Lembaga Reforma Agraria

Lembaga Reforma Agraria

OLITIK agraria yang dianut pemerintah sejak Orde Baru dan yang sampai sekarang belum mengalami perubahan mendasar adalah

politik agraria yang condong kepada kepentingan modal besar, dan menegasikan hak-hak rakyat kecil atas pemilikan dan penguasaan tanah. Politik agraria semacam ini menghasilkan tiga fenomena di lapangan yang paling menonjol. Pertama, fakta terjadinya ketim- pangan penguasaan dan pemilikan tanah, sebagian besar rakyat di desa tidak punya akses yang cukup terhadap tanah. Di sisi lain tanah dikuasai segelintir orang saja yang punya akses terhadap ekonomi dan politik (kapital dan kekuasaan). Setiap dekade, kecende- rungannya jumlah petani tak bertanah terus meningkat, di sisi lain konsentrasi penguasaan tanah di beberapa gelintir orang semakin menguat. 30 juta lebih petani kita tidak mepunyai tanah sama sekali. Dia bekerja di sektor pertanian hanya sebagai buruh tani.

Kedua, konflik agraria, konflik agraria itu lebih luas dari sekedar sengketa tanah. Konflik agraria selama masa Orde Baru sampai hari ini terjadi karena penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan negara dalam mengatur kebijakan pertanahan. Seringkali pemerintah atas nama negara menerbitkan ijin-ijin usaha bagi investasi asing atau dalam negeri untuk menguasai dan memiliki tanah. Pemerintah sering menerbitkan HGU, gemar mengeluarkan HPH untuk kong- lomerat besar. Di sektor pertambangan lebih parah lagi, mayoritas perusahaan tambang yang beroperasi di tanah air kita dikuasai oleh

Kembali ke Agraria pengusaha/investor asing.

Data KPA menjelaskan, sengketa tanah paling menonjol ada di

4 sektor, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan fasilitas-fasilitas pemerintah dan militer. KPA mencatat sepanjang Orde Baru ada 1.753 kasus sengketa tanah struktural karena kebijakan negara, di antara- nya sebanyak 29% dari angka itu melibatkan pihak militer baik TNI maupun Polri. Modusnya, pihak militer berkepentingan menjalankan bisnisnya, atau jadi backing bagi perusahaan yang mau menanamkan investasinya, dan militer berhadapan dengan rakyat karena bermak- sud membangun sarana militer yang ada kaitannya dengan perta- hanan dan keamanan.

Ketiga, kerusakan lingkungan, banyak data menunjukkan di loka- si-lokasi dimana perusahaan pertambangan besar menjalankan operasinya, kerusakan lingkungan terjadi sangat dahsyat, misalnya terjadi di Papua, ada satu wilayah yang setelah beroperasinya sebuah perusahaan tambang, sebuah gunung berubah menjadi danau beracun, dan sungai jadi tercemar.

Dalam hal politik agraria, sebenarnya kita sudah punya UU No. 5/1960 yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sepanjang Orde Baru, UUPA dalam prakteknya dimandul- kan, dan dikalahkan oleh undang-undang sektoral yang mengatur sumber-sumber agraria, UU kehutanan, UU pertambangan, UU per- kebunan, dan UU sumber daya air. Kesemua UU itu punya semangat dan orientasi yang tidak sejalan dengan UUPA. Padahal UUPA meru- pakan payung hukum bagi semua sektor yang terkait dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai pasal

33 konstitusi kita. Di situ disebutkan, ada hak milik individu, hak guna usaha bagi badan-badan hukum/usaha, ada hak pakai dan hak guna bangunan.

