Militer dan Agraria

Militer dan Agraria

B Sukamulya, kecamatan Rumpin, Bogor-Jawa Barat mendorong kita

ENTROK antara rakyat (petani) dengan aparat militer (TNI-AU) pada tanggal 21-22 Januari 2007 di kampung Cibitung desa

merefleksikan kembali peran militer dalam urusan agraria. Kasus Rumpin membuktikan otoritarianisme di lapangan agraria masih bercokol. Kasus Rumpin juga cermin penegakan HAM yang masih runyam. Pembaruan (reforma) agraria masih berupa niat suci yang belum mewujud dalam nyata. Menjadi rahasia umum, militer (tentara dan polisi) sepanjang Orde Baru kerap berdiri di belakang kasus-kasus konflik agraria struktural. Aparat Negara bersenjata itu biasa jadi backing proyek pembangunan yang menggusur rakyat. Bahkan tak sedikit proyek instansi militer sendiri yang memper- hadapkan rakyat dengan moncong senjata.

Dari 1.753 kasus yang direkam KPA (1970-2001), pihak militer termasuk yang paling sering berhadapan dengan rakyat. Tak kurang 29% kasus telah mengakibatkan rakyat bergulat dengan kaum beram- but cepak ini. Analisis terhadap pola konflik agraria menampilkan wajah penaklukan dan penindasan oleh aparat negara terhadap rakyat. Sering bukti-bukti hak rakyat atas tanah tak diakui. Jika tanah rakyat dibutuhkan untuk “pembangunan”, penetapan ganti rugi selalu merugikan. Penindasan yang dialami rakyat berupa intimidasi, teror, dan kekerasan fisik. Sering terjadi penangkapan hingga pemen- jaraan tokoh rakyat yang memperjuangkan haknya atas tanah. Bah-

Kembali ke Agraria kan, penggunaan senjata dan alat kekerasan negera dan premanisme

yang mengorbankan rakyat. Jika rakyat protes, tuduhan pembangkang, pengacau, anti pem- bangunan segera dicapkan. Konflik agraria yang menampilkan ketidakadilan agraria ini telah menyembulkan wajah carut marutnya kondisi HAM bangsa. Semua itu, merupakan ekspresi politik agraria yang otoritarian sebagai benteng dari paradigma dan praktek politik agraria kapitalistik yang membuahkan struktur agraria yang kian timpang dan represivitas sangat tinggi.

Ketimpangan penguasaan dan kekerasan konflik agraria sebagai problem pokok agraria di Indonesia merupakan buah perkawinan kapitalisme dengan otoritarianisme politik agraria. Ini adalah warisan Orba, bahkan residu era feodalisme, kolonialisme dan imperialisme. Ketika otoritarianisme bergeser ke demokrasi, perubahan paradigma dan praktik agraria perlu mendapat perhatian khusus. Karenanya, menuntaskan ketimpangan dan konflik agraria melalui reforma agra- ria dapat dikatakan sebagai perjuangan inklusif meluruskan sejarah bangsa.

Perjuangan memberangus otoritarianisme agraria, menegakkan demokrasi dan HAM tak akan bermakna jika reforma agraria diabai- kan. Kita butuh demokrasi guna memastikan kekuasaan tertinggi di genggaman rakyat. Tetapi kita juga perlu reforma agraria untuk me- mastikan tanah dan kekayaan alam lainnya benar-benar dikuasai, dikelola dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Semua itu hendaknya berujung pada penanganan problem agra- ria secara adil dan manusiawi, sehingga seluruh konflik agraria mam- pu diatasi secara paten. Reforma agraria akan menjadikan demokrasi lebih bermakna keadilan dan kemanusiaan. Rencara pelaksanaan reforma agraria—ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato awal tahun 2007 (31/01), hendaknya sekaligus ber- makna reposisi militer dari “aktor pemicu konflik” menjadi “penga- wal terbitnya keadilan”. Niat luhur ini mesti disertai langkah nyata

Usep Setiawan menamatkan otoritarianisme agraria.

Pengalaman bangsa-bangsa mengajarkan bahwa reforma agraria yang berhasil selalu menyertakan pihak militer sebagai backing-nya rakyat sekaligus pengawal setia pemerintah yang sedang menabur- kan benih kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi raknyat. Militer perlu segera mereposisi diri untuk terlibat mensukseskan pelaksanaan reforma agraria. Skenario ini mensyaratkan adanya instruksi yang tegas dari panglima tertinggi militer (Presiden) menge- nai agenda ini. Prasyaratnya, Presiden punya keyakinan penuh untuk memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria.

Pimpinan militer di semua level dikondisikan untuk tugas baru ini. Pendidikan dan pelatihan khusus untuk kalangan militer hen- daknya dilakukan guna memastikan semua jajaran memahami kon- sep yang cukup mengenai reforma agraria. Militer mesti paham tujuan reforma agraria sehingga dapat mengawalnya secara konstruktif. Reforma agraria yang intinya landreform—yang mengandung agenda redistribusi tanah, bagi rakyat kecil haruslah berlangsung mulus. Redistribusi tanah yang diawali “pengambilan tanah” dari penguasa tanah luas, lalu “pembagian tanah” kepada rakyat miskin rentan benturan. Peran militer sangat diperlukan terutama pada tahap ini.

Militer harus mengamankan proses landreform secara tegas namum jernih supaya rakyat kecil benar-benar mendapatkan haknya. Militer harus mencegah para penumpang gelap mengail di air keruh. Militer harus menghadang gerakan kontra reform yang dilakukan oleh siapa pun. Prinsipnya, militer berdiri di belakang rakyat yang akan menerima manfaat reforma agraria.

Apabila ini terjadi, potensi konflik agraria akan dapat diminima- lisir dan citra militer pun meroket di mata rakyat. Sebaliknya, apabila masih berperilaku seperti di Rumpin, kaum pemanggul senapan ini tak ubahnya awan kelabu penghambat terbitnya fajar keadilan ag- raria.***