Menunggu “Ratu Adil” Agraria

Menunggu “Ratu Adil” Agraria

AJAH agraria yang mencuat sepanjang 2005 adalah konflik agraria yang mengeras. Tragedi berdarah akibat konflik agra-

ria datang silih berganti. Sebagian yang menjadi korban adalah ko- munitas masyarakat adat—seperti di Kontu, Muna, Sulawesi Teng- gara, dan kaum tani seperti di Tanak Awu, Lombok Tengah, NTB. Tidak sedikit pula kaum miskin di perkotaan jadi bulan-bulan peng- gusuran dari sepetak tanah dan tempat tinggalnya.

Komnas HAM bersama sejumlah organisasi nonpemerintah mencatat setidaknya 50 kasus konflik agraria berdimensi pelanggaran HAM berlangsung di tahun 2005. Kasus ini mencakup sektor-sektor agraria penting seperti pertambangan dan perkebunan besar, kehu- tanan, fasilitas umum, konservasi, pertanian, perkotaan, transmigrasi, serta kelautan, dan pesisir. Konflik agraria yang diwarnai kekerasan menjadi bukti sahih masih bercokolnya otoritarianisme di lapangan agraria. Reforma agraria sebagai jawaban kunci atas problem agraria masih ibarat macan kertas.

Mengacu Soetarto dan Shohibuddin (2005), ada enam dampak ganda (multiplier effect) dari pelaksaaan reforma agraria. Pertama, akan menciptakan pasar atau daya beli. Melalui pemerataan tanah, maka tercipta kekuatan daya beli yang artinya juga kekuatan pasar. Kedua, petani dengan aset tanah yang terjamin dan memadai akan mampu menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya dan menghasilkan sur- plus untuk ditabung. Ketiga, dengan berkembangnya kegiatan ekonomi

Kembali ke Agraria pedesaan berkat kinerja pertanian yang baik maka pajak pertanian

juga dapat ditingkatkan. Keempat, memungkinkan terjadinya diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja di pedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pede- saan itu sendiri. Kelima, tanpa reforma agraria tak akan terjadi inves- tasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malah akan terjadi disin- vestasi karena lama kelamaan petani akan kehilangan tanah dan kemiskinan pun meluas. Keenam, tanah dapat diproduktifkan petani dan tak jadi objek spekulasi. Petani tetap memegang kedulatan atas alat produksinya dan mampu memanfaatkannya untuk kepentingan produktif. Reforma agraria akan mengantar sistem ekonomi modern dan berkelanjutan. Tanpa reforma agraria tak akan tercipta demokrasi ekonomi dan politik di pedesaan.

Konsepsi ideal di atas masih dihadapkan pada kenyataan pahit. Di tahun 2005 kita dikejutkan oleh terbitnya Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres ini disimpulkan banyak pihak sebagai cermin dari watak penguasa yang represif dan otoriter. Perpres ini potensial memper- parah keadaan dan menyulitkan penemuan muara penyelesaian konflik agraria. Dalam konflik agraria, kerap terjadi penaklukan dan penindasan aparat negara terhadap rakyat. Sering bukti-bukti hak rakyat atas tanah tak diakui. Penetapan ganti rugi sepihak. Manipu- lasi aspirasi rakyat agar “rela” menyerahkan tanahnya. Jika rakyat protes dituduh pembangkang atau anti pembangunan. Rakyat kerap menerima intimidasi, teror, dan kekerasan fisik.

Akar dari konflik agraria yang menampilkan wajah ketidakadilan merupakan ekspresi politik agraria yang otoriter sebagai benteng dari politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria gaya Orba ini masih kuat diterapkan dalam rangka mengamankan “pembangunan”. Pun- cak dari otoritarianisme adalah penggunaan senjata dan alat keke- rasan negera (bahkan premanisme) dalam mengusir rakyat dari tanahnya sehingga korban di pihak rakyat berjatuhan.

Menuntaskan ketimpangan dan konflik agraria melalui reforma

Usep Setiawan agraria merupakan perjuangan inklusif meluruskan sejarah bangsa.

Reforma agraria adalah agenda demokratisasi sejati yang substantif. Perjuangan memberangus otoritarianisme agraria dan menegakkan demokrasi di atasnya akan kehilangan makna jika reforma agraria diabaikan.

Kita butuh demokrasi guna memastikan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Tetapi kita juga perlu reforma agraria untuk memas- tikan tanah dan kekayaan alam sungguh dikuasai, dikelola dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Inilah rajutan harapan di tahun baru. Siap-siap jadi “ratu adil” yang mampu menyelamatkan keadaan kritis ini. Atau ini ibarat me- nunggu “godot” yang memang tak akan pernah datang. Selamat datang 2006. Wallohualam.***