Lebih dari itu UUPA mengatur pentingnya penataan pemilikan dan penguasaan tanah. Landreform 1961-1965 mendasarkan diri pada

Usep Setiawan UUPA, prinsip terpenting tanah untuk rakyat. UUPA menekankan

kebijakan agraria diorientasikan bagi golongan ekonomi lemah. Landreform jaman Bung Karno belum selesai dan tuntas dijalankan keburu terjadi pergantian rezim. Jika Bung Karno dan kawan-kawan punya orientasi politik agraria yang populis, sementara rezim pim- pinan Jenderal Soeharto condong kepada kepentingan modal besar (kapitalistik). Persoalan agraria kemudian menjadi rumit dan kompleks. Orientasi politik agraria yang kapitalistik ini didasari oleh berbagai peraturan perundangan yang mereka buat.

Ketika Orde Baru berlalu, seharusnya reformasi 1998 itu di da- lamnya termasuk reformasi di bidang pertanahan, lebih luasnya bidang agraria. Reforma agraria yang diusulkan KPA sejak tahun 1995 sebenarnya diharapkan bisa menjadi agenda resmi negara, karena program itu hanya bisa dilaksanakan oleh negara. Pintu untuk memulai reforma agraria itu kembali muncul ketika tahun 2001 MPR menerbitkan TAP No. IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Mestinya ketika UUPA masih ada dan TAP No.

IX terbit, ini bisa jadi momentum baru menggulirkan reforma agraria secara menyeluruh.

Rezim yang berkuasa dari Habibie, Gus Dur, Mega, hingga SBY belum menyentuh perubahan mendasar politik agraria nasional. Pada pemerintahan SBY-JK sebenarnya ada sinyal ketika dalam dokumen resmi kampanye SBY 2004 ada satu agenda menjalankan reforma agraria, dalam rangka menangani kemiskinan dan pengangguran, serta dalam rangka revitalisasi pertanian dan pedesaan.

Momentum terakhir pidato awal tahun SBY, 30 Januari 2007, salah satu isinya tentang rencana memulai reforma agraria. Ada dua program yang disampaikan SBY, pertama, pembagian tanah secara gratis, dan kedua, sertifikat gratis bagi rakyat miskin. Program bagi- bagi tanah ini bagi rakyat menjadi angin segar, namun harus diper- siapkan secara matang oleh pemerintah maupun rakyatnya.

Kembali ke Agraria Inti reforma agraria adalah landreform, redistribusi pemilikan dan

penguasaan tanah bagi tanah bagi rakyat miskin itu bagian landreform. Bagi-bagi tanah adalah program konkrit redistribusi itu. Ketika bicara peningkatan kesejahteraan petani, landreform saja tidak cukup, dia harus disertai dan diikuti program pendukung di bidang pertanian. Landreform harus disertai dengan penguatan posisi tawar petani, petani sebagai subyek, dan harus dipastikan sarana dan prasarana pertanian bagi petani itu dipermudah oleh pemerintah.

Solusinya satu, program ini harus dipimpin langsung oleh pre- siden, tidak bisa diserahkan kepada satu menteri atau BPN, karena melibatkan banyak sektor dan kepentingan. Kedua, secara kelemba- gaan diperlukan kelembagaan khusus untuk menghimpun depar- temen terkait. Di negara yang pernah menjalankan reforma agraria selalu disertai dasar hukum yang kuat dan kelembanggaan yang kuat pula. Konstitusi kita, khususnya pasal 33 menjadi rujukan utama reforma agraria, turunannya UUPA, TAP MPR No. IX/2001 memper- kuat. Idealnya memang perlu ada UU khusus mengatur reforma agraria itu, setidaknya PERPPU atau PP paling minimal.

Soal kelembagaan, idealnya memang perlu ada Badan Otorita Reforma Agraria (BORA). Gambarannya, BORA harus dipimpin oleh presiden, anggotanya para menteri terkait. Fungsinya ada tiga: (1) menjalankan penataan pemilikan dan penguasaan tanah termasuk redistribusi, (2) menyelesaikan konflik agraria, dan (3) melakukan harmonisasi dan koodinasi lintar sektor antar lembaga. Apakah itu mungkin? Itu pertanyaan politik, tergantung komitmen presiden.

