Dari Jeda Balak ke Paradigma Baru

Dari Jeda Balak ke Paradigma Baru

ONTROVERSI pelarangan sementara penebangan pada hutan tertentu (jeda balak) oleh Gubernur Jawa Barat baru-baru ini telah

memicu perdebatan sengit soal pengelolaan hutan di Jabar. Tidak kurang, Gubernur Jabar, belasan Bupati, pihak DPRD, petinggi PT Perhutani, dan tokoh-tokoh masyarakat terlibat dalam perdebatan yang beraroma ketegangan kepentingan. Namun, tentu saja publik (khususnya yang concern pada tema kehutanan) perlu kritis dalam menangkap esensi perdebatan. Apa makna esensial dari perdebatan itu?

Melalui artikel singkat ini, penulis terusik untuk menginterupsi perdebatan. Persoalan pengelolaan hutan senyatanya persoalan ber- sama masyarakat luas, dan karenanya mesti ditilik dari berbagai sudut pandang. Di sini, jeda balak jadi titik masuk bagi penulis untuk menengok paradigma pengelolaan hutan yang tampaknya masih sepi dari isi perdebatan yang ada. Ini penting, mengingat konflik kepen- tingan (conflict of interests) dalam pengelolaan hutan merupakan cermin dari problem agraria dan SDA yang paradigmanya menanti perombakan.

Sejumlah pakar telah mensinyalir adanya sesat pikir dalam para- digma politik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam selama ini. Untuk itu, kontroversi pengelolaan hutan (sebagai bagian dari sum- berdaya alam) di Jabar dewasa ini penting untuk diletakkan sebagai pintu masuk bagi penemuan paradigma baru pengelolaan hutan di

Kembali ke Agraria masa depan. Paradigma lama perlu dibongkar agar diketahui secara

cermat titik lemahnya. Setelah itu, kita perlu menemukan segera alter- natif paradigmatik yang lebih baik.

Pilihan paradigma pengelolaan kawasan hutan bisa dipinjam dari pemikiran Ton Dierz (1996). Menurut Dierz, pada dasarnya ada tiga pilihan paradigma kebijakan yang bisa dan biasa diambil, yakni (i) yang menempatkan lingkungan dan sumber-sumber alam sebagai objek eksploitasi (eco-developmentalism), (ii) yang membuat isolasi ter- tentu terhadap suatu kawasan agar bebas dari intervesi manusia sama sekali (eco-totalism atau eco-fasism), atau (iii) yang menempatkan rakyat di sekitar suatu kawasan sebagai subjek utama (eco-populism).

Paradigma pengelolaan hutan yang dianut selama ini semata- mata melihat hutan sebagai objek eksploitasi. Pilihan paradigma pengelolaan hutan rezim Orba sejatinya cermin dari paradigma eco- developmentalism . Melalui paradigma ini, Orba menelurkan berbagai kebijakan yang menempatkan sumber-sumber alam, termasuk hutan, sebagai objek eksploitasi demi pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal. Paradigma pengelolaan kawasan hutan semacam ini ditandai pula dengan tidak diberikannya ruang yang memadai bagi keter- libatan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan. Faktanya, justru pilihan ini telah membuahkan konflik antara negara dan/atau pemodal besar yang diberi mandat mengelola versus penduduk yang punya klaim sejarah budaya yang bersifat kosmologis atas kawasan di sekitarnya.

Buah yang sekarang kita temukan di depan mata adalah dishar- moni, karena tidak ditemukannya kesatuan pandang antara negara dan/atau para “pengelola formal” kawasan hutan dengan aspirasi penduduk yang hidup dan berkembang di sekitar kawasan tersebut. Selain itu, dampak nyata yang memprihatinkan adalah tidak adanya upaya penanganan yang efektif dalam mencegah perusakan dan me- mulihkan kerusakan hutan ternyata telah membuahkan berbagai tra- gedi bencana alam yang mengerikan, seperti banjir besar yang seka- rang melanda.

Usep Setiawan Lantas, solusi apa yang bisa ditawarkan? Sudah waktunya, si-

kap kritis ditembakkan terhadap paradigma lama yang telah terbukti mengabaikan kepentingan penduduk di sekitar kawasan hutan. Paradigma lama yang menyebabkan tidak terkendalinya eksploitasi yang menyebkan perusakan lingkungan alam dan meminggirkan hak rakyat sudah waktunya ditinggalkan. Perlu dicari paradigma baru yang lebih kontekstual dengan tuntuan zaman, yang di anta- ranya terkait dengan kecenderungan penataan hubungan-hubungan pemerintahan yang lebih terdesentralisasi melalui otonomi daerah.

Era otonomi daerah telah memberi peluang yang cukup bagi pemerintahan daerah untuk mengambil peran lebih besar dalam pengelolaan hutan. Kewenangan yang ada dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, secara transisional dapat menjadi jembatan menuju penyerahan pengelolaan hutan oleh masyarakat di sekitar hutan. Jika jembatan ini dapat ditempuh dengan mulus, maka manfaat dari keberadaan pengelolaan hutan bisa lebih dekat dan lebih cepat dinikmati oleh masyarakat di sekitar hutan.

Kehendak para founding fathers negeri ini sudah jelas, sebagaimana Bung Hatta pernah mengatakan: “Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkem- bangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, melak- sanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri, melaksanakan sendiri yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri.”

Untuk ke depan kita ditantang untuk mampu membuka jalan bagi pemenuhan syarat sosial dan ekologis secara sekaligus. Masya- rakat di sekitar hutan jangan lagi dijadikan objek atau penonton apalagi korban. Karenanya mereka wajib diajak bicara mengenai kemauan dan kebutuhannya. Masyarakat harus dilindungi dan dido- rong untuk memiliki kemampuan memenuhi keselamatan dan

Kembali ke Agraria kesejahteraan hidupnya.

Model pengelolaan hutan secara bersama yang hasilnya dinik- mati secara adil bagi semua adalah dambaan kita. Karena keadilan bersama dapat efektif mencegah perusakan hutan, sehingga bisa memperpanjang layanan alam. Mendorong kemampuan kolektif rakyat di suatu kawasan dalam menghasilkan syarat-syarat kese- lamatan dan kesejahteraan hidupnya. Dengan produksi kolektif, nilai kemakmuran dinilai berdasar tingkat kesejahteraan bersama.

Tak pelak, sekarang kita tidak sekedar butuh model pengelolaan hutan yang memungkinkan terjadinya pemulihan dan mencegah perusakan hutan, melainkan, kita juga butuh model pengelolaan hutan yang lebih berkeadilan sosial dan demokratis. Dalam konteks inilah, paradigma eco-populism layak menjadi pilihan. Wallohu’alam. ***

Republika, 18 Maret 2003