Problem Paradigmatis Perpres 36/2005

Problem Paradigmatis Perpres 36/2005

RTIKEL Prof. Budiman Rusli bertajuk “Peraturan Presiden Nomor 36/2005 Menggusur Rakyat?” (Pikiran Rakyat, 16/7/

05) menarik dicermati. Argumen akademis nan jernih Prof. Budiman seputar Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum terasa lancar dikunyah nalar.

Di hujung karyanya, Prof. Budiman menyimpulkan, “Tampak- nya Perpres 36/2005 jika diberlakukan dengan proses yang baik, melalui sosialisasi yang cukup dan pendekatan yang dilakukan ada- lah pendekatan manusiawi bukan pendekatan kekerasan, serta ada jaminan ganti rugi yang mengedepankan rasa keadilan, maka masih ada peluang Perpres 36/2005 ini bukan sebagai kebijakan menggusur rakyat kecil”.

Pembaca dapat berkesan bahwa jika perpres ini dijalankan dengan baik, tidak akan ada penggusuran tanah rakyat. Kesan ini menekankan aspek “implementasi” ketimbang “substansi” dan “konteks” kebijakan tersebut. Dari buah pikiran Prof. Budiman, saya bertanya. Pertama, seberapa besar peluang tidak terjadinya penggusuran akibat implementasi Perpres 36/2005? Kedua, sejauh mana paradigma politik agraria sebagai konteks lahirnya perpres ini dipertimbangkan?

Peluang menggusur

Sampai saat ini, pemerintah tetap bertekad untuk menjalankan

Kembali ke Agraria Perpres 36/2005 guna mempercepat pembangunan infrastruktur

untuk kepentingan umum. Apabila ditelusuri kronologis pener- bitannya, “kepentingan umum” dalam perpres ini kental dengan kepentingan investor yang ikut infrastructure summit (Januari 2005). Konteks ini telah menggeser makna kepentingan umum dari Keppres 55/1993 yang digantikan oleh Perpres 36/2005.

Menurut Keppres 55/1993, kepentingan umum ialah “kepen- tingan seluruh masyarakat” yang “dilakukan” dan selanjutnya “dimiliki” oleh pemerintah serta “tidak digunakan untuk mencari keuntungan (profit)”. Sedangkan Perpres 36/2005 memaknai kepen- tingan umum sebagai “kepentingan sebagian besar masyarakat”. Titik.

Tak jelas kriteria kepentingan umum tersebut. Penambahan objek, dari 14 (Keppres) menjadi 21 (Perpres) tak menjawab batasan kepentingan umum. Kaburnya definisi ini bisa dimanfaatkan kepen- tingan bisnis/swasta. Jaminan bahwa Perpres 36/2005 tak akan menggusur rakyat amat layak kita ragukan mengingat budaya birokrasi dan aparaturnya yang mayoritas masih bermental “raja” ketimbang “pelayan”. Benih otoritarianisme dan represivitas yang dikandung perpres ini akan menjadi senjata para birokrat dan aparat pemain “projek pembangunan kepentingan umum”.

Walaupun Gubernur Jabar telah menepis anggapan bahwa Perpres 36/2005 bakal mempertajam konflik agraria dan bahkan merampas hak rakyat atas tanah mereka, kita tetap layak sangsi. “Pemerintah tidak akan gegabah dan begitu saja melakukan pem- bebasan lahan yang dihuni masyarakat, tanpa didahului publikasi luas rencana tata ruang wilayah. Selain itu, juga bakal melakukan sosialisasi dini penjabaran sarana pelayanan publik (kepentingan umum), sebagaimana didefinisikan dalam Perpres 36/2005,” (Pikiran Rakyat, 16/7/05).

Mengacu Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005 (29/7/05), repre- sivitas perpres ini ditemukan pada berbagai segi. Pertama, penga- turan ganti rugi. Mestinya tak hanya menilai materiil, tetapi immateriil.

Usep Setiawan Perpres ini hanya mengatur ganti rugi atas nilai tanah. Tak disebutkan

ganti rugi tanam tumbuh di atasnya atau nilai bangunan. Tak ada ketentuan pemberian ganti rugi menjamin kehidupan rakyat yang kehilangan haknya jadi lebih baik.

Kedua, proses pengadaan tanah. Jangka waktu 90 hari untuk musyawarah yang diatur perpres ini tak memungkinkan pemegang hak atas tanah untuk menentukan pilihan-pilihan lain, kecuali dipaksa menerima ganti rugi yang ditetapkan. Setelah waktu nego- siasi terlewati, pemerintah (presiden) bisa mencabut hak atas tanah itu.

