Mewaspadai Jerat Kuasa Modal

Mewaspadai Jerat Kuasa Modal

D dal. RUU ini terlalu penting untuk diabaikan. Ada empat alasan

EWAN Perwakilan Rakyat dan Pemerintah akan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanaman Mo-

kenapa jeratan RUU-PM perlu diwaspadai dan diteliti secara tajam. Pertama, arah dan strategi pembangunan nasional kita secara para- digmatik semakin liberal. Kedua, draf RUU-PM memberi legitimasi bagi praktik buruk investasi selama ini sehingga membahayakan seluruh sendi kehidupan rakyat. Ketiga, RUU-PM menjauhkan negara dan pemerintah dalam mencapai tujuan nasional. Keempat, RUU-PM sangat berlawanan dengan konstitusi nasional.

Salah satu indikasi kuat RUU-PM melegalkan praktik buruk in- vestasi adalah di lapangan agraria. Menurut RUU ini, pemerintah akan memberi fasilitas bagi korporasi dengan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 tahun, Hak Pakai (HP) 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus. Hal itu bertentangan dengan UU Pokok Agraria (UUPA) 1960.

RUU ini mencadangkan tanah untuk usaha perkebunan jauh lebih lama dari hukum agraria kolonial Belanda, bandingkan dengan Agrarische Wet 1870, pemerintah kolonial hanya membolehkan pe- makaian tanah selama 75 tahun. RUU ini tak mendorong kemandirian ekonomi rakyat. DPR dan Pemerintah seperti tak yakin petani mampu membangun perkebunan, pertanian, dan perikanan melalui peru-

Usep Setiawan sahaan bersama milik mereka. Inilah ciri utama hukum agraria kolo-

nial yang dihidupkan kembali atas nama investasi, membiarkan petani tanpa tanah, modal, dan teknologi.

Terkesan pemerintah gelap mata terhadap investasi. Daftar perilaku gelap mata terhadap invetasi ini masih dapat diperpanjang seperti: “ketentuan perlakuan sama bagi perusahaan nasional dan asing, kemudahan pengalihan aset, larangan nasionalisasi, dan kemudahan tenaga kerja asing”.

Poin-poin itu menjauhkan peran negara dalam mencapai tujuan kemerdekaan nasional seperti tertuang dalam pembukaan konstitusi.

Trauma Orba

Selama Orde Baru berkuasa, pembangunan ekonomi nasional mengandalkan utang dan investasi. Namun, pengalaman mengajar- kan investasi asing dan utang luar negeri malah semakin menjauh- kan bangsa dari kemandirian. Investasi langsung (FDI) di Indonesia adalah corak investasi yang mengandalkan kedatangan industri yang merelokasi usaha mereka karena kebijakan upah, pajak, dan isu lingkungan di negara asalnya. Tak heran jika FDI yang datang dan bahkan keluar negara kita karena alasan pembanding itu (compara- tive advantage).

Tujuan investasi selama ini pertumbuhan ekonomi. Angka per- tumbuhan secara mudah dapat diukur dengan melihat peningkatan PDB nasional. Secara statistik, investasi yang meningkat pada sektor riil (FDI) akan meningkatkan PDB sebuah negara. Meskipun secara praktik, total peningkatan PDB ini hanyalah hasil produksi dari beberapa gelintir perusahaan asing atau nasional semata. Padahal, operasi perusahaan ini bersandarkan pada upah buruh murah (yang disubsidi pertanian) dan menghancurkan industri rakyat. Ekonom liberal percaya terpusatnya produksi nasional pada beberapa peru- sahaan bukan hal yang mengkhawatirkan, sebab dengan mekanisme alamiah trickle down effect, keuntungan pengusaha besar akan menetes ke bawah.

Kembali ke Agraria Kenyataannya, teori itu tak terbukti. Keuntungan perusahaan

tersebut tak pernah ditabung dalam bank-bank nasional, melainkan ditransfer ke negara asal. Sementara keuntungan pengusaha lewat pasar saham dan pasar uang juga demikian. Liberalisasi memudah- kan pelarian modal dari dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi selalu disertai korban di desa dan kota, di lapangan industri rakyat maupun pertanian.

Sementara, pembaruan atau reforma agraria bermaksud untuk merestrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber- sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah sesuai UUPA 1960.

Politik investasi

Sudah lama perusahaan-perusahaan besar mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia, seperti kuasa pertambangan perusahaan asing yang mengabaikan semangat konstitusi (Pasal 33). Sebagai negara merdeka dan berdaulat, amanat konstitusi itu mesti dijalan- kan. Perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dinasionalisasi. Nasionalisasi berarti orientasi produksi dan keuntungan dari perusahaan dipergunakan sebagai modal nasional untuk melakukan pembangunan nasional yang lebih terencana dan berorientasi ke rakyat banyak. Dengan demikian, nasionalisasi juga berarti kepemilikannya ada pada negara.

Pemerintah mesti membangun politik investasi yang memihak rakyat. Politik investasi adalah mengarahkan modal untuk berpro- duksi dan membangun kekuatan atas sumber-sumber ekonomi nasional baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan pihak luar hanya ditujukan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama ini, politik investasi berupa liberalisasi investasi keuangan dan investasi langsung terbukti membawa dampak buruk secara nasional.

Ke depan, politik investasi, khususnya di lapangan agraria mesti- lah mencakup pengaturan yang jelas sektor-sektor investasi langsung

Usep Setiawan yang boleh dimasuki sektor privat nasional dan asing, serta sektor

investasi yang dilarang dikuasai dan dimasuki privat sesuai menga- cu konstitusi. Kepentingan industri kecil dan menengah, koperasi dan industri rakyat lainnya juga harus dikembangkan ketimbang memperkuat pengusaha besar, apalagi investasi asing. Modal nasio- nal diperkuat guna membangun perekonomian nasional yang kokoh. Investasi pemakan tanah luas bagi usaha skala besar harus dihenti- kan. Tanah yang ada haruslah diperuntukkan bagi petani disertai pembentukan badan usaha milik petani atau badan usaha milik desa (koperasi) sebagai bagian program pembaruan agraria.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Iwan Nurdin)

Kompas, 10 April 2007