Reforma Agraria: Tak Bisa Ditawar dan Harus Dijalankan, Tapi Apa Tujuannya?

Reforma Agraria: Tak Bisa Ditawar dan Harus Dijalankan, Tapi Apa Tujuannya?

Ada satu tulisan yang sangat mengusik perhatian saya dalam buku ini, apalagi tulisan itu ditempatkan sebagai tulisan pembuka (tulisan pertama). Dalam tulisan tersebut Usep mengomentari pernya- taan Gus Dur. Menurutnya Gus Dur pada saat menjabat sebagai Presiden pernah menyatakan hendak mengurangi jumlah petani, khu- susnya yang menanam padi. Selain itu, pemerintah akan berupaya untuk mengubah masyarakat petani menjadi masyarakat industri. 6

Usep mengkritisi pandangan Gus Dur di atas dengan menga- takan bahwa cara pandang Gus Dur a-historis mengingat kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Selanjutnya, menurut Usep, ketimbang mengubah masyarakat petani menjadi buruh industri, yang dalam tulisannya ini dipersamakan dengan pengertian masyarakat industri, pemerintah lebih baik menyelenggarakan beberapa program yang dapat lebih mensejahterakan dan memperkuat

6 Saya tidak tahu persis apakah benar Gus Dur mengatakan hal tersebut karena tidak memperhatikan acara televisi yang menyiarkan acara dialog antara Gus Dur dengan

tokoh-tokoh agama dimana ia melontarkan pernyataannya.

Usep Setiawan keberadaan petani termasuk penataan struktur penguasaan tanah

dan penyelesaian konflik agraria yang secara umum dapat kita kata- kan di sini sebagai bagian dari program reforma agraria.

Sebagai seorang yang terlatih di bidang ilmu sosial, agak aneh juga penyederhanaan yang dilakukan oleh Usep mengenai pengertian masyarakat industri sebagai kumpulan buruh industri. Buruh industri adalah satu kategori sosial yang didasarkan atas jenis pekerjaan, yang tentu saja merupakan kelompok mayoritas dalam suatu masya- rakat industri. Lebih jauh, kita dapat saja melihatnya sebagai bagian dari suatu kelas sosial tertentu, yakni kelas buruh, yang menjadi ba- gian dari kaum proletar dalam sudut pandang kaum kiri. Dalam suatu transisi agraria, khususnya yang berorientasi mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, bisa jadi tidak terhin- darkan terjadinya peralihan kaum tani menjadi bagian dari kelas buruh. Saya bisa berempati dengan maksud tulisan Usep yang tidak hendak melihat kaum tani – khususnya kaum tani yang menguasai tanah – berubah menjadi kelas buruh. Tetapi saya kira persoalannya bukan di situ.

Ada dua hal yang patut kita diskusikan di sini. Pertama adalah peralihan agraria macam apa yang dimaksud Usep ketika ia menya- takan ada ’jalan lain’, yakni ’jalan reforma agraria’, pada saat mengo- mentari ucapan Gus Dur. Kedua adalah sikap ’romantisme antropolog klasik’ yang secara tidak langsung ditunjukkannya melalui pernya- taan bahwa kehidupan petani tersangkut juga soal sistem sosial- budaya masyarakat agraris yang sangat berbeda dengan sistem sosial- budaya masyarakat industri.

Baik Usep (dalam buku ini) maupun KPA tidak pernah secara tuntas mengulas (dan menentukan dengan jelas!) ’jalan reforma agraria’ yang bagaimana yang hendak dilalui, jika program ini dapat diselengarakan. Secara umum KPA biasanya hanya menyebut ’bukan reforma agraria jalan kapitalis’ dan sesekali menyebut ’reforma agra- ria dalam jalan sosialis’. Gunawan Wiradi, sekarang Ketua Dewan Pakar KPA, sering mengundang untuk membahas jalan lain, jalan

Epilog ketiga (?) yang sering disebutnya dengan jalan neo-populis dengan

merujuk pada pikiran-pikiran seorang scholar-activist Rusia, A. V. Chayanov. 7

Satu hal yang harus dicatat di sini adalah, apa pun jalan tempuh- nya, reforma agraria adalah salah satu cara yang sistematik untuk mengarahkan transisi agraria dari masyarakat agraris menjadi masya- rakat industri! Tentu saja dalam hal ini para pengusung reforma agraria meyakini perubahan tersebut bukan dalam rangka mengor- bankan petani, atau industrialiasi yang bertumpu pada peminggiran dan eksploitasi kaum tani– seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Tetapi para pengusung reforma agraria hendak mengubah ketim- pangan sosial akibat ketimpangan penguasaan tanah, yang biasanya muncul pada masyarakat agraris, sehingga menimbulkan eksploitasi tuan tanah terhadap petani-petani kecil dan tak bertanah, di satu sisi, dan telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang tidak relatif merata dengan dampak rendahnya kemampuan masyarakat desa dalam pembentukan modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pada sisi yang lainnya.