Ketiga, panitia pengadaan tanah. Yang dimaksud panitia ini hanya mewakili pemerintah. Panitia pengadaan tanah ini dipastikan tak akan netral dan objektif dalam bernegosiasi dan membebaskan lahan. Tak ada jaminan bahwa oknum dalam panitia pengadaan tanah ini bermain mata dengan investor yang menyediakan modal untuk pembebasan lahan.

Keempat, pencabutan hak atas tanah. Posisi rakyat makin dile- mahkan dengan perpres ini. Perpres ini menjadi alat paksa peme- rintah untuk mencabut hak atas tanah rakyat yang dianggap meng- hambat pembangunan kepentingan umum. Sebaliknya, rakyat tak memperoleh perlindungan hukum untuk mempertahankan tanah miliknya lewat jalur hukum yang adil.

Soal paradigma

Pada Infrastructure Summit 2005, pemerintah berjanji untuk menge- luarkan 14 peraturan dan ketentuan pendukung investasi. Janji ini ditebar guna meyakinkan mitra bisnis dari luar negeri yang akan berinvestasi di Indonesia. Perpres 36/2005 menjadi pembuka jalan bagi projek-projek pembangunan bermodal besar.

Menko Perekonomian mengungkapkan, kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp 1.305 triliun. Sejumlah Rp 810 triliun akan dicari dari pengusaha swasta domestik dan luar negeri. Untuk tahap pertama pemerintah menawarkan 91 projek seni-

Kembali ke Agraria lai Rp 202,5 triliun kepada investor—pernyataan bersama Koalisi

Ornop (9/5/2005). Di balik semua itu, paradigma politik agraria yang menjadi roh Perpres 36/2005 adalah “tanah bagi sebesar-besarnya kemakmuran golongan ekonomi kuat”. Paradigma ini mensyaratkan komoditas tanah, pasar tanah, dan investasi modal besar di lapangan agraria. Pembangunan infrastruktur menjadi pembuka jalan bagi masuknya investasi yang lebih luas. Paradigma ini bersaing dengan ajaran “ta- nah untuk rakyat” yang dicapai melalui reformasi agraria sebagai jawaban kuncinya. Mengikuti rumusan Forum Kajian dan Gerakan Reforma Agraria (Oktober, 2004), reforma agraria diletakkan sebagai dasar dari visi, misi, dan program pemerintahan. Reforma agraria sebagai basis dari revitalisasi pertanian dan pedesaan sekaligus lan- dasan pembangunan nasional.

Pengertian reforma agraria adalah penataan ulang atau restruk- turisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya. Inti dari reforma agraria adalah land- reform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian, landreform perlu didukung oleh program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya. Jadi reformasi agraria adalah landreform plus yang bertujuan menciptakan keadilan sosial, peningkatan pro- duktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Paradigma popu- listik reforma agraria inilah yang terancam oleh paradigma kapi- talistik yang menjadi urat nadi Perpres 36/2005 ini.

Problem paradigmatik perlu dibenturkan pada dinamika sosial- politik yang melingkupinya. Perpres 36/2005 kini dihadapkan pada gelombang besar penolakan dari berbagai penjuru mata angin. Bukan hanya dari kalangan organisasi non-pemerintahan atau LSM, namun petani, kaum miskin kota, pemuda, mahasiswa, akademisi, seniman budayawan, politikus, parlemen, Komnas HAM, agamawan dalam berbagai bentuk dan media. Sebagaimana diberitakan, DPR mere-

Usep Setiawan komendasikan penundaan pelaksanaan dan revisi Perpres 36/2005

dalam dua bulan, terhitung sejak 7 Juni 2005. Rekomendasi DPR di antaranya berintikan kesimpulan, Perpres 36/2005 bersifat diskri- minatif, memberi peluang kesewenang-wenangan, mengabaikan hak asasi, membuka ruang kolusi, dan represif.

Lantas sikap tegas apa yang pantas diambil terhadap Perpres 36/2005? Hemat penulis, Perpres 36/2005 seyogianya dicabut. Untuk sementara bisa kembali ke Keppres 55/1993, sembari menyiapkan RUU khusus untuk itu. Yang penting, segera susun berbagai regulasi untuk memayungi implementasi pembaruan (reforma) agraria. Sikap dan agenda ini bentuk penghargaan atas kecemasan publik sekaligus penangkal konflik sosial akibat sengketa tanah.

Kiranya lebih bermanfaat membangun komitmen bersama untuk melaksanakan reforma agraria demi kemakmuran segenap rakyat, ketimbang mendiamkan atau membenarkan penggusuran tanah rakyat berdalih “pembangunan untuk kepentingan umum”. Wallahu a’lam .***