Agar Reforma Agraria Tepat Sasaran, Tanpa Korban

Agar Reforma Agraria Tepat Sasaran, Tanpa Korban

ALAH satu persoalan rumit di bidang pertanian yang hingga kini belum dapat dipecahkan adalah maraknya alih fungsi (kon-

versi) lahan pertanian ke non-pertanian. Banyak data menunjukkan betapa konversi lahan pertanian ini telah terjadi begitu massif dan nyaris tak ada cara mujarab untuk menghentikannya.

Kita mafhum, tersedianya lahan pertanian yang cukup adalah prasyarat bagi terjaganya produktivitas pertanian dalam rangka mencukupi ketersediaan pangan. Tak terkendalinya konversi lahan pertanian menjadi batu sandungan yang potensial terhadap (rencana) pelaksanaan reforma agraria, karena salah satu tujuan dari reforma agraria adalah penyediaan lahan pertanian yang cukup bagi keluarga tani, terutama petani miskin.

Dalam konteks inilah, inisiatif Departemen Pertanian RI bersama DPR RI menyusun RUU tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi (PLPPA) patut diapresiasi. RUU PLPPA ini sebagai respon pemerintah atas menyusutnya lahan pertanian yang mengancam ketahanan pangan nasional. Di dalamnya terkandung 5 poin pertim- bangan, 2 poin mengingat, mencakup 12 bab, dan 40 pasal. Kedua belas bab dimaksud meliputi: ketentuan umum, asas tujuan dan ruang lingkup, perencanaan dan penetapan, pembinaan dan peman- faatan, pengendalian dan perlindungan, pengawasan, penelitian dan pengembangan. Dicakup juga sistem informasi, partisipasi masya-

Usep Setiawan rakat, pembiayaan, ketentuan pidana, dan ketentuan penutup. Konsi-

derannya, mengingat Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 33 UUD 1945, dan UU No.26/2007 tentang penataan ruang (Draft II, 14 Juni 2007).

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan konversi lahan ke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (1992-2002). Mengutip Bomer Pasaribu (2007), ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan conditio sine-qua non untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Kehilangan produksi dan kemiskinan baru

Meminjam data Badan Pertanahan Nasional (BPN), Agus Wa- riyanto mengabarkan lebih dari 50.000 ha sawah irigasi teknis telah menjadi lahan nonpertanian. Bila diasumsikan yang sudah beralih fungsi bisa ditanami padi dan dipanen dua kali setahun dengan produksi lima ton gabah/ha, maka kehilangan produksi mencapai 500.000 ton gabah setiap tahun (Suara Merdeka, 4/5/07).

Abdul Haris (2003) mencatat dampak dari konversi lahan perta- nian adalah semakin sempitnya atau bahkan hilangnya lahan subur untuk lahan pertanian produktif yang dapat menghasilkan pangan yang cukup bagi sekira 228 juta penduduk Indonesia yang tetap tum- buh dengan pesat. Hilangnya lahan pertanian sebagian petani gurem ini dapat menghasilkan kemiskinan baru di perdesaan dan perko- taan. Alasannya, tenaga kerja pertanian kehilangan pekerjaannya, di lain pihak mereka tidak punya keahlian untuk masuk sektor indus- tri, sektor jasa, atau sektor lainnya (Pikiran Rakyat, 20/5/03).

Untuk memperkuat kemampuan produksi beras, Mentan Anton Apriyantono menegaskan perlunya kebijakan pengendalian laju konversi lahan sawah dan memperbesar kemampuan negara men- cetak lahan pertanian baru. DPR pun membuat keputusan No.07A/ DPR-RI/I/2006-2007 tentang Program Legislasi Nasional (Progleg- nas) yang menempatkan RUU PLPPA sebagai prioritas 2007, di

Kembali ke Agraria urutan 29 (Bisnis Indonesia, 03/4/07).