Dalam perspektif ekonomi dan perubahan sosial, reforma agraria dilakukan dalam rangka, terutama, membangun industrialisasi yang kuat yang bertumpu pada kemampuan pembentukan modal di pede- saan dan daya beli masyarakat desa yang relatif merata yang tumbuh secara pasti hingga mampu mendorong tumbuhnya industri-industri baik di pedesaan maupun di perkotaan yang kokoh; dan terutama sekali adalah industri-industri yang tumbuh dari modal domestik (bukan modal asing yang hasil akumulasinya akan terbang ke negeri lain). Sebagaimana yang terjadi di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan misalnya, pasca land reform tumbuh industri domestik yang kuat yang disertai dengan mulai berkurangnya secara nominal jumlah petani purna waktu (full time peasants). Banyak petani purna waktu yang

7 Mengenai hal ini lihat Wiradi, Gunawan (2000) Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.

Usep Setiawan menggantungkan hidupnya pada sektor non pertanian kemudian

berubah menjadi petani paruh waktu (part time peasants). Bagian terpenting dari proses perubahan ini yang patut diper- hatikan bukanlah pada berkurangnya jumlah petani, maupun pada reforma agraria jalan kapitalis yang ditempuh ketiga negara tersebut di atas. Tetapi yang patut kita perhatikan adalah suatu proses redis- tribusi alat produksi dan kekuasaan di pedesaan dari sekelompok kecil orang yang selama ini menguasai tanah dalam jumlah besar sehingga perputaran ekonomi desa hanya berpangkal pada mereka. Redistribusi alat produksi ini yang menjadi kunci dari tumbuhnya kemampuan pembentukan modal di pedesaan secara lebih merata untuk mendorong proses industrialisasi yang lebih kokoh.

Sayangnya dalam kumpulan tulisan populer ini, Usep tidak per- nah mengulas secara jelas ’jalan reforma agraria’ yang bagaimana yang dimaksudkannya dan terutama sekali apa tujuan reforma agra- ria yang dimaksudnya. Dari puluhan tulisan yang tersaji dalam buku ini, kita hanya akan menemukan sasaran-sasaran antara dari program reforma agraria, seperti redistribusi tanah, penyelesaian konflik agra- ria, penataan produksi dan sebagainya. Tetapi kita tidak menemukan secara jelas tujuan akhir dari reforma agraria yang selalu diidam- kannya dapat terwujud di Indonesia.

Ini juga adalah satu ’urusan yang hingga kini belum tuntas’ digarap oleh kelompok-kelompok gerakan sosial penyokong reforma agraria di Indonesia, yakni merumuskan jalan tempuh atau ’trajektori’ dari perubahan agraria yang hendak didorong secara sistematik mela- lui program perubahan stuktur penguasaan tanah tersebut. Kebanya- kan argumen-argumen yang dikembangkan oleh kelompok gerakan sosial di Indonesia tentang perlunya reforma agraria berangkat dari sudut pandang hukum, hak azasi manusia, dan politik. Belum muncul suatu naskah utuh yang menjelaskan mengenai reforma agraria yang ’semestinya’ dijalankan, dimana di dalamnya tergambar jelas ’trajek- tori’ perubahan sosial yang hendak dituju dan implikasi-implika- sinya pada aspek sosial, politik, ekonomi, hukum, hak azasi manusia,

Epilog pengelolaan lingkungan hidup, dan pengorganisasian gerakan untuk

menyokong upaya mendorong perubahan di dalam ’trajektori’ tersebut. ’Akibat serius’ dari absennya dokumen atau naskah sema- cam ini adalah kelompok-kelompok gerakan sosial pro reforma agra- ria dapat dengan mudah terjebak dalam aksi-aksi reaksioner untuk merespon perubahan-perubahan hukum, kebijakan, dan politik keku- asaan dengan harapan dapan ’menitipkan’ atau menyodorkan ga- gasan penerapan reforma agraria di tengah-tengah dinamika peru- bahan-perubahan tersebut.

