Repot Karena Freeport

Repot Karena Freeport

EDIA massa mengabarkan geger kasus PT Freeport Indone sia yang kian meruncing. Aksi massa di depan kampus Uni-

versitas Cenderawasih, Abepura, Jayapura hari Kamis (16/3/06) mengakibatkan empat aparat tewas dan 19 lainnya luka-luka. Dari pihak massa, empat orang luka-luka, dan 40 orang lainnya ditahan.

Penulis menyorot tendensi pelanggaran HAM dalam kasus Freeport dari kronologis masuknya PT Freeport (Juni 1966). Ketika itu, Freeport Sulphur melakukan negosiasi dengan pemerintah untuk melakukan penambangan di Irian bagian barat. Pada Maret 1967, PT Freeport Indonesia Incorporated (PT FII) menandatangani kontrak karya (KK) untuk usaha penambangan di wilayah pegunungan Jaya- wijaya Selatan, tepat di Gunung Erstberg dan sekitarnya.

Sejak awal rakyat Papua menebar protes yang terutama dari masyarakat adat yang sudah hidup ratusan tahun sebelumnya. Sum- ber protes terkait digunakannya konsepsi hak menguasai negara yang mendelegitimasi penguasaan agraria masyarakat sehingga mereng- gut sumber penghidupan rakyat. Terjadi pula pengambilan kepu- tusan yang tak demokratis dalam penetapan usaha tambang di wila- yah mereka.

Dalam konteks perebutan sumber agraria, negara (pemerintah) memiliki andil besar dalam pelanggaran HAM. Hal ini sejalan dengan laporan investigasi Komnas HAM terhadap tendensi pelanggaran HAM dalam kasus Freeport (1995). Laporan tersebut sampai pada

Kembali ke Agraria kesimpulan telah terjadi pelanggaran HAM di sana, yang meliputi:

pembunuhan indiskriminatif, penganiayaan, dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia, penangkapan tidak berdasarkan hukum dan penahanan yang semena-mena, penghilangan orang, pengawasan yang berlebih-lebihan, serta perusakan harta milik yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Laporan di atas diperkuat hasil studi Dianto Bachriadi (1997- 1998) yang menyuguhkan fakta: dilanggarnya hak untuk menentukan nasib sendiri, pemaksaan alih fungsi lahan; dilanggarnya hak untuk hidup; penghilangan orang dan penangkapan secara sewenang-we- nang; hilangnya hak untuk bebas dari rasa takut; hilangnya hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan atau tindak kekerasan.

Dalam kasus Freeport, Dianto juga menemukan pencabutan hak seseorang atas sumber penghidupan subsistensinya; kehilangan hak anak-anak untuk mendapatkan perlindungan, dan lenyapnya stan- dar kehidupan yang layak serta pencapaian tingkat kesehatan yang optimal. Saat baru mulai, PT Freeport menginvestasikan modalnya US$ 75 juta dengan areal wilayah KK seluas 100.000 hektare. Kini aset PT Freeport membengkak jadi sekitar US$ 3 miliar dengan luas areal konsesi berlipat 260 kali menjadi 2,6 juta hektare—berdasarkan KK yang ditandatangani 1991. Areal wilayah KK ini membentang dari pegunungan Weyland di bagian Barat, Membramo sampai pegu- nungan Bintang Timur pada garis perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini—alangkah luasnya!

Di dalam areal seluas itu, terdapat gunung Grastberg yang diya- kini mengandung 51,8% kandungan emas yang ada di seluruh Indo- nesia. Dapat dibayangkan jumlah kekayaan yang akan diraup dari sana. Banyak pihak telah menunjukkan fakta tentang usaha tambang emas tersebut telah menginjak-injak rasa keadilan. Bagaimana tidak, Indonesia yang pemilik kekayaan mesti mencicipi sedikit (sekira 12%) keuntungan dibanding yang diperoleh perusahaan (tak kurang dari 88%). Apalagi pendapatan dan kesejahteraan rakyat setempat, bukan- nya untung malah buntung.

Usep Setiawan

Agar tak repot

Pelanggaran HAM dan ketidakadilan agraria kini terus menuai protes rakyat Papua. Munculnya protes erat kaitannya dengan ter- ganggunya eksistensi historis dan persepsi kultural mereka atas sumber-sumber agraria. Sebagian besar orang Papua memandang tanah (wilayah kehidupan) mereka seperti ibu kandung sendiri. Dapat dibayangkan kemarahan dan kedalaman luka hati mereka ketika wilayah hidup (ibu) mereka diobrak-abrik dan dikeruk seisi perutnya.

Agar Freeport tak lagi bikin repot, solusi holistik hendaknya me- mungkinkan rakyat Papua merdeka dari segala penindasan dan pengisapan. Ada sejumlah langkah strategis. Pertama, di tingkat kebi- jakan perlu peninjauan ulang konsepsi hak menguasai negara yang terdapat dalam sejumlah perundang-undangan, untuk kemudian dibatasi. Kedua, pemerintah “terpaksa” harus berunding ulang (renegosiasi) dengan Freeport, dan melibatkan masyarakat setempat untuk penyelesaian adil. Renegosiasi bisa berujung penghentian (sementara) investasi sambil mengusut pelanggaran HAM.

Ketiga, pemerintah harus menghentikan keterlibatan militer dalam pengamanan pertambangan guna meminimalisasi potensi pelanggaran HAM oleh alat negara dan sebagai upaya strategis mengembalikan militer kepada fungsi pokok pertahanan negara. Keempat, diperlukan segera pemulihan kondisi masyarakat setempat setelah terkena perampasan agraria, yang meliputi pengakuan pemi- likan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan keka- yaan alam. ***