Meruyaknya Tanah Meruya

Meruyaknya Tanah Meruya

B teracam penggusuran. Jarang-jarang kasus sengketa tanah menyita

ARU pertama kali dalam sejarah, seorang gubernur yang dikenal “tangan-besi” siap pasang badan membela rakyatnya yang

perhatian lembaga setingkat Komisi Yudisial bahkan DPR RI. Kasus sengketa tanah antara ribuan warga Meruya Selatan, Jakarta Barat dengan PT Portanigra sontak menghiasi media massa beberapa pekan ini. Meruyaknya kasus Meruya berawal dari kepu- tusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan ekse- kusi PT Portanigra, yang mengklaim lahan 78 hektare di kawasan tersebut sebagai miliknya. Padahal sebagian besar lahan disana su- dah puluhan tahun dihuni warga.

Dilaporkan Sinar Harapan (12/05/07) keputusan eksekusi meru- juk permintaan PT Portanigra dalam sengketa melawan H Juhri bin Haji Geni, Muhammad Yatim Tugono dan Yahya bin Haji Geni. PN Jakarta Barat mengabulkan permohonan eksekusi PT Portanigra (9 April 2007) berdasarkan putusan PN Jakarta Barat (24 April 1997) No.364/PDT/G/1996/PN.JKT.BAR jo Putusan PT DKI Jakarta (29 Oktober 1997) No.598/PDT/1997/PT.DKI dan jo Putusan MA (26 Juni 2001) No:2863 K/Pdt/1999.

Pemilik tanah yang terancam eksekusi sebanyak 5.563 keluarga atau sekitar 21.760 jiwa. Meliputi warga di perumahan karyawan Wa- li Kota Jakarta Barat, Kompleks Perumahan DPR 3, Perumahan Mawar, Meruya Residence, kompleks Perumahan DPA, Perkaplingan BRI,

Usep Setiawan kompleks Perkaplingan DKI, Green Villa, PT Intercon Taman Kebon

Jeruk dan Perumahan Unilever. Bisa dibayangkan gelepar keresahan ribuan warga Meruya mendapati keputusan ini. Tak heran jika warga kini berancang-ancang melakukan perlawanan hukum maupun tarung secara fisik di lapangan. Mirip situasi darurat Negara, Meruya kini Siaga-1.

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari meruyaknya kasus tanah Meruya? Pertama, kasus Meruya menunjukan masih kusutnya admi- nistrasi pertanahan kita. Kepastian dan perlindungan pemilikan hak atas tanah masyarakat ternyata masih rentan dimentahkan oleh pro- ses hukum yang bergulir di meja hijau. Tak pelak, BPN mendapat sorotan karena diduga menerbitkan sertifikat di atas tanah yang se- dang diperkarakan secara hukum di pengadilan. Sorotan ini tentu harus diklarifikasi oleh pejabat BPN Jakarta.

Kedua, kuatnya sinyalemen adanya permainan di balik putusan pengadilan juga sulit ditutupi. Dugaan adanya kong-kalikong antara pihak penggugat dengan majelis hakim yang memutus perkara ini menebarkan aroma menyengat. Tak heran jika dugaan ini menarik perhatian khusus Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi hakim. Ketua KY bahkan berniat memanggil hakim yang memutus perkara Meruya. Benar tidaknya sinyalemen ini menjadi catatan tersendiri yang harus dibuktikan.

Ketiga, tampilnya back-up politis terhadap warga dari pejabat pe- merintah dan parlemen mengisyaratkan persoalan tanah begitu lekat dengan urusan politik. Kesediaan Gubernur Sutiyoso untuk pasang badan membela warga memberi arti kuasa politik tak selalu seiring dengan putusan hukum formal. Penyelesaian kasus sengketa tanah mendapat bobot politik berbeda ketika pejabat pemerintah mau ber- sikap jujur dan setia pada fakta di lapangan. Ancaman penggusuran yang dihadapi rakyat ternyata dengan mudah ditepis ketika ada pejabat bersedia memasangkan badannya membela warga.

Dari kasus Meruya kita memimpikan tampilnya para pemimpin pemerintahan yang sudi berjuang bersama rakyat dalam memper- tahankan haknya. Lebih jauh, kita merindukan para pemimpin bangsa

Kembali ke Agraria yang berkeringat bersama rakyat “merebut” hak atas tanah sebagai bagian

dari hak asasi warga Negara. Seorang karib berseloroh: mungkinkah gubernur pasang badan bagi pedagang kaki lima dan kaum miskin kota yang kerap dikejar Satpol PP atau Tramtib, saat gubuknya dirobohkan dan tanahnya digusur karena si miskin tak kuat “beli” sertifikat?

Untuk penyelesaian kasus Meruya, mestinya dicoba dikedepankan musyawarah antara warga dan perusahaan yang sama-sama mengang- gap punya bukti kekuatan hukum atas pemilikan tanah di Meruya.

Mungkin ide ini dinilai sebagian pihak terlambat mengingat pro- ses hukum sudah mengalir jauh. Tapi, dalam musyawarah kemung- kinan diraihnya solusi yang memenangkan semua pihak lebih besar.

Jika musyawarah tak lagi mungkin, atau gagal mencapai mufakat, sebaiknya MA meninjau kembali keputusannya. MA dapat menda- sarkan diri pada temuan-temuan baru yang menyediakan dasar for- mal bagi penundaan atau bahkan pembatalan eksekusi atas tanah Meruya. Upaya hukum lebih lanjut yang ditempuh warga tergugat tentu juga merupakan pilihan sah yang patut dicoba.

Untuk solusi jangka panjang—yang mencakup penanganan selu- ruh kasus konflik/sengketa pertanahan (agraria) di Tanah Air—pen- ting kiranya dilakukan pembenahan sistem administrasi pertanahan sehingga mampu menutup celah mal-administrasi. Agenda ini seyog- yanya menjadi bagian penting dari program pembaruan (reforma) agraria nasional yang sedang akan dijalankan pemerintah. Sekalipun terkesan sekedar soal teknis administratif, perihal ketertiban dan akuntabilitas serta kredibilitas sistem administrasi pertanahan pada gilirannya turut menentukan sukses atau gagalnya reforma agraria. Data-base dan sistem informasi pertanahan harus diperkuat untuk mengakomodir kepentingan masyarakat.

Pemerintah wajib memberikan kepastian hukum serta perlindungan optimal atas pemilikan tanah masyarakat sehingga tidak mudah didelegitimasi oleh proses hukum yang seringkali serba gulita dan penuh tanda tanya. Dari meruyaknya tanah Meruya, semoga bangsa ini masih bisa merayakan pekik “Merdeka”! ***