Soal tanah adat
Soal tanah adat
Dari hasil kajian yang dilakukan YP2AS (1997) terhadap kampung-kampung adat di Pulau Jawa, ditemukan problem pokok yang dihadapi hampir seluruh kampung adat. Yakni berpindah tangannya tanah yang menjadi wilayah adat mereka ke pihak luar. Di Pulau Jawa, sampai hari ini, sejumlah komunitas masyarakat adat yang setia pada aturan masing-masing leluhurnya masih bertahan. Beberapa komunitas masyarakat adat itu, Kasepuhan Banten Kidul, Ciptarasa (Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Naga (Tasikmalaya), Kampung Kuta (Ciamis) dan Baduy (Lebak). Sedangkan di Jateng ada Orang Samin (Sleman, Yogyakarta), dan di Jatim dikenal Orang Tengger (Malang dan Purbalingga) serta Orang Osing (sekitar tapal kuda, Banyuwangi).
Dengan mengambil sampel kasus hilangnya wilayah adat Orang Naga, sebenarnya kita sedang bercermin pada kenyataan yang lebih besar. Bahwa dewasa ini memang tengah terjadi perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia tengah mengalami perubahan. Titik penting yang mendorong terjadinya perubahan itu adalah hilangnya akses dan kontrol masyarakat adat atas sumber-sumber agraria yang secara tradisi mereka kuasai dan kelola secara arif. Di sisi lain, hingga kini, tema masyarakat adat kurang populer di kalangan masyarakat luas.
Meski begitu, perhatian terhadap masyarakat adat di kalangan tertentu perlahan-lahan mulai tumbuh. Terutama dari kalangan orga- nisasi non-pemerintah dan akademisi. Membesarnya perhatian itu terutama didorong oleh karena terjadinya berbagai kasus yang meru- gikan eksistensi masyarakat adat. Berdasarkan hasil studi Konsor- sium Pembaruan Agraria (KPA) pada 1997-1998, tentang hak-hak masyarakat adat atas sumber-sumber agraria, diketahui bahwa kenyataan yang sebenarnya terjadi pada masyarakat adat Indonesia adalah sebuah proses penghancuran yang sistematis. Ini terjadi melalui intervensi berbagai kebijakan pembangunan yang memihak modal besar (kapitalisme) dalam sejumlah proyek pembangunan yang
Usep Setiawan dilancarkan oleh negera ataupun swasta.
Dalam konteks ini, masyarakat adat Kampung Naga dapat dipan- dang sebagai salah satu korban ‘pembangunan’ yang terjadi sejak zaman kolonialisme Belanda. Sementara pemerintah Republik Indo- nesia, seperti diungkapkan tokoh Naga, hanya meneruskan kebijakan agraria yang dibuat para penjajah. Terbukti, tanah/wilayah adat mereka yang pada zaman Belanda dirampas untuk dijadikan perke- bunan hingga kini tidak pernah dikembalikan.
Masalah lain yang dihadapi oleh Orang Kampung Naga adalah keengganan mereka dijadikan objek pariwisata. Hingga kini, peme- rintah masih menempatkan Kampung dan Orang Naga sebagai objek wisata, baik domestik maupun mancanegara. Padahal, mereka tidak senang diperlakukan seperti itu. Jika boleh memilih, Orang Kampung Naga (menurut tokoh adat) lebih memilih dijadikan sebagai cagar budaya, karena masyarakatnya masih mempertahankan adat yang diwariskan para leluhur sekaligus melaksanakan falsafah hidup turun-temurun.
Hal lain yang sering dikeluhkan sejumlah tokoh adat Naga ada- lah hilangnya catatan sejarah Naga yang dikenal dengan ’Piagam Naga’. Konon piagam itu dipinjam pemerintah kolonial Belanda dan tidak dikembalikan hingga hari ini. Orang Naga punya keyakinan bahwa suatu saat, tanah adat mereka akan kembali. Hal ini diisya- ratkan oleh leluhur dalam pesan yang mengandung harapan untuk kembalinya tanah adat Naga. Karuhun berpesan : Jaganing jaga di mana pamarentah geus bener, eta tanah bakal dipulangkeun. Artinya, di akhir kemudian ketika pemerintah sudah benar, maka tanah tersebut akan dikembalikan. Yang menjadi soal, ukuran benar menurut adat dan benar menurut pemerintah itu masih belum bertemu di satu titik yang sama hingga kini.
Catatan akhir
Tidak dapat dipungkiri, perhatian dan energi kalangan yang concern atas pembelaan terhadap masyarakat adat Indonesia selama
Kembali ke Agraria ini terpusat ke komunitas masyarakat adat yang hidup di luar Pulau
Jawa. Misalnya, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lainnya. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa di Pulau Jawa, soal masya- rakat adat (dan petani) yang kehilangan tanahnya tidak kalah banyak. Bahkan bisa lebih kompleks sejarahnya.
Masalah tanah adat Orang Naga sebenarnya merupakan peker- jaan rumah sisa-sisa kolonialisme dulu, di mana kapitalisme dijalan- kan dengan cara paksa dan brutal. Pertanyaannya sekarang, adakah problem pokok yang dihadapi masyarakat adat (termasuk di Pulau Jawa) mempunyai celah penyelesaian? Apakah era reformasi menyi- sakan peluang bagi masyarakat yang ingin mengembalikan kedau- latan atas wilayah adatnya?
Kalau ditinjau dari sisi peluang hukum, sebenarnya cukup tersedia. Yakni telah terbukanya kesempatan bagi komunitas masya- rakat adat untuk ‘kembali’ ke sistem asal-usulnya melalui UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, lahirnya TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelola- an Sumberdaya Alam, khususnya yang menyuratkan prinsip ‘menga- kui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdaya alam’, pasal 4 poin (j).
Kedua dasar hukum di atas potensial untuk digunakan sebagai jembatan menuju pengakuan kedaulatan masyarakat adat atas sumber-sumber agraria, termasuk wilayah adatnya. Kunci keber- hasilannya adalah kerja keras dari masyarakat adat itu sendiri dalam merebut kedaulatannya. Langkah ini didukung dengan kemauan dan komitmen politik negara dalam mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sepenuh-penuhnya. Wallahu alam.***
Republika, 15 April 2003