Kabinet Pro-Ekonomi Kerakyatan

Kabinet Pro-Ekonomi Kerakyatan

EKAN ini perhatian publik tercurah pada perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono. Apakah figur-figur baru yang masuk kabinet akan membuahkan angin segar bagi perbaikan berbagai sendi kehi- dupan berbangsa dan bernegara yang berujung pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat? Atau justru sebaliknya?

Sementara itu, belum lama berselang, Yayasan Indonesia Forum meramalkan bangsa ini baru dapat mencapai kemakmuran pada 2030. Dalam 23 tahun ke depan, melalui cara yang ditawarkan sebuah yayasan yang disponsori sejumlah pengusaha berkantong tebal itu, pendapatan per kapita Indonesia mencapai 18.000 dolar AS, dan terdapat 30 perusahaan nasional yang masuk dalam 500 perusahaan elite dunia.

Sebenarnya, kalau kita tengok sejarah, ukuran simplistik ekonomis semacam itu pernah kita capai pada masa penjajahan. Di era kolonial, pembangunan di Batavia, Semarang, Medan, dan Makassar, berhasil memosisikan Singapura, Kuala Lumpur, dan Manila terasa kampungan. Bahkan, raja gula Oei Thiong Ham asal Semarang adalah konglomerat top kelas dunia saat itu. Tapi masyarakat luas tak merasakan faedahnya. Di sisi yang lain, angka statistik pertumbuhan ekonomi sesungguhnya tidak mencerminkan distribusi angka-angka tersebut (D. Joesoef: 2006). Bagi kita, soalnya bukan pada mungkin tidaknya mencapai Visi 2030 itu, tapi paradigma pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi itulah yang pantas digugat karena keliru alamat bagi bangsa merdeka ini.

Usep Setiawan Para pendiri bangsa mengartikan kemerdekaan sebagai koreksi

total tata cara ekonomi kolonialis-imperialis. Pembangunan ekonomi ditempatkan sebagai bagian dari proses perubahan sosial bangsa secara keseluruhan yang berarti mempercepat disintegrasi susunan masyarakat lama dan keharusan untuk mencapai integrasi masyara- kat baru yang berkeadilan sosial dan sejahtera (Soedjatmoko: 1983).

Susunan masyarakat lama melahirkan segelintir elite yang dapat begitu leluasa menikmati perkembangan ekonomi, sehingga mereka memperoleh status sosial dan politik yang tinggi bahkan perlin- dungan hukum secara paripurna. Susunan masyarakat seperti ini, digambarkan Bung Hatta sebagai ciri utama masyarakat sosial kita akibat penjajahan beratus-ratus tahun lamanya.

Langgengnya keadaan itu bertali-temali dengan masih bercokol- nya paradigma pembangunan ekonomi yang sebangun dengan yang berlaku di masa penjajahan, yang diperburuk skenario hegemoni sistematis yang menihilkan partisipasi rakyat dalam pembangunan telah berpuluh tahun dicekokkan penguasa Orba.

Ekonomi kerakyatan

Sesungguhnya, kelahiran era reformasi 1997 juga didasarkan pada kehendak mengoreksi total paradigma pembangunan politik ekonomi Orba. Ketika belakangan reformasi malah melahirkan neoliberalisme ekonomi (berintikan kolonialisme-imperialisme baru), ini dikarenakan adanya pembajakan terhadap reformasi oleh para reformis gadungan (free riders). Karena itulah reformasi ekonomi sebagai upaya menggeser paradigma pembangunan ekonomi “per- tumbuhan” menjadi ber-”kerakyatan” terasa kian menguap dari arus utama kebijakan yang ditempuh pemerintah.

Ekonomi kerakyatan bukanlah skala usaha ekonomi menengah dan kecil. Ekonomi kerakyatan adalah semangat membangun pereko- nomian yang didasarkan pada tata cara produksi dan orientasi pro- duksi usaha yang dijalankan. Cara produksi sistem ekonomi kerak- yatan bertumpu pada kerja sama dan kerja bersama dari kalangan

Kembali ke Agraria rakyat itu sendiri, yang menjauhkan diri dari praktik monopoli dan

pengisapan, misalnya melalui koperasi dan badan usaha yang didi- rikan bersama oleh rakyat.

