Perpres 36/2005: Membangun atau Menggusur?

Perpres 36/2005: Membangun atau Menggusur?

B Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, 3 Mei 2005.

ERAGAM sikap bermunculan menyertai terbitnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi

Kalangan pengusaha dan pemerintah menyambut girang Perpres yang diasumsikan akan mempermudah pembebasan tanah untuk kepentingan yang mereka rancang.

Di lain pihak, opini publik bereaksi kritis terhadapnya. Kalangan Ornop dan organisasi rakyat bahkan bersiap melancarkan serang- kaian aksi massa penolakan serta gugatan secara hukum. Kalangan DPR, khususnya Komisi II yang membidangi pertanahan secara alot mengkritisi Perpres ini. Sebagian fraksi tegas menolak, yang lainnya dapat memahami, lantas komprominya adalah meminta penundaan dan revisi. Melalui rekomendasi sebuah seminar nasional di Unhas Makassar, Komnas HAM pun sudah meminta pencabutan Perpres ini.

Sulit menampik bahwa ke-21 objek kepentingan umum yang diatur Perpres ini ialah kebutuhan publik. Namun, agenda tersem- bunyi di balik Perpres ini sudah gamblang membawa kepentingan pembangunan pro-modal besar yang berwatak eksploitatif sekaligus represif. Hal ini potensial memperbanyak konflik karena maraknya penggusuran tanah rakyat dengan dalih “pembangunan kepentingan umum”. Perpres 36/2005 ini memberi kewenangan kepada Presiden

Usep Setiawan untuk mencabut hak rakyat atas tanah. Presiden telah memberi ke-

wenangan sangat besar kepada dirinya sendiri untuk mencabut hak milik atas tanah (Psl. 3 dan 10).

Perpres ini pantas dikritisi publik karena potensi implikasi sosial, politik, ekonomi, yuridis bahkan keamanan yang ditimbulkannya. Perpres ini dapat memproduksi konflik sosial yang dipicu konflik agraria/sengketa tanah di kota, desa, hingga pedalaman.

Perlu kewaspadaan

Sebelum Perpres ini, terdapat Keppres No 55/1933 yang menga- tur substansi yang sama. Jadi, isi Perpres ini sesungguhnya bukan perkara yang sama sekali baru. Perpres ini dapat dikatakan sebagai penguatan isi Keppres tersebut, dengan kadar potensi represivitas yang jauh lebih tinggi. Kita sudah tahu bahwa Keppres No 55/1993 di masa Soeharto telah menyebabkan banyak tragedi penggusuran tanah rakyat untuk kepentingan “pembangunan kepentingan umum”. Saat itu, penggusuran dianggap “legal” karena dipayungi hukum (Keppres). Perpres 36/2005 akan mengulangi bahkan mem- perdahsyat tragedi penggusuran yang memilukan seperti terjadi di era Soeharto.

Terdapat dua hal penting yang perlu diwaspadai. Pertama, Per- pres ini bisa menjadi jembatan bagi masuknya investasi secara lebih gencar. Ini bisa kita lacak dari kronologis keluarnya Perpres yang merupakan tindaklanjut dari infrastructur summit (Januari 2005) yang menghendaki fasilitasi atau kemudahan bagi investor mendapatkan tanah untuk kepentingan investasi. Bisa dikatakan Perpres ini meru- pakan “jalan tol” bagi kepentingan modal raksasa (asing) yang hen- dak membiakan kekayaannya di negeri kita. Kedua, Perpres ini dapat dijadikan alat legitimasi praktik politik otoriter di bidang pertanahan (agraria). Otoritarianisme berupa kewenangan pemerintah (c.q. Presi- den) yang begitu besar untuk mencabut hak rakyat atas tanah bisa jadi preseden buruk. Kelakukan represif yang dipertontonkan peme- rintahan produk pemilu demokratis sudah di pelupuk mata.

