April, Hari Perjuangan Petani Sedunia

17 April, Hari Perjuangan Petani Sedunia

ANGGAL 17 April 1996, petani Brasil berduka dan petani sedunia pun turut berkabung. Di kota Eldorado dos Carajos,

telah terjadi pembantaian terhadap petani yang sedang menuntut hak-haknya. Saat itu aparat keamanan Brasil memuntahkan peluru panasnya ke para demonstran yang menjatuhkan 19 tewas dan 60 orang luka berat.

Tindak kekerasan ini turut mengukuhkan pikiran para ahli dan kalangan gerakan sosial untuk memperkuat perjuangan pembaruan agraria. Tragedi ini pula yang belakangan dijadikan tonggak sejarah gerakan kaum tani se-dunia. Oleh La Via Campesina—organisasi gera- kan tani lintas negara—17 April ditetapkan sebagai International Day of Farmers Struggle.

Di Indonesia, kisah duka petani menjadi bagian yang lekat dalam sejarah bangsa. Penindasan feodalisme yang disambung kolonialisme dan pembangunanisme menjadi fakta tak terbantahkan. Konflik agra- ria yang berkepanjangan telah mempertontonkan ribuan kasus tanah tanpa penyelesaian. Konflik agraria meluas dan melebar menjadi konflik kepentingan ekonomi-politik petani dengan kepentingan golongan lainnya.

Demikian halnya dengan ketimpangan struktur agraria yang menampilkan ilustrasi piramida terbalik—mayoritas petani mengu- asai/memiliki sebagian kecil luas lahan pertanian dan di atasnya segelintir orang yang dekat kuasa ekonomi/politik telah menguasai

Usep Setiawan sebagian besar darinya. Mayoritas rakyat terpaksa tunduk pada mi-

noritas yang lainnya. Ketimpangan ini memicu kemiskinan di ka- langan rakyat, terutama petani di pedesaan. Ketimpangan ini pula yang memproduksi kecemburuan dan potensi konflik sosial yang berkepanjangan.

Era reformasi yang telah bergulir tujuh tahun ternyata menyi- sakan dilema bagi petani. Harapan akan terbitnya tatanan masyara- kat dan negara yang baru masih tinggal harapan. Jatuhnya Soeharto (1998) semula dipandang sebagai syarat pokok bagi kelahiran Indoneisa baru itu, termasuk perubahan kebijakan pertanian ke arah perbaikan dan peningkatan kualitas hidup petani. Namun, sekali lagi semua itu sekedar harapan belaka.

Celakanya, dinamika pentas politik Indonesia sepeninggal rezim Soeharto yang otoriter dan kapitalistik telah menciptakan situasi poli- tik nasional yang labil karena persaingan politik di tingkat elite yang tak berkesudahan. Bagi petani, pertikaian elite yang tidak menyentuh agenda kerakyatan tak ayal membawa dampak: (1) tertundanya penyelesaian konflik dan ketimpangan agraria warisan masa lalu, (2) tertundanya peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup, dan (3) memudarnya kepercayaan petani kepada negara.

Di luar itu semua, terdapat peluang untuk dioptimalkan bagi percepatan gerakan petani Indonesia. Pertama, terbukanya ruang politik berupa kebebasan berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat setelah lama dibungkam Orde Baru. Kedua, telah mulai tumbuhnya organisasi tani yang independen dari politik praktis. Ketiga, menguatnya perhatian dan dukungan kalangan menengah kota terhadap gerakan petani yang dapat ‘membantu’ mengembang- kan berbagai kapasitas.

Pengorganisasian

Untuk ke depan, perlu ditemukan agenda stategis gerakan tani Indonesia. Pilihan untuk menjalankan kerja-kerja pengorganisasian di kalangan petani kiranya perlu menjadi prioritas. Selama ini, tak

Kembali ke Agraria terorganisirnya petani menjadi cikal bakal dari lemah dan kalahnya

petani di hadapan pihak lain. Melalui kerja tekun yang terus menerus dalam melahirkan, memperkuat, menata dan merawat organisasi tani yang sejati akan menjadi pintu gerbang bagi pertumbuhan kesadaran baru, semangat baru dan kekuatan baru di kalangan petani.

Organisasi tani tidak melulu bicara sosial-politik petani, melain- kan juga menggarap segi sosial-ekonomi petani. Meningkatkan posisi tawar secara politik mestilah disertai pengembangan kapasitas petani dalam ekonomi pertanian mereka. Kuat secara politik dan mandiri dalam ekonomi adalah idealisme yang disasar oleh kerja pengorga- nisasian petani. Pendek kata, hanya melalui kerja terorganisirlah gerakan kaum tani dapat mencapai tujuan dan cita-citanya. Dengan organisasi yang baik pula, kalangan petani dan masyarakat pada umumnya dimungkinkan untuk menempuh jalur damai, dialogis dan bermartabat dalam menyelesaikan beragam persoalan sosial, eko- nomi, dan politik yang dihadapinya. Untuk itu, konsolidasi antar organisasi tani yang punya cita-cita sama menjadi kebutuhan men- desak.

Diperlukan juga pembukaan hati nurani dan akal sehat elite politik untuk secara serius mengabdikan posisi politiknya bagi ke- menangan petani, yang berarti kemenangan seluruh bangsa. Hati dan pikiran elite yang tengah manggung di kursi eksekutif, legislatif maupun yudikatif sudah saatnya disterilkan dari pragmatisme politik elitis yang kerap kali tak sebangun, bahkan berseberangan dengan kepentingan petani. Dengan hati jernih dan pikiran cerdaslah kebi- jakan yang menyentuh hidup petani akan mungkin terbangun.

Tragedi di Brasil 17 April sembilan tahun lalu, sebagaimana tragedi-tragedi sejenis yang seringkali berulang di tanah air kita— semacam kasus Bulukumba (Sulsel) dan Manggarai (NTT)—hendak- nya menjadi peringatan bahwa komitmen untuk memihak petani sedang ditunggu-tunggu. Dan komitmen ini mestilah dimiliki semua pihak yang menyatakan mencintai bangsanya sekaligus menghormati kemanusiaan asasi secara universal.

Kompas, 18 April 2005