Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional

Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional

D penggunaan tanah secara masif dan intensif dalam skala luas oleh

UNIA pertanian, agraria, dan lingkungan di dunia kini sedang menghadapi ancaman baru dari praktik penguasaan dan

pihak asing di suatu negara. Ini dilakukan dengan dalih demi pro- duktivitas pertanian untuk ketahanan pangan dunia, yang diistilah- kan dengan land grabbing untuk tujuan food colonialism.

Sambil mengenang Hari Perjuangan Petani Internasional 17 April 2010, penulis menyorot kebijakan mengenai food estate di Indo- nesia dalam kaitannya dengan tantangan baru di atas. Melalui me- dia massa, kita memahami bahwa kontroversi telah mengiringi pelun- curan food estate sebagai kebijakan pembangunan pertanian terbaru yang digencarkan pemerintahan SBY jilid II. Salah satunya, hal ini dipicu terbitnya regulasi baru di bidang pertanian berupa Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Ta- naman, yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

28 Januari 2010. Food estate dinisbatkan sebagai konsep pengembangan produksi pangan terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, dan peter- nakan di suatu kawasan dengan lahan yang luas. Adapun hasil pengembangan food estate yaitu pasokan ketahanan pangan nasional dan untuk ekspor. Beberapa hal yang diatur ialah soal luas lahan, jangka waktu usaha, penggunaan subsidi, ketentuan fasilitas kredit,

Kembali ke Agraria saham maksimum yang bisa dimiliki asing, dan sebagainya.

Konon, ada beberapa keuntungan dari food estate, yaitu, pertama, pemerintah bisa membuka lahan tanaman pa-ngan baru dengan lebih cepat dan meningkatkan produksi tanaman pangan. Kedua, peme- rintah bisa menarik minat investor untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, khususnya di luar Pulau Jawa. Ketiga, bisa menambah pen- dapatan pemerintah dan meningkatkan pendapatan petani di ka- wasan food estate. Keempat, meningkatkan ketahanan pangan di In- donesia (jika pemerintah benar-benar bisa mengontrol distribusi hasil pertanian (Cahyono, 2009).

Menteri Pertanian (Mentan) Suswono menyebutkan, satu per- soalan fundamental yang dihadapi sektor pertanian ialah sempitnya penguasaan lahan oleh petani. Tidak mudah membuat petani sejah- tera dengan kepemilikan lahan yang sempit ini. Salah satu alternatif solusinya, seperti yang dinyatakan Mentan, ialah dengan pengelo- laan lahan telantar seluas 2,2 juta hektare untuk dikelola bidang pertanian.

Adapun food estate di luar Jawa implementasinya melalui du- kungan mekanisasi pertanian, sedangkan di Jawa diintegrasikan dengan program yang sudah berjalan. Ini dapat membuka peluang transmigrasi untuk menambah luas lahan melalui pemanfaatan lahan terlantar. Pengembangan food estate diarahakan untuk memperkuat ketahanan pangan dan ekspor.

Banyak bahayanya

Sejumlah pihak mensinyalir banyaknya bahaya food estate. Serikat Petani Indonesia (SPI), sebuah organisasi gerakan tani di tingkat nasional yang tergabung di La via Campesina, menyesalkan pilihan kebijakan pemerintah mendongkrak produksi dengan food estate. Ne- geri ini makin terbelenggu kapital asing dan liberalisasi akan mengan- cam kedaulatan pangan. Permasalahan utama pertanian ialah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Pemerintah hanya fokus pada kepentingan investor. Food estate akan menarik minat pemodal

Usep Setiawan asing karena akan diberi banyak kemudahan untuk “memiliki” dan

mengelola lahan yang ada di Indonesia. Food estate ini bisa mengarah pada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di food estate. Keuntungan pemerintah dari food estate yaitu membuka peluang kerja, pemasukan pajak meningkat, dan adanya pendapatan nonpajak. Namun, pemerintah kurang memperhatikan bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing, hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan hek- tare “tanah tidur” bisa dikelola petani Indonesia (www.spi.or.id).

Diidentifikasi kerugian food estate yaitu, pertama, potensi lahan yang dimiliki rakyat Indonesia tak bisa maksimal dimiliki dan dikelola penuh oleh petani Indonesia. Kedua, jika peraturan yang dihasilkan pemerintah tentang food estate lebih berpihak pada pemodal daripada petani, kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar akan terjadi juga dalam food estate. Ketiga, jika peraturan memberikan kemu- dahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based and family based agricul- ture menjadi corporate based food and agriculture production, yang mele- mahkan kedaulatan pangan Indonesia. Keempat, jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate, maka para pemodal akan jadi penentu harga pasar karena penentu dijual di dalam negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan bagi pemodal (Cahyono, 2009).

Food estate juga menjadi isu kritis yang memperparah kerusakan ekologis. Deforestasi menampilkan potret kerusakan hutan dan ling- kungan gara-gara legal maupun illegal logging. Keserakahan manusia telah dijawab alam dalam beragam bencana, seperti banjir/longsor di kala musim hujan, serta kekeringan di kala kemarau. Laju kerusa- kan hutan Indonesia seluas 13 lapangan bola per menit, atau setara 3,6 juta hektare hutan setiap tahunnya. Menurut data yang tercatat di Departemen Kehutanan (2003), hutan yang rusak atau tidak dapat

Kembali ke Agraria berfungsi optimal telah mencapai luasan 43 juta hektare dari total

hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektare. Dengan digencarkannya food estate, laju kerusakan hutan dan lingkungan hidup diprediksi akan makin menghebat. Watak usaha pertanian pangan dengan ba- sis modal besar membutuhkan lahan yang sangatlah luas, sehingga mereka lapar tanah.

Lantas, apa kiat jitu mengakhiri kontroversi food estate dan mene- pis ancaman land grabbing serta food colonialism? Tiada lain, peme- rintah harus kembali fokus merealisasikan pembaruan agraria (agrar- ian reform ) menjadi kebijakan yang didahulukan sebagai fondasi pem- bangunan, termasuk pembangunan pertanian guna mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Selamat Hari Per- juangan Petani Sedunia, semoga perjuangan petani terus menguat!***