Mengidamkan Reforma Agraria

Mengidamkan Reforma Agraria

ENIN (26/9/05) Kota Bandung didatangi ratusan petani yang bermaksud memperingati Hari Agraria atau Hari Tani Nasional

2005. Selain di Bandung, peringatan hari tani digelar di banyak tempat dalam berbagai cara.

Secara umum, peringatan Hari Agraria 2005 bermuara pada tuntutan pelaksanaan reforma (pembaruan) agraria, penyelesaian konflik agraria, dan penghentian kekerasan terhadap rakyat —kaum tani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan kaum miskin kota.

Di penghujung 1998, Deklarasi Pembaruan Agraria KPA menggariskan bahwa: “Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria yang berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, perun- tukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai prakondisi dari pembangunan”. Pembaruan agraria dipercayai pula sebagai proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial ma- syarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga tercipta dasar pertanian yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan atas tanah bagi rakyat sebagai sumberdaya kehidupan mereka, sistem kesejah- teraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta penggu- naan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Terdapat empat hal mendasar agraria yang menurut hemat penulis sungguh harus memperoleh jalan keluar. Pertama, soal penguasaan tanah dan kekayaan alam yang didasari pada sekto-

Kembali ke Agraria ralisme hukum di bidang agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.

Selama ini sektoralisme hukum tersebut yang diperkokoh dengan politik otoritarian telah menghasilkan sejumlah tindak kekerasan dan praktik dominasi penguasaan dan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang meminggirkan posisi dan hak-hak rakyat.

Kedua , persoalan penurunan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat akibat eksploitasi yang berlebihan dan tidak terkendali harus mendapat perhatian serius. Kerusakan lingkungan telah men- ciptakan kemiskinan karena hilangnya sumber penghidupan masyarakat yang tergantung pada tanah dan kekayaan alam. Keru- sakan lingkungan juga memicu maraknya bencana alam yang banyak menimbulkan korban harta maupun jiwa. Ketiga, soal ketimpangan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya. Selama ini izin dan hak untuk eksploitasi hutan, barang tambang, perkebunan besar, pertambakan raksasa, perumahan, fasi- litas wisata dan hiburan, termasuk lapangan golf telah menciptakan munculnya tuan-tuan tanah baru. Di sisi lain, hingga saat ini rata- rata penguasaan tanah oleh petani tidak lebih dari 0,8 hektare per rumah tangga petani.

Keempat , soal sengketa tanah dan konflik agraria. Baik akibat proses penggusuran yang dilakukan dengan kompensasi amat ren- dah, maupun akibat munculnya dampak lingkungan yang menyeng- sarakan masyarakat setempat setelah eksploitasi berlangsung. Sejak 1970 hingga 2001, berdasarkan data-base KPA, ada 1.753 kasus sengketa tanah struktural. Kasus kekerasan yang dilakukan aparat terhadap petani di Lombok Tengah NTB tanggal 18 September lalu jadi contoh terbaru.

Inilah soal-soal mendasar yang memerlukan arahan politik peme- rintah sekarang untuk menyelesaikannya. Kita mengidamkan pemerintah yang mewujudkan reforma agraria.

Hambatan

Inti reforma agraria ialah landreform dalam pengertian redistribusi

Usep Setiawan pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian, program

redistribusi tanah harus diikuti dengan dukungan modal produksi (kredit usaha) di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barang- barang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan di dalam sistem pemasaran dan perdagangan hasil pertanian, penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk membantu para petani memecah- kan masalah teknis yang dihadapinya, dan program lainnya yang menunjang.

Untuk melaksanakan reforma agraria, pimpinan nasional perlu memahami hambatan-hambatan yang masih menghadang. Pertama, hambatan psikologis/politis karena masih banyak orang yang enggan atau takut untuk mempelajari, membahas dan membicarakan masalah agraria karena selama pemerintahan masa lalu ditanamkan persepsi bahwa membicarakan masalah agraria sama dengan “PKI”. Kedua, hambatan di bidang hukum agraria meliputi kelemahan sub- stansi hukum yang masih belum dikaji, aparat hukumnya yang perlu dibenahi karena pemahaman mengenai reforma agraria masih tidak utuh (parsial), dan pelaksanaan hukumnya masih lemah sehingga akan menyulitkan pelaksanaan reforma agraria.

Ketiga, hambatan ilmiah terjadi karena pemahaman semua la- pisan masyarakat baik awam, menengah maupun elite, termasuk para akademisi di lingkungan perguruan tinggi, mengenai masalah agraria masih sangat kurang. Keempat, hambatan historis karena kesenjangan pemahaman kesejarahan/historis yang dimiliki masya- rakat terutama generasi muda mengenai masalah keagrariaan yang disebabkan oleh penghapusan pelajaran-pelajaran mengenai keag- rariaan di sekolah, termasuk perguruan tinggi, dan sebagai akibat dari hambatan politis-psikologis tadi. Kelima, hambatan peraturan perundangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan. Kaji ulang peraturan tak dilakukan komprehensif. Orientasi pem- bangunan masih pada pertumbuhan ekonomi dan memihak pasar bebas. Sektoralisme departemen dan badan pemerintah, serta jauh dari reforma agraria, lemahnya kapasitas dan kapabilitas pemerintah.

Kembali ke Agraria Otonomi daerah yang belum mantap serta tiada institusi yang menya-

tukan visi. Terdapat sejumlah prasyarat pelaksanaan reforma agraria (Russell King, 1977). Pertama, kemauan politik atau komitmen politik. Kemauan politik tak berhenti pada pernyataan di atas kertas seperti halnya pada undang-undang, tapi diwujudkan dalam tindakan nyata sehingga seluruh dana dan daya dikerahkan untuk melaksanakan reforma agraria. Kedua, data keagrariaan yang lengkap dan akurat diperlukan untuk memastikan objek-objek dan subjek reforma agraria dapat diketahui secara tepat. Jenis dan luas objeknya dapat ditentukan dengan pasti, serta kategori dan jumlah subjek penerima manfaat dapat diketahui.

Ketiga , organisasi tani yang kuat harus ada. Melalui organisasi yang kuat kesadaran, militansi, tertib organisasi, dan solidaritas, serta kepemimpinan yang bertanggung jawabnyalah petani dapat mem- punyai posisi tawar kuat untuk menghadapi hal-hal yang merugikan mereka. Keempat, elite politik dan elite bisnis harus terpisah. Jika seseo- rang jadi birokrat maka jangan sekaligus jadi pengusaha. Sebaliknya jika seseorang jadi pengusaha, maka dia harus meninggalkan jabatan birokratnya. Ini untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kelima, dukungan dari angkatan bersenjata dan kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Berdasarkan pengalaman berbagai negara, reforma agraria yang berhasil adalah yang mendapat dukungan dari angkatan bersenjata dalam bentuk penegakan hukum yang melin- dungi rakyat. Ini mensyaratkan angkatan bersenjata dan kepolisian pro-rakyat.

Apakah kelima prasyarat di atas sudah tersedia? Adalah tugas kita bersama untuk mengupayakan agar semua prasyarat tersebut segera tercipta. Bagaimana pun, pemenuhan hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya senantiasa diidamkan anak bang- sa. Selamat Hari Agraria 2005. Bangkitlah kaum tani Indonesia!***