Morales, SBY, dan Nagabonar

Morales, SBY, dan Nagabonar

ATA dunia kini tertuju ke Bolivia karena keberanian Presiden Evo Morales melancarkan reforma agraria yang berintikan

tanah, minyak, dan gas, untuk rakyatnya di saat globalisasi kapita- lisme menderas. Morales bak Nagabonar yang sukses “mencopet” kekayaan negerinya dari tangan asing bagi kepentingan bangsa dan negaranya.

Seorang sahabat berkirim pesan singkat: “Bolivia hari ini, Indo- nesia tahun 1957. Bolivia hari ini, Indonesia masa depan. Rengkuhlah hari ini, Bolivia!” Inspirasi Bolivia penting direfleksikan bagi agenda nasional kita. Kesuksesan Morales menasionalisasi migas merupakan bukti keberhasilan membumikan sosialisme di alam nyata, bukan hanya retorika. Nasionalisasi perusahaan asing di Bolivia tak sekadar mengalihkan kepemilikan, tetapi bertujuan memperbaiki kehidupan rakyat banyak. Morales mewujudkan sosialisme dengan menciptakan pekerjaan, menghapus kemiskinan, menghilangkan kesenjangan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Sejumlah pihak mendesak Presiden Yudhoyono untuk “belajar” kepada Morales. Ketika agenda pemerintah dalam mengurangi kemis- kinan dan pengangguran masih kusut, Yudhoyono sebaiknya menja- dikan Morales sebagai rujukan etis dan model kebijakan nasionalisasi migas serta kekayaan alam lain. Yudhoyono diminta membuat gebra- kan mendasar untuk mengembalikan kekayaan alam yang telah pulu- han tahun dikuasai asing agar kembali dikuasai negara untuk digu-

Usep Setiawan nakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dasar konstitu-

sionalnya, Yudhoyono dapat mencantolkan diri pada Pasal 33 (3) UUD 1945.

Desakan itu sampai sekarang belum direspons Yudhoyono. In- donesia membutuhkan jalan baru seperti ditempuh Bolivia. Nasio- nalisasi migas dan redistribusi tanah bagi rakyat miskin mesti diya- kini tidak akan menghilangkan kepercayaan negara lain kepada kita. Keberanian kita menegakkan kedaulatan atas kekayaan adalah bukti tingginya kualitas kebangsaan kita, tanpa bermaksud mengisolasi diri dari pergaulan antarbangsa.

Tampaknya kita perlu menyegarkan kembali keyakinan kolektif bangsa atas ideologi nasional yang melandasi kebangkitan nasional kita. Apalagi sampai saat ini kita seperti terus saja gamang dan terus mencari working-ideology sebagai kompas pemandu arah perjalanan bangsa ke depan. Pendiri republik mewariskan ajaran “Sosialisme Indonesia” sebagai rumusan asli yang digali dari budaya sendiri dan diabdikan bagi kaum lemah karena dilemahkan oleh sistem dan struktur sosial-ekonomi-politik produk kolonial. Bagi pendiri republik ini, sosialisme Indonesia dianggap jalan yang paling tepat dianut dan ditempuh bangsa yang telah dua abad dicengkeram kolonialis- imperialis asing.

Sosialisme Indonesia bukanlah sekadar sosialisme yang jamak diterapkan negara lain. Sosialisme Indonesia bukanlah komunisme, tapi bersarikan antikapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri. Kapitalisme menjadi musuh bersama karena ia tak ubahnya ibu kandung kolonialisme-imperialisme, yang terbukti menindas dan mengisap. Penindasan dan pengisapan inilah yang hendak kita ku- bur dari Bumi Nusantara.

Kristalisasi dari semangat mewujudkan nasionalisme dan sosialisme Indonesia bagi bangsa ini bermuara pada sebuah konsen- sus nasional tertinggi yang dipantulkan secara utuh dalam lima sila dasar negara, yakni: Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerak- yatan, dan Keadilan. Oleh Bung Karno, rangkuman dari kelima nilai

Kembali ke Agraria luhur itu kemudian diistilahkan sebagai Pancasila. Sebegitu sakral-

nya Pancasila, sejak kecil kita ditanamkan untuk menempatkan Pan- casila sumber dari segala sumber hukum.

Sepanjang Orde Baru berkuasa, Pancasila diangkat ke langit ting- gi sehingga mengalami sakralisasi ideologi tapi kering-kerontang da- lam realisasi praktis bernegara. Penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bukannya jadi metoda pencerahan anak bangsa, malah terjerumus jadi alat penjinakan dan pengendalian potensi kritis warga negara di tengah tingkah rezim otoriter dan tota- liter. Sejauh ini, kita masih berkeyakinan tak ada soal dengan isi Pancasila. Hanya saja kerap kali kita kedodoran dan melakukan inkonsistensi pengamalannya dalam praktik kehidupan berbangsa- bernegara sehari-hari.

Keadilan sosial

Orientasi sosial dalam konteks sosiologis Indonesia sebagai negeri agraris, oleh pendiri Republik dipahatkan dalam Konstitusi 1945 yang memastikan penguasaan negara atas bumi, air, ruang ang- kasa dan segala isinya, sebagai mekanisme untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33, ayat 3). Pasal ini diturunkan secara konsisten dalam UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA): “...Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” (Pasal 14).

Sekalipun kuasa negara ditinggikan dalam hukum agraria, na- mun hak milik individu dan hak komunal/kolektif masyarakat tetap diakui. Pasal 16 UUPA mengakui hak milik sebagai salah satu jenis hak. Bahkan Pasal 20 (ayat 1) menyatakan: “Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Pasal 6 memagari: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dewasa

Usep Setiawan ini masih berupa asa, maka langkah strategis yang patut diambil

Indonesia ialah melaksanakan reforma agraria. Pilihan strategi yang ditempuh Evo Morales di Bolivia saat ini dan Bung Karno di Indone- sia masa lalu, hendaknya menginspirasi kebangkitkan nasionalisme dan sosialisme Indonesia baru. Reforma agraria sejati plus nasiona- liasi aset bangsa sebagai salah satu agenda strategis bangsa hen- daknya dijauhkan dari stigma “kiri” atau “kanan” karena kita telah bulat menggenggam teguh Pancasila dalam pikiran, ucapan dan tindakan.

Presiden Yudhoyono sudah saatnya berbahasa lebih terang da- lam merealisasikan reforma agraria sebagaimana dijanjikan akan dimulai tahun 2007 ini. Di saat yang sama, Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI harus mengendalikan seluruh jajaran tentara agar tak lagi menjadi pihak yang berhadapan dengan rakyat dalam kasus tanah. Kekerasan aparat yang terjadi 30 Mei 2007 di Pasuruan Jawa Timur hingga menewaskan empat warga, harus menjadi tragedi yang terakhir.

Walaupun Jenderal Yudhoyono bukan “Jenderal” Nagabonar, tapi ada perlunya Yudhoyono bercermin dari gaya Nagabonar dalam mempertahankan nasionalismenya yang sering kali menghentak tak terduga. Dalam Nagabonar Jadi 2 garapan Dedy Mizwar, Nagabonar menolak dan marah besar ketika Bonaga, sang anak Nagabonar, ber- niat melego tanah leluhur yang di dalamnya ada makam keluarga mereka kepada investor asing.

Saat globalisasi menderas, kita harus menyelamatkan jati diri kebangsaan kita. Saat kapitalisme menggurita, segera kita amalkan sosialisme Indonesia (Pancasila). Jika terlambat berbenah, celoteh Nagabonar: “Apa kata dunia?!” ***