Orientasi produksi sistem ekonomi kerakyatan diutamakan bagi pemenuhan kebutuhan domestik rakyat dan bangsa sendiri dan keuntungannya diredistribusi secara adil untuk meningkatkan kese- jahteraan dan kemakmuran bersama.

Adapun bentuk usaha besar, menengah ataupun kecil sesung- guhnya hanya merupakan pilihan yang didasarkan pada ukuran keefektifan ekonomi, kemampuan manajerial dasar yang dapat dijalankan masyarakat, sehingga roadmap transformasi usaha bersa- ma tersebut bisa terpetakan dengan baik dan proses ini akan selalu membuka peluang partisipasi rakyat. Bentuk usaha dari sistem ekono- mi kerakyatan bisa kecil, menengah, bahkan skala besar dengan mengacu prinsip cara dan orientasi produksi tadi.

Tujuan ekonomi kerakyatan adalah membangun kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa. Proses mewujudkan kesejahteraan rakyat diletakkan sebagai bagian dari perjuangan menegakkan kemandirian bangsa secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian kokoh dalam kebudayaan nasional kita (ingat Trisak- tinya Bung Karno!). Dalam menggapai kesejahteraan, kita pantang tunduk takluk pada kepentingan asing. Membangun kesejahteraan bangsa harus senapas dengan pembangunan nasionalisme kita.

Rangkul si miskin

Membangun ekonomi kerakyatan mesti disandarkan pada realitas sebagian besar warga negara kita dalam keadaan miskin. Sebagian besar yang masih terjerat kemiskinan adalah kaum tani yang hidup dan tinggal di pedesaan. Penyelenggara negara wajib merangkul dan menjadikan mereka sebagai sasaran utama sekaligus pusat pertumbuhan ekonomi kerakyatan kita.

Membangun ekonomi kerakyatan tentu saja harus didahului pelaksanaan pembaruan agraria secara sejati. Rakyat miskin yang

Usep Setiawan selama ini tuna-aset dan minim akses terhadap sumber-sumber eko-

nomi dan sumber-sumber kesejahteraan hendaknya segera ditolong negara. Konstitusi yang mengamanatkan negara untuk menyediakan “pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian” tetap men- jadi koridor konstitusional dari upaya menata struktur agraria kita.

Rakyat miskin, terutama dalam hal ini buruh tani, petani peng- garap, dan petani gurem, perlu segera difasilitasi negara, sehingga memiliki dan menguasai lebih luas berbagai sarana dan prasarana penunjang produktivitas ekonomi mereka. Dengan pemilikan dan penguasaan berbagai alat produksi (terutama tanah, modal, bibit, pupuk dan teknologi) dan beragam infrastruktur penunjang lainnya itulah rakyat miskin akan memutar roda pembangkit ekonomi kerak- yatan yang dicita-citakan.

Untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi kerayatan model ini, perlu digencarkan pembentukan koperasi-koperasi usaha bersama milik rakyat dan badan-badan usaha bersama milik desa yang dike- lola kolektif bersendikan semangat gotong-royong. Jika bergulir mu- lus, awal babak perbaikan fondasi pertanian dan pengembangan pedesaan sebenarnya tengah kita gelindingkan di atas rel yang tepat.

Geliat dari koperasi rakyat dan badan usaha bersama dalam hal pra-produksi, produksi, pengolahan, produk turunan hingga pema- saran hendaknya dipadukan dalam pendekatan kewilayahan secara terintegrasi. Dengan demikian, pembaruan agraria sejati dapat secara efektif berkontribusi pada perombakan struktur masyarakat agraris yang menindas bin mengisap menuju susunan masyarakat sosial baru yang dilumuri kesejahteraan, kemakmuran, dan kemandirian.

Akankah reshuffle kabinet awal Mei ini menerbitkan harapan baru bagi realisasi sistem ekonomi kerakyatan? Tampaknya, jika wa- jah-wajah baru di kabinet ternyata alam pikirnya tak jauh beda dengan yang sudah-sudah, harapan itu pastilah tinggal harapan.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Iwan Nurdin)