Reforma Agraria Akhirnya Konflik Tanah

Reforma Agraria Akhirnya Konflik Tanah

I pengelolaan sumberdaya alam kini makin mendesak dilakukan.

NISIATIF berbagai pihak untuk menyusun berbagai kebijakan dan

peraturan perundang-undangan (legislasi) terkait agraria dan

Kemendesakan ini terutama dikaitkan dengan makin marak dan kerasnya sengketa tanah atau konflik agraria yang terjadi di lapangan.

Siapa yang tak tersentak ketika menyimak sengketa tanah antara warga dengan pihak TNI AL di Pasuruan Jawa Timur (30 Mei 2007) yang menewaskan empat petani, delapan orang terluka tembak dan ratusan menderita. Ini tak cukup disebut insiden, tapi tragedi! Ya, tragedi kemanusiaan.

Tragedi Pasuruan meledak saat pemerintah menyiapkan pelak- sanaan reforma agraria yang berintikan pengadaan tanah bagi rakyat miskin. Tragedi Pasuruan mengingatkan pentingnya penyelesaian sengketa tanah melalui reforma agraria sejati. Oleh karena itu, segenap usaha membentuk kebijakan legislasi baru terkait agraria dan penge- lolaan sumberdaya alam mestilah diabadikan untuk mengakhiri kon- flik dan ketimpangan agraria sekaligus.

Potret kebijakan agraria

Dalam praktik semasa Orde Baru, kedudukan negara yang do- minan dalam perundang-undangan, terbukti telah dimanfaatkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan produktivitas tanpa memberi rakyat peran untuk ber-

Kembali ke Agraria prestasi dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria

itu serta untuk menikmati hasilnya. Lebih dari itu, politik agraria yang demikian menghasilkan konflik agraria yang luar biasa banyak- nya.

Konflik agraria yang diwarisi saat ini adalah buah dari politik agraria Orba. Politik agraria itu bukan hanya tidak secara konsekuen menjalankan pembaruan agraria (agrarian reform) tetapi justru me- nampilkan semangat anti pembaruan agraria dan menggagalkan perwujudan keadilan agraria. Politik agraria Orde Baru tersebut bermula dari digesernya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dari posisinya sebagai undang-undang induk menjadi undang- undang sektoral, dengan ditetapkannya berbagai undang-undang pokok lainnya, seperti ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5 tahun 1967).

Dengan sektoralisme ini, kebijakan manajemen dan praktik pem- bangunan agraria dilakukan secara terpusat dan diabdikan untuk kepentingan pertumbuhan dan akumulasi modal, dengan menga- baikan dan melanggar hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria. Dengan dijadikannya hukum sebagai alat untuk memfasilitasi kepentingan dan pertumbuhan akumulasi modal, lembaga-lembaga pemerintahan sektoral telah memberikan berbagai hak-hak baru atas sumber-sumber agraria untuk proyek-proyek bermodal besar di atas sumber-sumber agraria yang telah dimuati hak-hak rakyat. Konflik agraria yang kemudian terjadi ialah konflik agraria struktural yang di dalamnya sangat menonjol manipulasi dan kekerasan terhadap rakyat.

Memperhatikan pendekatan tersebut, di masa reformasi ini sudah waktunya dilakukan koreksi yang mendasar terhadap politik agraria orde baru. Koreksi tersebut harus mengedepankan kedaulatan rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Secara ideal, koreksi ini tetap meneguhkan visi bahwa penguasaan dan pe- manfaatan sumber-sumber agraria dijalankan untuk mencapai kema- juan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat—sebagaimana yang

Usep Setiawan telah diletakkan dasar-dasarnya oleh UUPA 1960 dengan konsepsi

pembaruan agraria (agrarian reform). Hakikat dari koreksi ini tentu bukan hanya teknis melainkan dimulai dari koreksi filosofis tentang hubungan negara dan rakyat yang intinya kekuasaan negara terbatas dan dibatasi. Koreksi ini akan dan harus diefektifkan untuk memberikan dasar keabsahan hukum (legalitas) dan sekaligus pembenaran (legitimasi) bagi rakyat agar mereka secara lebih bermakna dan berpartisipasi dalam setiap aktivitas pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan ikhwal pemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber agraria.

