Indonesia (Raya) Baru

Indonesia (Raya) Baru

AUH sebelum orang ramai membincangkan keaslian lagu kebangsaan Indonesia Raya, Gunawan Wiradi –seorang pakar se-

nior politik agraria, dalam Jurnal Analisis Sosial (Vol.9, No.1, April 2004), dan dalam buku “Reforma Agraria Untuk Pemula” (2005) telah menguraikan bahwa Indonesia Raya itu memang ada tiga stanza.

Bahkan, Wiradi sebagai anak bangsa berusia 75 tahun memberi kesaksian sejarah yang dialami di masa lampau. Bagi generasi muda, selain berkhidmat, pentingnya kiranya mengail hikmah dari Indone- sia Raya versi lengkap. Sejarah yang objektif adalah obor penerang dan pemandu arah dalam membela Indonesia Raya lintas generasi. Menurut Wiradi, generasi tua banyak yang tahu bahwa Indonesia Raya itu tiga stanza. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar jaman kolonial, sebelum pendudukan Jepang, generasi tua sudah menyanyikan ketiga stanza itu.

Untuk mengetahui kenyataan sejarah, sebaiknya kita menengok Museum Surakarta (Solo), karena di sana tersimpan piringan hitam rekaman lagu Indonesia Raya tahun 1944. Ada juga arsip media cetak terbitan jauh sebelum Jepang datang. Menurut Radar Banyumas (5 Agustus 2007), lagu Indonesia Raya dengan tiga stanza itu dimuat Koran “Soeloeh Rakyat” terbitan 17 Oktober 1928, dan “Sin Po”, 27 Oktober 1928.

Wiradi menguraikan, secara resmi PP No.44/1958 memang me- netapkan bahwa jika dinyanyikan dengan musik, yang dinyanyikan hanya satu stanza, dan jika tanpa musik boleh dinyanyikan satu atau

Usep Setiawan tiga. Memang ada perubahan kata dalam tahun 1944 dan mungkin

juga tahun 1958. Bahkan “noot” lagunya pun ada perubahan walau- pun tak terasa (karena hanya perbedaan amat kecil), sehingga sedikit berbeda dari yang pernah dinyanyikan sewaktu SD jaman kolonial.

Namun semuanya itu tidak mengubah semangat dan jiwa aslinya. Penetapan resmi tersebut di atas tak mengubah kenyataan— bahkan justru mencerminkan pengakuan—bahwa Indonesia Raya itu sejak awal (1928) memang terdiri dari tiga stanza. Ditegaskan Wiradi, bahwa ini bukan hasil propaganda Jepang ! Yang menduga itu dibi- kin Jepang, mungkin belum menelusuri bahan sejarah secara teliti, atau mungkin bertujuan lain.

Mengapa ketiga stanza Indonesia Raya perlu dikenali ? Karena ketiganya merupakan suatu rangkaian utuh yang mengandung mak- na tak terpisah. Bahkan, ketiga stanza Indonesia Raya menunjukkan arah dan tujuan berdirinya Negara ini.

Jika stanza pertama baru berisi seruan untuk bersatu dan bangun, sedangkan stanza kedua berisi landasan moral dengan lirik “Marilah kita mendo’a, Indonesia bahagia. Sadarlah hatinya, sadarlah budinya…” dan seterusnya, maka stanza ketiga merupakan janji kongkrit untuk melakukan langkah nyata berupa reforma agraria. Ini juga cermin hati dan budi kita telah sadar bahwa NKRI perlu kita jaga agar abadi.

Stanza ketiga isinya teramat penting, selengkapnya berbunyi: “Indonesia tanah yang suci/ tanah kita yang sakti. Di sanalah aku berdiri/ menjaga Ibu Sejati. Indonesia tanah berseri/ tanah yang aku sayangi. Marilah kita berjanji/ Indonesia abadi. Selamatlah rakyatnya/ selamatlah puteranya/ pulaunya/ lautnya/ semuanya. Majulah negerinya/ majulah pandunya/ untuk Indonesia Raya”.

Di dalam “pulau” itu tentu ada tanah, air, barang tambang, hutan dan kekayaan alam lainnya. Di “laut” juga tak kalah melimpah ruah kekayaan alam kita. Karena itulah, lirik pada stanza ketiga ini dapat ditafsirkan sebagai “amanat agraria”. Sebagai bangsa merdeka, kita

Kembali ke Agraria wajib menyelamatkan lingkungan alam dan sumber-sumber agraria

demi keselamatan rakyat dan “putera”-nya, yang berarti menyela- matkan generasi mendatang.

Setelah imperialisme asing lama hengkang, kini kita harus mewaspadai neo-imperialisme di bumi Indonesia. Salah satu cara efektif mencegah penjajahan baru adalah dengan menjalankan reforma agraria sejati.

Ketidakpahaman anak muda tentang Indonesia Raya versi lengkap bukan salah mereka. Pelajaran sejarah di sekolah-sekolahlah yang paling bertanggungjawab, sehingga patut ditinjau ulang dan disesuaikan dengan realitas sejarah yang sejujurnya. Ada baiknya kenyataan sejarah ini kembali dibuka, diakui dan diajarkan di seko- lah-sekolah dasar agar generasi muda paham hal-hal krusial yang melandasi keberdirian bangsa dan negaranya.

Polemik Indonesia Raya ini barangkali menjadi “hadiah” bagi Indo- nesia yang kini telah berusia 62 tahun. Hadiah ini hendaknya mendorong kita mengail hikmah untuk meluruskan sejarah guna kelurusan masa depan bangsa. Kabut yang menyelimuti misteri Indonesia Raya menambah panjang daftar kabut sejarah yang sering ditemui dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Seperti peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 sampai sekarang tetap kontroversial. Siapa dalang sesungguhnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Semua masih gelap gulita!

Cerita “G30S” belum tuntas, muncul teka-teki “Supersemar”. Di era reformasi pun tak jauh beda: ada kabut tragedi “Trisaksi”, “Se- manggi”, juga “Pembunuhan Munir”, dst. Seperti kisah novel fiksi yang tragis, sejarah bangsa kita seolah bisa ditulis dengan sejuta versi tanpa ada yang bisa memastikan mana yang asli/benar.

Kebenaran sejarah pun tak pelak dipertaruhkan objektivitasnya. Padahal, bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Agar mampu menghargai sejarah, tentu bangsa ini harus jujur pada sejarahnya sendiri. ***