.203 ha dan melibatkan 1.189.482 keluarga dalam periode 1970-2001. Sepanjang Januari-April 2007 saja—sebelum tragedi Pasuruan—, KPA mencatat 13 kasus terbaru yang menyebab- kan penangkapan dan penahanan sedikitnya 143 petani disertai keke- rasan seperti penembakan, penculikan, pemukulan, dan intimidasi. Setidaknya 33 orang mendekam di tahanan kepolisian dan satu or- ang tewas di Mamuju, Sulawesi Selatan. Terjadi pula pengusiran rakyat akibat konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat di sejumlah tempat. Paling tidak 556 keluarga atau sedikitnya 1.200 jiwa sebagian besar perempuan dan anak-anak mesti mengungsi selama konflik terjadi.

Sementara BPN sendiri mengidentifikasi 2.810 kasus tanah di masa lalu yang belum terselesaikan. Sepanjang pemerintah tak men- jalankan reforma agraria, konflik agraria ini terus bertambah dan cenderung mengeras. Karenanya, program reforma agraria yang hen- dak dijalankan harus diluaskan maknanya dari sekadar redistibusi lahan dan sertifikasi menjadi Reforma Agraria Sejati.

Perluasan makna itu mencakup berapa hal strategis. Pertama,

Usep Setiawan tanah seluas 9,25 juta ha yang akan dibagikan kepada rakyat tak

hanya berasal dari bekas hutan konversi, tetapi mencakup tanah- tanah yang dikuasai monopolistik oleh negara maupun swasta. Kenapa tidak tanah-tanah yang dikuasai badan usaha yang izinnya diperoleh dari kebijakan politik agraria kapitalistik dan sering kali melanggar rasa keadilan sosial rakyat di sektor perkebunan besar, kehutanan, pertambangan, kita proyeksikan sebagai objek reforma agraria? Mengingat saat ini banyak tanah yang diduduki dan dikuasai rakyat melalui okupasi maupun re-claiming, maka tanah- tanah itu harusnya terintegrasi dengan program reforma agraria yang hendak dijalankan melalui legalisasi penguasaannya.

Kedua , penerima manfaat (subjek reform) program reforma agraria harus diutamakan dan sungguh bagi rakyat miskin. Dalam identi- fikasi penerima manfaat akan lebih baik bila pemerintah tetap menja- dikan PP No 224 Tahun 1961 sebagai acuan utama. Sebab PP ini taat asas pada UUPA No 5/1960 yang berprinsip tanah untuk rakyat. Dalam PP ini terdapat sembilan penerima prioritas pembagian tanah yang bila dikelompokkan: petani penggarap, buruh tani, petani gurem, petani tak bertanah. Melihat kenyataan sosial sekarang, kemiskinan tak hanya pada petani. Karenanya kaum nelayan, miskin kota, buruh, dan masyarakat adat serta korban konflik/sengketa agraria, harus juga jadi penerima manfaat reforma agraria.

Hanya dengan kepastian objek dan subjek inilah, harapan refor- ma agraria akan efektif mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta menuntaskan ribuan konflik agraria struktural dapat jadi lebih mungkin.

Matangkan prasyarat

Kemauan politik pemerintah menjalankan reforma agraria men- jadi syarat utama. Syarat lainnya organisasi rakyat (tani) yang kuat, data agraria yang lengkap dan akurat, terpisahnya elite politik dengan elite bisnis, dan dukungan militer (Gunawan Wiradi; 2000). Sekalipun prasyarat ini belum sepenuhnya tersedia, hendaknya reforma agraria

Kembali ke Agraria tak ditunda. Kita harus memulai sambil mematangkan prasyarat yang

dibutuhkan. Peran pemerintah mutlak dalam reforma agraria karena mustahil ada reforma agraria tanpa peran penyelenggara negara. Solon Baraclough menyatakan reforma agraria tanpa melibatkan negara adalah contradiction in term (Noer Fauzi; 2003).

Di sisi lain, keterlibatan organisasi rakyat (tani) sangat menen- tukan berhasil tidaknya reforma agraria. Kita tak boleh bergantung pada kedermawanan pemerintah dan pasar politik yang ada. Penga- laman negara yang menjalankan reforma agraria atas kedermawanan pemerintah, hasilnya tidak berkelanjutan dan mudah dibalikkan. Keterlibatan organisasi rakyat tak boleh semu dan setengah-setengah. Organisasi rakyat harus terlibat mulai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasinya. Saat ini, puluhan organisasi rakyat tumbuh di level nasional, regional, sampai lokal. Umumnya orga- nisasi rakyat lahir dari konflik agraria. Sebagian sudah memprak- tekkan pembaruan agraria, merombak struktur, menata produksi dan memberdayakan pemerintah lokal.

Tak ada alasan bagi pemerintah demokratis yang hendak menja- lankan reforma agraria untuk tidak melibatkan organisasi rakyat. Pemerintah yang baik dan organisasi rakyat yang kuat merupakan pilar utama reforma agraria. Pekerjaan awal yang mendesak dilaku- kan bersama antara pemerintah dan rakyat adalah menentukan subjek dan objek reform, merumuskan mekanisme pelaksanaan, membentuk serta mengisi kelembagaan pelaksana reforma agraria.

Sengketa tanah Meruya dan Pasuruan memang harus dituntas- kan dengan prinsip keadilan sosial bagi rakyat. Dari kasus Meruya kita ditantang merumuskan reforma agraria di perkotaan yang menjamin kehidupan warga kota serta menertibkan sistem adminis- trasi pertanahan. Dari tragedi Pasuruan kita perlu menyiapkan reforma agraria di pedesaan untuk keadilan petani sekaligus reposisi militer di dunia agraria.

Solusi nasional yang diyakini mampu mencabut akar sebab seluruh sengketa/konflik tanah adalah mempercepat pelaksanaan

Usep Setiawan reforma agraria sejati sembari mematangkan berbagai prasarat yang

diperlukan. Mengerasnya konflik agraria harus jadi suluh mempercepat terbitnya fajar keadilan sosial berbasis keadilan agraria.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Idham Arsyad)