Dengan dasar-dasar tersebut, fungsi sumber agraria ditempatkan sebagai sarana pemberdayaan rakyat untuk melepaskan diri dari ketergantungan atau dari kemungkinan tereksploitasi kekuatan- kekuatan ekonomi besar. Keadaan yang hendak diwujudkan adalah keadilan agraria yakni suatu keadaan di mana terjamin tidak terjadinya konsentrasi penguasaaan dan pemanfaatan atas sumber- sumber agraria.

Konflik agraria

Ada dua gejala yang dikhawatirkan “mengganggu” upaya menyusun legislasi pro reforma agraria yakni terbitnya berbagai UU yang masih pro modal besar dan kekerasan dalam konflik agraria di lapangan. Ketika pemerintah menyiapkan pelaksanaan reforma agra- ria mengacu pada UU Pokok Agraria 1960, pada saat yang sama DPR menerbitkan UU Penanaman Modal sebagai karpet merah melu- luskan “penjajahan” baru di tanah air. Tragedi Pasuruan membukti- kan otoritarianisme di lapangan. Perlindungan atas HAM bagi rakyat masih jauh dari yang diharapkan. Pelaksanaan pembaruan agraria (reforma agraria) dikhawatirkan tersandera oleh perilaku represif apa- rat. Dari 1.753 kasus yang direkam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 1970-2001 tak kurang 29% kasus melibatkan militer.

Beranjak dari tingginya keterlibatan militer dalam konflik agraria di Indonesia dan hampir semua konflik berujung kekerasan dan

Kembali ke Agraria jatuhnya korban dari pihak rakyat maka KPA menyatakan beberapa

hal. Pertama, agar pemerintah segera untuk mengidentifikasi dan me- nertibkan segala penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh militer di lapangan agraria yang sedang dikuasai rakyat. Kedua, seiring dengan reforma agraria maka tanah-tanah yang dikuasai mili- ter yang berasal dari tanah rakyat, yang penguasaannya diperoleh dengan cara kekerasan dan sedang dituntut oleh rakyat agar dija- dikan objek landreform harus dikembalikan kepada rakyat. Ketiga, sebagai realisasi proses reformasi TNI/Polri maka TNI/Polri tidak boleh lagi melibatkan diri dalam konflik agraria yang melibatkan rakyat versus pengusaha.

Keempat, untuk menyelesaikan ribuan konflik agraria di Indone- sia maka diperlukan lembaga khusus yang menangani penyelesaian konflik agraria yang bersifat komite nasional. Dan terakhir, terkait dengan kekerasan dan konflik agraria di Pasuruan, KPA mendesak agar DPR dan Komnas HAM untuk mengusut secara tuntas pelang- garan HAM serta menyelesaikan proses hukum dalam mekanisme peradilan HAM bukan peradilan militer. Selanjutnya segera mengem- balikan tanah rakyat dan merelokasi tempat latihan tempur dari tanah- tanah milik rakyat.

Agar pembaruan agraria berhasil, jajaran pemerintahan mesti tahu, mau dan mampu menjawab akar problem agraria. Keikutsertaan rakyat melalui organisasi-organisasinya yang sejati perlu didorong dan ditumbuhkembangkan. Tanpa kematangan pemerintah dan rak- yatnya, reforma agraria terancam menyimpang dari tujuan dan gagal sasaran. Setelah pidato pada awal tahun diucapkan, kini publik me- nanti langkah nyata presiden dan seluruh jajarannya untuk menyiap- kan dan mulai menjalankan reforma agraria secara lebih matang. ***