Kelembagaan Penuntas Konflik Agraria

Kelembagaan Penuntas Konflik Agraria

AMPAI saat ini belum jelas ujung penyelesaian konflik agraria di Alas Tlogo Pasuruan, Jawa Timur, (30/5/7) yang menewaskan

empat warga sipil dan melukai tujuh lainnya. Belajar dari kasus- kasus konflik agraria yang melibatkan militer sebelumnya, penye- lesaiannya diserahkan ke pengadilan militer yang tertutup dan penuh teka-teki.

Tampaknya hal ini akan terulang dalam penanganan kasus Pasu- ruan, padahal kita mengidealkan tindak kekerasan aparat negara terhadap warga negara dibawa ke pengadilan HAM atau ke peradilan umum. Di sisi lain, sengketa tanah yang memicu kekerasan terhadap warga juga belum jelas penyelesaiannya. Pihak TNI dalam dialog bersama 11 kepala desa yang difasilitasi oleh Pemda Pasuruan sempat menawarkan relokasi warga, tetapi masyarakat tidak menerima. TNI ngotot dengan tawarannya sedangkan masyarakat tetap kukuh meng- inginkan tanahnya utuh dikembalikan.

Jika diurut sebab kekusutan persoalan agraria kita, salah satunya karena tidak terdapat instrumen mekanisme dan kelembagaan penye- lesaian konflik agraria. Dulu, di masa Soekarno kita punya pengadilan landreform, tetapi dihapuskan di masa Soeharto tahun 1970. Sejak saat itu, seluruh konflik agraria dilarikan ke peradilan umum. Pera- dilan umum tak bisa menyelesaikannya, bukan hanya karena kewe- nangan dan kecakapan hakim, tetapi karakter konflik agraria kita yang berubah seiring dengan tidak dijalankannya reforma agraria

Usep Setiawan selama 30 tahun lebih.

Konflik agraria adalah konflik struktural, yakni yang timbul karena kebijakan pemerintah. Yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pemodal besar, dan/atau rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Umumnya konflik agraria bera- wal dari proses “negaraisasi” tanah-tanah yang sudah lama dikuasai dan didiami rakyat. Atas nama hak menguasai dari negara, peme- rintah kemudian memberikan alas klaim atau hak pemanfaatan baru bagi badan-badan usaha swasta atau pemerintah. Jadi, konflik agraria ini warisan dari kebijakan masa lalu, yang belum kunjung ditangani serius oleh pemerintah produk reformasi.

Kekerasan dan intimidasi

Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara- cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan yang bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi warga, dsb. Sedang pola penaklukannya sering dilakukan delegitimasi hak rakyat, penetapan ganti rugi sepihak, manipulasi kehendak rakyat, dicap PKI atau anti pembangunan, dsb.

Memahami karakter konflik agraria di atas, maka proses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik agraria (termasuk sengketa tanah) tidak pernah bisa mampu menyelesai- kannya secara tuntas. Proses yang ada menempatkan rasa kemanu- siaan dan keadilan sosial rakyat korban konflik/sengketa masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, kini tengah dibutuhkan mekanisme dan kelembagaan baru yang khusus menangani dan menyelesaikan seluruh konflik agraria di masa lalu sekaligus mengantisipasi konflik di masa depan. Rencana dimulainya pelaksanaan reforma agraria tahun 2007 ini jelas membutuhkan kelembagaan khusus untuk me- nangani konflik yang dimungkinkan muncul akibat dijalankannya reform.

Perspektif baru yang penting dijadikan dasar penyelesaian

Kembali ke Agraria konflik agraria adalah bagaimana hukum mampu menjawab dan

memenuhi kebutuhan akan keadilan substantif bagi rakyat yang selama ini menjadi korban konflik agraria. Pendekatan pembuktian legal-formal atas pemilikan tanah yang dipersengketakan terbukti gagal menghadirkan keadilan bagi korban. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini harus didahulukan? Karena proses perampasan dan penggusuran tanah-tanah rakyat untuk berbagai kepentingan pengu- saha maupun penguasa pada umumnya menempatkan pihak rakyat sebagai korban yang nyaris tanpa perlindungan. Tindakan kekerasan aparat seperti di Alas Tlogo, Pasuruan, bukanlah insiden tunggal, melainkan konsekwensi logis dari diterapkannya politik dan kebi- jakan agraria masa lalu yang kapitalistik dan otoriter—condong mem- bela ekonomi—politik kuat.

Dalam persprektif keadilan bagi korban, walaupun pemilikan tanah oleh TNI AL di Pasuruan secara legal-formal dianggap sah karena ada alas hak yang bernama Hak Pakai sebagaimana diatur UUPA No.5/1960, tapi yang perlu dicermati serius adalah proses lahirnya hak tersebut dan dampak sosial-ekonominya bagi warga sekitar. Dari catatan kronologis kasus Pasuruan diperoleh bukti ada- nya represi yang dilakukan aparat kepada warga dan indikasi penyimpangan prosedur penerbitan hak atas tanahnya.

Negara tidaklah memiliki

Faktanya, dalam banyak kasus sengketa tanah struktural sejak Orde Baru konsep hak menguasai dari negara atas tanah dan sumber agraria lainnya telah secara salah dimaknai dan dipraktikkan selaik- nya asas domeinverklaring yang menempatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara seolah-olah pemilik tanah. Konsepsi barat ini telah dikubur UUPA No.5/1960, kemudian diteguhkan bahwa bang- sa Indonesialah pemilik tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Perlu diingatkan, bahwa negara tidaklah “memiliki” tanah melainkan “menguasai” tanah untuk kemakmuran rakyat. Konsep memiliki dan menguasai jelas beda. Penguasaan negara pun telah

Usep Setiawan diberi rambu-rambu yang tegas. Pasal 2 (3) UUPA menggariskan:

“Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara ter- sebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar- besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur”. Inilah keadilan substantif politik agraria yang diamanatkan para pendiri republik. Oleh karena itu, ketika kita mendorong lahirnya mekanisme dan kelembagaan khusus untuk menyelesaikan konflik agraria, sebenarnya ini meru- pakan bagian dari usaha mengembalikan posisi negara ke dalam konteks pelayan kepentingan rakyat.

Beberapa hal strategis yang harus bisa dicapai kelembagaan penyelesaian konflik agraria ini meliputi: (1) memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas pada masa lalu, (2) menguat- kan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah, (3) memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan (4) memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk untuk mendekontruksi sistem hukum yang tidak meme- nuhi rasa keadilan rakyat (lihat: Kertas Posisi KPA No.10/2001).

Konflik agraria yang menelan banyak korban di pihak rakyat, hendaknya membuka mata hati dan pikiran semua pihak yang ber- wenang untuk menyelesaikannya secara tuntas. Karena instrumen hukum yang ada terbukti tidak lagi memadai, maka pembentukan lembaga Negara yang khusus bertugas menangani dan menuntaskan konflik agraria menemukan relevansi dan urgensinya.

Kita ditantang untuk membuka kemungkinan pembentukan Peradilan Agraria dan/atau Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria guna memenuhi keadilan sosial sekaligus membe- rikan kepastian hukum yang mensejahterakan bangsa.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Idham Arsyad)