Menagih Janji Reforma Agraria

Menagih Janji Reforma Agraria

ANJI adalah utang. Setahun lalu, saat kampanye pemilu, Susilo Bambang Yudhoyono berjanji, jika terpilih sebagai presiden akan

menjalankan reforma (pembaruan) agraria. Janji ini disampaikan secara lisan yang disiarkan televisi dan radio, serta dalam naskah visi, misi dan program Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla (Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera, Mei 2004, hlm. 55-69).

Janji seorang calon presiden tentu bukan janji orang sembarang. Menagihnya pun tidak seperti anak kecil menagih janji ayahnya untuk bertamasya di kala liburan. Ketika janji ditebar seorang calon pemim- pin, ribuan bahkan jutaan rakyat menaruh harap akan adanya per- baikan mutu hidup melalui realisasi janji-janji para pemimpinnya. Tidak heran jika parameter utama dalam menilai kualitas seorang pemimpin di manapun adalah sejauh mana dia bersikap amanah. Amanah tak lain ialah usaha sungguh-sungguh mewujudkan janji- janjinya. Karena janji manislah, rakyat memilih figur pemimpinnya dalam pemilu lalu.

Sembari memperingati Hari Tani Nasional 2005 yang jatuh pada tanggal 24 September, sebagai bangsa dan warga negara, kita patut menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menja- lankan pembaruan agraria. Kenapa kita perlu menagihnya? Selain karena negeri ini memang tengah membutuhkan penataan ulang struktur dan sistem agraria nasional sehingga lebih berkeadilan

Usep Setiawan sosial, terdapat sejumlah alasan penting berikut. Pertama, sampai hari

ini belum ada pandangan resmi dari presiden tentang format dan strategi pelaksanaan reforma agraria sebagaimana dijanjikan. Ke- tiadaan format dan strategi ini mudah melahirkan pandangan publik bahwa janji untuk reforma agraria hanyalah sekedar janji belaka tan- pa niat tulus dan sungguh untuk menjalankannya. Dalam program pembangunan lima tahun ke depan dari kabinet pun agenda ini raib entah kemana.

Kedua, masih tetap diberlakukannya berbagai peraturan perun- dang-perundangan yang mengganjal tujuan mulia dan agenda- agenda pokok pembaruan agraria. Peraturan yang mengukuhkan ketimpangan dan melanggengkan konflik agraria belum juga ditinjau- ulang, belum direvisi dan belum diganti dengan peraturan baru yang bisa lebih membuka jalan bagi pemerataan akses dan kontrol rakyat terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya.

Ketiga, belum dibentuknya lembaga khusus yang menangani sengketa tanah atau konflik agraria. Kita tahu bahwa sepanjang kon- flik agraria dibiarkan berlarut-larut, keadilan agraria sebagaimana dituju oleh pembaruan agraria akan senantiasa ibarat pepesan ko- song, kehilangan makna. Untuk itu, usulan pembentukan komisi nasional untuk penyelesaian konflik agraria (KNuPKA) oleh Komnas HAM hendaknya diperhatikan seksama oleh presiden dan jajaran- nya. Pembentukan KNuPKA jadi kebutuhan amat sangat mendesak.

Keempat, tindak kekerasan terhadap rakyat, khususnya petani yang tengah memperjuangkan haknya atas tanah dan kekayaan alam lainnya masih kerap terjadi. Tragedi kekerasan di Bulukumba (Sula- wesi Selatan) dan Manggarai (Nusa Tenggara Timur) belum tuntas, disusul kemudian oleh tindak kekerasan aparat terhadap massa Serikat Tani NTB di Lombok Tengah (18 September 2005). Kekerasan ini telah menjatuhkan korban fisik, mental bahkan jiwa di pihak peta- ni. Kelakuan ini mutlak harus dihentikan jika kita masih ingin disebut bangsa beradab yang mampu menyelesaikan perbedaan dengan damai dan dialog, bukan sangkur dan senapan.

Kembali ke Agraria Setelah memperhatikan berbagai kecenderungan di atas, penulis

memandang perlu segera diadakannya presentasi/pemaparan kom- prehensif mengenai rencana pelaksanaan pembaruan agraria oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Paparan ini dapat menjadi pintu gerbang bagi usaha berbagai komponen bangsa dalam mem- persiapkan semua prasyarat yang dibutuhkan bagi pelaksanaan reforma agraria. Banyak aspek yang perlu disiapkan —lihat artikel opini penulis, Menyiapkan Reforma Agraria, di Suara Pembaruan, 28 Juli 2005.

Bersamaan dengan itu, presiden kiranya perlu memberikan penguatan kelembagaan terhadap institusi yang semula ditujukan untuk mengawal pelaksanaan pembaruan agraria, khususnya land- reform sebagai agenda inti dari reforma agraria. Dalam hal ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) patut diberi kewenangan yang lebih luas dalam mempersiapkan berbagai prasyarat yang dimaksud. BPN jangan lagi diposisikan hanya sebagai pengurus administrasi perta- nahan, apalagi sekadar instansi yang mengeluarkan sertifikat hak atas tanah atau hak guna usaha untuk perusahaan pengelolaan perke- bunan bermodal besar.

BPN di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hendaknya direformat untuk memenuhi tujuan dan agen- da-agenda pembaruan agraria sebagaimana dijanjikan. Transformasi dari “BPN Lama” ke “BPN Baru” yang memenuhi asas dan tujuan reform tak lain ialah merombak BPN menjadi BORA (Badan Otorita Reforma Agraria). Sebagaimana sering diungkapkan Gunawan Wira- di (Penasihat KPA), BORA hendaknya bertanggung jawab langsung pada presiden, dengan tugas utama: (a) menyiapkan pra-kondisi berupa pembiayaan dan kelembagaan, merumuskan strategi dan merencanakan pelaksanaan reforma agraria; (b) mengoordinasikan departemen-departemen terkait dan badan-badan pemerintah lain- nya, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat untuk memper- cepat pelaksanaan reforma agraria; (c) menangani konflik-konflik agraria warisan masa lalu yang masih menjadi masalah selama ini,

Usep Setiawan dan konflik-konflik agraria yang muncul akibat pelaksanaan reforma

agraria. Tanpa persiapan kelembagaan yang cepat, tepat, dan kuat, maka pembaruan agraria dikhawatirkan akan berhenti sekadar janji dan mandeg berupa konsep-konsep umum tanpa kaki yang mampu menu- runkannya ke dalam praktik di lapangan.

Persiapan kelembagaan di tingkat pemerintahan ini idealnya disertai pula oleh tindakan kolektif bangsa untuk memperkuat orga- nisasi-organisasi serta komunitas-komunitas yang berbasis massa rakyat luas yang paling berkepentingan atas pembaruan agraria. Penguatan kaum tani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin di perkotaan menjadi kian mendesak untuk digiatkan dan dige- lorakan. Selamat hari tani 2005! ***

Kompas, 26 September 2005