Tanah Telantar dan Pengangguran

Tanah Telantar dan Pengangguran

B pendayagunaan tanah telantar, belum lama ini. Forum ini merupakan

ADAN Pertanahan Nasional (BPN) menggelar konsultasi publik mengenai revisi peraturan pemerintah tentang penertiban dan

rangkaian dari Hari Agraria Nasional 2007. Apa perlunya memper- baiki prosedur dan mekanisme penertiban dan pendayagunaan tanah telantar?

Ternyata luas tanah yang diindikasikan telantar sangat tidak sedikit. Menurut data BPN, pada 2006 (per Juni) luasnya 1.218.554,7300 ha dan pada 2007 (per Juni) seluas 1.578.915,0620 ha. Jika diidentifikasi lebih seksama dan sistematis tentu kenyataannya di lapangan bisa lebih luas lagi. Meluasnya tanah telantar adalah fenomena yang bertolak belakang dengan terus menyempitnya luas pemilikan dan penguasaan tanah di tangan rakyat, khususnya tanah pertanian kaum tani. Tendensi luas tanah telantar dari waktu ke waktu terus meningkat, sementara pemilikan tanah pertanian petani kian menyusut.

Hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan jumlah rumah tangga petani gurem (yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003). Imbas dari minimnya akses pemilikan tanah memperparah realitas kemiskinan. Inilah cermin retak pertanian dan agraria kita.

Keberadaan tanah telantar selama ini telah menjadi persoalan

Usep Setiawan pelik pemicu konflik agraria (sengketa tanah). Penelantaran tanah

kerap mengandung motif spekulasi untuk mendapatkan keuntungan mudah atas selisih jual beli tanah. Dalam banyak kasus rakyat men- coba masuk dan menggarap tanah-tanah yang secara fisik telantar. Namun, secara legal formal rakyat disalahkan karena menggarap tanah yang secara hukum masih hak pihak lain. Penggarapan tanah- tanah “telantar” oleh rakyat yang memicu persoalan hukum hen- daknya disikapi secara arif dan bijaksana. Menyalahkan langsung tindakan rakyat harus dihindari. Penggunaan dasar-dasar juridis formal semata tak akan menjawab persoalan sengketa ini. Alasan- alasan sosio-historis dan sosio-ekonomis hendaknya dipertimbang- kan dalam penanganan sengketa tanah telantar.

Ada korelasi positif antara pentingnya menertibkan dan menda- yagunakan tanah telantar dengan keperluan menutup defisit kebu- tuhan lahan bagi rakyat, khususnya petani miskin. Perbaikan pro- sedur dan mekanisme penertiban dan pendayagunaan tanah telantar akan memastikan keberadaan tanah-tanah telantar sebagai objek potensial reforma agraria.

Langkah pemerintah, melalui BPN merevisi PP 36/1998, sangat tepat dan perlu disegerakan karena terkait dengan persiapan pelak- sanaan reforma agraria mulai 2007. Selama ini, PP 36/1998 sebagai aturan tanah telantar dianggap menyulitkan pelaksana kebijakan. Banyak celah yang bisa “dimainkan” para pemegang hak atas tanah untuk berkelit agar tanahnya yang secara fisik telantar, tapi secara yuridis sulit dinyatakan telantar. Menurut Puslitbang BPN (2000), kendala implementasinya, pertama, belum ada kesamaan persepsi atas tujuan pengaturan. Kedua, kriteria objek tanah telantar belum jelas. Ketiga, masalah keperdataan bekas pemegang hak. Keempat, jangka waktu penilaian tanah telantar.

Langkah terobosan

Merevisi PP 36/1998 pada intinya bermakna terobosan aturan agar penetapan suatu bidang tanah “telantar” menjadi telantar jadi

Kembali ke Agraria lebih mudah dan cepat. Tentu saja kemudahan dan kecepatan pene-

tapan tanah telantar ini mesti disertai ketelitian dan kejujuran para pihak dalam praktiknya. Materi yang perlu disempurnakan dari PP 36/1998, pertama, definisi dan kriteria tanah telantar. Kedua, ruang lingkup tanah telantar. Ketiga, tata cara penertiban tanah terlantar. Keempat , tindakan terhadap tanah telantar.

Jelas, revisi PP 36/1998 harus taat asas pada UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960. Sejumlah pasal yang menggariskan hal-hal prin- sipil wajib dicamkan. Pasal 2 (ayat 3) UUPA memberikan rambu- rambu bahwa: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk menca- pai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kese- jahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.”

UUPA menggariskan bahwa: “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan” (Pasal 10, ayat 1). Dan untuk penguasaan yang melebihi ketentuan, ditekankan bahwa “Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur agar tercapai tujuan yang disebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.” (Pasal 11, ayat 1).

Mengenai pemihakan kepada kaum lemah, UUPA mengamanat- kan: “Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepen- tingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah” (Pasal 11, ayat 2).

Sementara Pasal 13, ayat 1 memberikan tugas: “Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran

Usep Setiawan rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin

bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Dan Pasal 13, ayat 2 menyebutkan, “Pemerintah mencegah adanya usaha- usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseo- rangan yang bersifat monopoli swasta”.

Selain konsisten pada amanat UUPA, substansi revisi PP 36/ 1998 haruslah seiring sejalan dengan penyusunan peraturan opera- sional UUPA untuk pelaksanaan reforma agraria—dalam hal ini Ran- cangan PP tentang Reforma Agraria. Revisi tanah telantar akan turut memastikan tersedianya tanah-tanah segar objek reforma agraria.

Semua objek reforma agraria jelas harus layak secara sosial, eko- nomi, ekologis, dan yuridis. Tanah jangan jadi komoditas. Tanah tak boleh jadi objek spekulasi dan dihindarkan dari penyia-nyiaan. Pene- lantaran tanah, apapun alasannya, tak bisa ditoleransi karena poten- sial menutup akses dan kesempatan bagi bangsa ini untuk membe- baskan diri dari belenggu pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan. Agar aturan baru mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah telantar dapat efektif dijalankan mutlak perlu kejujuran dan konsis- tensi semua pihak.

Pemegang hak atas tanah harus ikhlas menyerahkan kembali tanah yang “dikuasainya” tapi tak digarapnya kepada negara untuk digunakan bagi kepentingan bangsa secara lebih luas. Petani sebagai penerima manfaat pun harus setia mengerjakan tanah dan pantang memperjualbelikannya.

Menelantarkan tanah pertanda kita tak pandai mensyukuri nik- mat. Karena tanah tidur bikin rakyat menganggur dan tanah telantar bikin rakyat lapar. Maka permudahlah cara penetapan tanah telantar lalu jadikan sebagai objek reforma agraria guna memindahkan rakyat dari bencana pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan. ***