Kembali ke Agraria Kombinasi kapitalisme dengan otoritarianisme di lapangan

agraria ini dipastikan memproduksi konflik agraria yang makin berat dan keras di lapangan. Dan kita tahu, konflik agraria terdahulu belum terselesaikan. Perpres ini diprediksi melipatgandakan intensitas kon- flik agraria di berbagai tempat yang potensial melanggar HAM. Perdebatan lain yang menyeruak bersama lahirnya Perpres ini adalah pemaknaan “pembangunan kepentingan umum”. Kepentingan siapa yang diperjuangkan Perpres 36/2005? Kita layak trauma dengan “ke- pentingan umum” ala Orba, yakni kepentingan pemerintah dan/ atau investasi.

Sekadar contoh, pembuatan jalan tol yang dibutuhkan untuk peningkatan efisiensi mobilitas. Siapa yang menerima keuntungan paling besar dari dibangunnya jalan tol? Tentu saja perusahaan yang mengelola jalan tersebut dan pemodal yang memperdagangkan produk industri mereka sambil mengangkut kekayaan beragam sum- berdaya kita. Bagaimana pun, penyediaan infrastruktur yang kemu- dian dijadikan sarana untuk masuknya investasi dan kepentingan industrialisasi hendaknya tidak mengesampingkan, apalagi meram- pas kepentingan dan hak rakyat. Kaum tani di pedesaan, kaum mis- kin kota, masyarakat adat di pedalaman, dan kelompok rentan yang marginal lainnya harus dijamin keamanan dan keselamatannya dari ancaman penggusuran berdalih Perpres 36/2005 ini.

Prioritas dan keberpihakan pembangunan infrastruktur yang adil dan proporsional-lah yang kita idamkan. Mendahulukan infra- struktur bagi mereka yang serba berkecukupan—apalagi pihak asing— bukanlah kebijakan tepat dan pantas ketika mayoritas rakyat masih terjerat kemiskinan. Yang perlu diperjuangkan ialah terbitnya kebi- jakan pembangunan yang memihak dan memakmurkan rakyat. Hasil pembangunan dipersembahkan bagi rakyat jelata. Penyediaan infra- struktur yang paling dibutuhkan mayoritas rakyatlah yang mestinya diutamakan. Misalnya, kepentingan umum di pedesaan bagi kepen- tingan petani adalah penyediaan tanah, modal, teknologi, dan sarana produksi serta pasar pertanian. Bagi kaum miskin kota ialah tempat

Usep Setiawan tinggal layak dan pekerjaan manusiawi. Bagi kaum buruh adalah

upah wajar dan jaminan sosial yang menyeluruh. Bagi masyarakat adat di pelosok pedalaman perlu pengakuan kedaulatan atas wilayah dan hukum adatnya.

Pemerintahan ditantang menyediakan infrastruktur penunjang produktivitas dan kesejahteraan mayoritas rakyat yang memperkuat golongan ekonomi lemah dan membela kaum yang paling memer- lukan pertolongan. Kebijakan pertanahan (agraria) pun akan sangat ideal jika diabdikan bagi kepentingan mereka, yang nota bene menjadi pemilih terbanyak dari pasangan persiden dan wakil presiden dalam pemilu demokratis lalu.

Sekaranglah saatnya Yudhoyono untuk membangun, bukan menggusur. Realisasi janji Yudhoyono untuk menerbitkan kebijakan pro-rakyat, seperti reforma agraia, revitalisasi pertanian dan pedesaan sedang dinanti. Yudhoyono hendaknya jangan tergiur rayuan kaum berkantong tebal yang doyan menggusur tanah rakyat dengan berlin- dung di bawah selimut “kepentingan umum”. Sulit menemukan alasan kuat untuk tetap mempertahankan Perpres yang potensial menggerogoti kredibilitas pemerintah sekaligus memicu konflik sosial ini. Kemauan politik dari Yudhoyono untuk sesegera mungkin menca- butnya adalah pilihan bijak yang tengah kita nanti.

Jika tidak, gugatan hukum melalui uji materi ke Mahkamah Agung untuk pembatalan Perpres ini kini tengah disiapkan Koalisi Ornop yang didukung sejumlah pakar handal di bidang hukum agra- ria. Aksi-aksi massa organisasi rakyat pun dipastikan akan berge- lombang menyertai tuntutan pencabutan Perpres ini. Pilihannya: cabut segera atau rakyat melawan.***