Dari komentarnya terhadap Gus Dur tentang perlunya ’memeli- hara’ masyarakat petani atau masyarakat agraris dengan segala sistem sosial-budayanya, karena sebagian besar penduduk Indone- sia masih mengandalkan hidupnya pada bidang agraria, kita dapat berasumsi bahwa reforma agraria dimaksudkan oleh Usep untuk ’memelihara’ keberlanjutan masyarakat agraris di Indonesia. Tidak ada gambaran yang cukup jelas di keseluruhan buku ini soal bentuk dan karakteristik masyarakat agraris yang bagaimana yang hendak ’dipelihara’ melalui perubahan struktural dalam penguasaan tanah; kecuali suatu penegasan tentang dikotomi ’masyarakat agraris’ dan ’masyarakat industri’.

Sebagai seorang yang terlatih dalam bidang ilmu antropologi, kuat kesan Usep masih belum berhasil ’membebaskan’ dirinya dari sikap romantisme antropolog tentang masyarakat petani, masyarakat pedesaan, atau masyarakat agraris. Nilai-nilai ’keguyuban, harmoni, dan kearifan lokal kaum tani’ serta perspektif nir-konflik dalam masya- rakat desa sendiri tampaknya masih mendominasi cara berfikir Usep dalam memandang perlunya mendorong perubahan sosial pada masyarakat desa. Dari semua tulisannya di dalam buku ini, baik yang memberikan penekanan kepada soal petani, pertanian dan agraria, ia luput memberikan penekanan kepada kenyataan kelas-kelas sosial di pedesaan yang menjadi satu dasar penting dalam membentuk ke- timpangan sosial di pedesaan dan menjadi alas dari proses eksploi- tasi yang berlipat-lipat yang terjadi di pedesaan Indonesia.

Usep Setiawan Jika dalam tulisan awal pembuka buku ini Usep resah dengan

kemungkinan berubahnya kaum tani menjadi kelas buruh di per- kotaan, yang disebutnya dengan buruh industri, maka kita tidak mene- mukan keresahan yang sama mengenai kenyataan terus meningkat- nya kaum proletar desa, petani tak bertanah atau nyaris tak bertanah, dari waktu ke waktu. Kaum proletar desa ini terus bertambah bukan hanya akibat maraknya aksi-aksi penggusuran atau alih fungsi lahan, tetapi juga akibat transaksi lahan dari petani kecil kepada tuan tanah atau keluarga kaya, baik yang tinggal di desa maupun di perkotaan. 8

Dalam konteks pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, menja- di penting memberikan penekanan soal ketimpangan penguasaan tanah ini secara agak rinci (dalam salah satu tulisannya Usep telah menyinggungnya tetapi kurang dibahas secara mendalam). Satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam hal ini, selain soal ketunakismaan (landlesness), adalah memperhatikan dinamika per- kembangan penguasaan tanah yang melebihi batas-batas maksimal seperti yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada serta penguasaan tanah-tanah guntai. Sebagian besar tulisan dalam buku ini yang berkaitan dengan reforma agraria menyoroti soal konflik dan hilangnya tanah-tanah yang dikuasai oleh petani serta kemungkinan dijalankannya kebijakan redistribusi tanah. Meskipun ada disinggung soal ketimpangan penguasaan tanah, penekanan banyak diberikan kepada perlunya petani tak bertanah dan petani gurem diberikan tanah untuk perbaikan kehidupannya; sementara pembatasan penguasaan tanah berlebihan tidak mendapatkan pe- nekanan yang sama.

Bukan hanya Usep di dalam buku ini, banyak tulisan dari aktivis

8 Satu ulasan ringkas tetapi padat mengenai hal ini, yakni dinamika penguasaan tanah di pedesaan khususnya dengan memanfaatkan data statistik dari hasil Sensus

Pertanian yang dilakukan sejak tahun 1963 hingga 2003, disajikan oleh Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi (segera terbit) ‘Land Problems in Indonesia: The Need for Reform’, dalam Land Tenure, Laws and Livelihood in Indonesia, Anton Lucas dan Carol Warren (ed.), Athens: Ohio University Press.

Epilog gerakan sosial yang mendorong reforma agraria dijalankan di Indo-

nesia yang tidak memberikan penekanan kembali kepada pentingnya mengurangi jumlah tanah yang dikuasai melebih batas atau tanah- tanah yang dikuasai secara guntai. Implikasinya banyak bahasan mengenai pelaksanaan land reform di Indonesia saat ini cenderung berkonsentrasi kepada redistribusi tanah-tanah, bahkan sebetulnya hanya sertifikasi tanah, yang berasal dari Tanah Negara. Pentingnya tanah-tanah kelebihan dan guntai yang dikuasai oleh individu untuk dikurangi dan diredistribusi banyak ditanggalkan dalam pemba- hasan praktek land reform di Indonesia saat ini.