Kalau kita serius menjalankan reforma agraria, kita perlu memiliki tiga lembaga: (1) departemen atau kementerian agraria, (2) pengadilan agraria, dan (3) KNuPKA (Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria). Ketika UUPA diterbitkan maka menteri agraria itu ada. Zaman Soeharto berubah-rubah kelembagaan agraria ini. Pernah ada Kementerian Negara Agraria, kemudian dikerdilkan menjadi

Usep Setiawan Dirjen Agraria di bawah Depdagri, kemudian menjadi Badan

Pertanahan Nasional (BPN). Kewenangan BPN semakin menciut soal agraria ini, karena hanya punya wewenang teknis administrasi pertanahan dan tak punya kewenangan pengurusan tata ruang dan peruntukan lahan. BPN seolah hanya seperti toko yang mengeluarkan sertifikat, siapa yang mampu membeli sertifikat akan dilayani BPN.

Ketika mau menjalankan reforma agraria berdasarkan UUPA, Departemen atau Kementerian Agraria harus dihidupkan lagi. Kesem- patannya ada dalam pembahasan RUU Kementerian Negara, seti- daknya kementerian. Artinya nanti ada menteri agraria yang punya posisi tawar sejajar menteri-menteri lain bukan subordinasi departe- men lain. Perpres No. 10/2006 tentang BPN, posisi BPN langsung ada di bawah presiden dan bertanggungjawab langsung kepada pre- siden dan melaksanakan reforma agraria. Mengapa setengah-se- tengah? Langsung saja BPN sekarang ini menjadi Departemen Agra- ria, dengan syarat perlu ada reorientasi dari struktur pejabat dan aparat BPN sendiri. Cara berfikir lama yang hanya sebagai petugas administrasi pertanahan yang bertugas mengeluarkan sertifikat sema- ta itu bisa dikikis.

Kita juga perlu Komisi Nasional untuk Penyelesaian Agraria (KNuPKA) untuk menyelesaikan sengketa tanah dan agraria diuta- makan di luar pengadilan, secara kekeluargaan atau secara adat. Prinsipnya ada transitional justice untuk soal KNUPKA, satu pende- katan HAM dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat yang selama ini menjadi korban sengketa tanah.

Berkaitan dengan Pengadilan Agraria, di era Soeharto ada pengadilan landreform namun undang-undangnya dihapus. Semua kasus sengketa tanah akhirnya masuk mekanisme hukum pengadilan umum. Kasus tanah dihadapi rakyat dalam pengadilan, rakyat lemah dan selalu dikalahkan pihak yang mempunyai kekuatan politik dan ekonomi. Penyiapan pengadilan agraria ini jadi penting ketika pemerintah bermaksud mulai menjalankan reforma agraria. Karena ada dua hal yang perlu diantisipasi sebelum menjalankan landreform

Kembali ke Agraria atau reforma agraria itu. Pertama, kasus sengketa tanah ribuan itu

harus diselesaikan. Kedua, setiap reform itu punya potensi melahirkan konflik agraria baru. Ini harus diantisipasi sejak awal, dan diatasi oleh pengadilan khusus untuk itu.

Ketiganya harus efektif berjalan, kalau tidak, kita harus siap- siap menghadapi konflik yang lebih besar. Itu yang harus dicegah. Keberanian pemerintah untuk menjalankan reforma agraria harus diuji dalam praktek. Kita berharap pemerintah berani dan serius, sebab program sepopulis ini akan mendapat dukungan luas masya- rakat selama dipersiapkan matang, dan potensi konfliknya dianti- sipasi secara ketat sejak awal.

Program ini bisa berjalan dengan baik, asal ada keseriusan peme- rintah dalam arti melibatkan betul organisasi rakyat, serikat tani, termasuk masyarakat adat. Keterlibatan rakyat banyak itu menjadi penting karena pemerintah tidak bisa jalan sendiri. ***