Selain merumuskan RUU PLPPA, Deptan juga mencanangkan Panca Yasa sebagai landasan fundamental pembangunan pertanian 2007 dan masa depan. Panca Yasa berisi rencana perbaikan infra- struktur pertanian, pengaktifan kembali kelompok tani, perbaikan sistem penyuluhan, fasilitasi pembiayaan pertanian dan pemasaran hasil pertanian yang memfasilitasi kelancaran pemasaran, baik pasar dalam negeri maupun ekspor.

Sejumlah pihak tak terlalu berharap RUU PLPPA menyelesaikan masalah. Wariyanto (2007) mengingatkan landasan hukum saja tidaklah cukup untuk mengamankan keberadaan lahan pangan abadi. Arus alih fungsi lahan tak mungkin bisa dibendung hanya dengan kebijakan, manakala faktor nilai tambah ekonomi dari lahan terhadap pemiliknya tidak menjanjikan. Tuntutan mewujudkan ketahanan pangan harus didukung sistem agribisnis berkelanjutan berupa jaminan PLPPA, yang berarti penataan kembali strategi tata ruang.

Sinergi utuh

Dibutuhkan kemauan politik super kuat penyelenggara negara untuk merombak total paradigma dan praktek politik pertanian, dari yang semata-mata pro-pertumbuhan dan produktivitas pertanian menjadi lebih pro-pembangunan pertanian rakyat yang menguta- makan kaum tani sebagai subjek utama pelaku pertanian.

Legislasi mengenai lahan pertanian pangan abadi akan relevan jika padu dengan upaya menata struktur penguasaan dan menyele- saikan konflik pertanahan. Klausul tentang pengelolaan lahan perta- nian dapat dimasukan dalam legislasi yang mengatur pertanahan secara utuh dalam kerangka reforma agraria sejati. Sementara itu, pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agra- ria (RPP RA). Nantinya PP RA ini akan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan program pembaruan agraria nasional (PPAN). Hingga

Usep Setiawan akhir Juli 2007 ini, belum ada “lampu hijau” kapan dan bagaimana

realisasi dari rencana pelaksanaan reforma agraria atau PPAN ini. Sebelumnya, kita mencatat rencana pemerintah setelah rapat kabinet terbatas mengenai reforma agraria (Mei 2007), yakni rencana Presiden RI untuk menandatangani RPP RA; akan diadakan per- temuan presiden dengan para gubernur, bupati dan wali kota; dan, dipuncaki rencana launching PPAN oleh presiden. Tampaknya kita masih harus menunggu.

Menurut Kepala BPN RI Joyo Winoto, pemerintah akan mengalo- kasikan secara bertahap lahan seluas 8,15 juta hektare untuk diba- gikan ke 17 provinsi dengan 104 kabupaten. Lahan itu berasal dari kawasan hutan produksi konversi. Selain itu, dialokasikan tanah seluas 1,1 juta hektare yang berasal dari sumber lain, seperti dari tanah kelebihan maksimum, tanah absentee yang telah ditetapkan UU, tetapi belum diredistribusikan, tanah negara yang haknya telah berakhir dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan surat keputusan pemberian hak, serta tanah yang secara fisik dan hukum terlantar (Jurnal Nasional, 21/5/07).

RPP RA (draft keenam, 14 Mei 2007) mengandung tujuh tujuan reforma agraria, yakni: menata kembali ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; mengurangi kemis- kinan; menciptakan lapangan kerja; memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; mengurangi seng- keta dan/atau konflik pertanahan dan keagrariaan; memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan, meningkatkan ketahanan pangan.

Belum jelas keterkaitan RUU PLPPA dengan RPP RA. Reforma agraria memang mendesak untuk segera dijalankan. Tapi jangan abaikan sinergi antar-unsur pemerintahan secara utuh, mulai dari arah kebijakan, agenda legislasi hingga program praksisnya. Agar reforma agraria cepat dijalankan, tepat sasaran, tanpa korban.***