Menyoal Perhutani

Menyoal Perhutani

Mengacu pernyataan sikap yang ditandatangani Sekjen SPP Agustiana (Mei 2010), sejak didirikan tahun 2000 hingga sekarang, SPP tak pernah melakukan perambahan dan perusakan hutan seba- gaimana yang dituduhkan Kadishut Jabar. SPP justru menganut dan menerapkan konsep pelayanan alam yang dilakukan dengan cara memelihara fungsi optimalisasi lingkungan hidup sebagai peme-

Usep Setiawan nuhan kebutuhan manusia dan ekosistem secara adil, layak, dan

berkelanjutan. Keseimbangan fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi dianut oleh gerakan SPP.

SPP telah melakukan kajian mendalam atas sistem keagrariaan, termasuk kehutanan, yang ada di Jawa Barat (2005). Perencanaan dan penunjukan kawasan hutan tahun 1905 sampai 1933 dasar klaimnya adalah tanah negara yang berbentuk hutan di Jawa Barat telah diklaim Perhutani. Berdasarkan perencanaan tahun 1972, pe- nunjukan atas perencanaan hutan tak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, karena luasan tanah pada waktu itu sangat luas, sedang- kan tingkat kebutuhan dan jumlah penduduk masih sangat sedikit.

Dalam hal fungsi hutan, Perhutani lebih berorientasi pada profit dan jenis tanamannya ialah komoditas yang memiliki keterbatasan masa tebang. Perhutani selama ini tak berhasil menjaga pemulihan fungsi hutan dan menyebabkan masyarakat sekitar jadi tersingkir. Fakta di lapangan menunjukkan, angka kemiskinan di sekitar wilayah Perhutani sangat tinggi. Di sekitar 43.000 desa di Jawa, sekitar 70 persen masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kondisinya miskin.

Selama ini, program kehutanan yang dilakukan, termasuk program pengembangan ekonomi sosial maupun pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang bersifat project oriented, telah menempatkan rakyat tetap pada posisi subordinat yang terpinggir- kan. Perhutani bertanggung jawab terhadap dampak pemiskinan, konflik, dan kerusakan lingkungan di kawasan dan sekitar kawasan hutan Jawa.

Adapun alas hak atas tanah yang selama ini diklaim Perhutani juga tidak kuat. Merujuk UU No 41/1999, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan Perhutani sebagai pemilik tanah kawasan hutan. Klaim Perhutani yang dalam argumentasinya selalu berdasarkan be- rita acara tata batas (BATB) tahun 1929 sebagai dasar klaim dan alas hak (title), seharusnya direvisi minimal 10 tahun sekali. Sampai saat ini, Perhutani belum pernah merevisinya sekali pun.

Yang perlu dievalusi ialah pembenaran legalitas penguasaan

Kembali ke Agraria lahan oleh Perhutani. Seharusnya, pengukuhan kawasan hutan,

sebagaimana diatur ayat (1) UU No 41/1999 tentang Kehutanan, dilakukan melalui tahapan: (a) Penunjukan kawasan hutan; (b) Pena- taan batas kawasan hutan; (c) Pemetaan kawasan hutan; dan (d) Penetapan kawasan hutan. Menurut berbagai sumber, sampai hari ini baru 9 persen yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Juga perlu evaluasi kebutuhan tanah untuk hunian, lahan per- tanian, sarana pembangunan, fasilitas umum, industri, niaga, perkan- toran, dan infrastruktur. Dari sisi struktur dan tata guna tanah, luasan tak sesuai lagi dan harus direvisi. Menurut Badan Pertanahan Nasio- nal (BPN), areal yang diklaim Perhutani 60 persen berbentuk dataran,

40 persen tebing, dan hampir 20 persen ada di wilayah perkotaan dan sarana pertanian yang ditunjang irigasi teknis. Inilah realitas yang ironis.

Klaim Perhutani atas status tanah kawasan hutan selama ini tidak benar. BPN sebagai institusi pertanahan/keagrariaan belum pernah mengeluarkan keputusan mengenai siapa yang paling berhak untuk memiliki/menguasai tanah-tanah kawasan hutan tersebut. Sampai saat ini, status tanah tersebut masih tanah negara, konseku- ensi yuridisnya, setiap warga negara punya hak sama untuk memo- hon tanah tersebut menjadi tanah milik melalui mekanisme yang berlaku.