Reforma Agraria dan Pemilu 2009
Reforma Agraria dan Pemilu 2009
B gaimana potensi eksistensi agenda reforma agraria pada peme-
AGAIMANA dinamika terkini agenda reforma agraria pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla? Ba-
rintahan baru hasil Pemilu 2009? Perkembangan akhir agenda reforma agraria pemerintahan SBY- JK dapat dikatakan menuju stagnasi. Reforma agraria yang dijanjikan SBY-JK dalam kampanye Pemilu 2004 terancam berhenti pada waca- na dan konsepsi, jauh dari praktek menyeluruh dan sejati. Sampai saat ini belum terbit UU, PP atau Perpres/Keppres yang secara khusus mengatur reforma agraria.
Redistribusi versus sertifikasi
Reforma agraria dalam pidato politik SBY (31-1-2007) dijanjikan akan mulai dilaksanakan dengan agenda pokok redistribusi tanah bagi rakyat miskin. Kabarnya ada jutaan hektare “tanah negara” yang akan “dibagikan” pada rakyat miskin sebagai bagian upaya menga- tasi kemiskinan dan pengangguran. Saat ini realisasi agenda tanah bagi kaum miskin makin kehilangan momentum politiknya. Tanah yang mana dan kepada siapa ia akan didistribusikan masih tetap jadi tanya tak terjawab.
Secara teoritik, redistribusi tanah memang menjadi bagian krusial dari penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah (landreform) supaya tercipta struktur agraria baru yang lebih adil. Landreform
Usep Setiawan dikenal sebagai agenda inti dari reformasi agraria sejati. Landreform
tanpa distribusi dan redistribusi tanah tentu saja kehilangan makna. Kaum miskin (buruh tani, petani penggarap, petani gurem, dan rakyat kecil) yang sangat tergantung pada penguasaan dan pemanfaatan tanah harus jadi subjek penerima manfaat reformasi agraria. Sejauh ini belum ada upaya serius untuk mengakhiri peningkatan jumlah petani gurem dengan skala penguasaan tanah di bawah 0,5 hektare.
Lain halnya dengan agenda sertifikasi tanah massal secara gratis yang gencar digalakkan pemerintah. Presiden Yudhoyono telah me- launching program layanan rakyat untuk sertifikasi tanah. Program itu dinilai positif dari sisi penertiban sistem administrasi pertanahan sehingga pelayanan pemerintah di bidang pertanahan jadi lebih efek- tif dan efisien. Namun, sejumlah kalangan melontarkan kritik atas program sertifikasi ini. Ada yang menilai program itu bukan kebu- tuhan mendesak di tengah maraknya konflik agraria dan sengketa tanah, serta tajamnya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Bahkan, dikhawatirkan program itu hanya akan mengukuhkan dan melanggengkan ketimpangan struktur agraria.
Lebih jauh, sertifikasi tanah massal dipandang sebagai jembatan yang memperlancar sistem ekonomi neoliberal yang masuk melalui mekanisme pasar tanah (land market). Dengan sertifikasi tanah secara massal (walaupun gratis), eksistensi tanah yang telah besertifikat itu segera bergeser jadi “komoditas” sehingga menjadi barang dagangan yang lebih gampang diperjualbelikan dan masuk ke sektor perbankan.
Alih-alih menertibkan administrasi pertanahan sehingga pela- yanan pemerintah di bidang pertanahan, sertifikasi tanah secara massal dalam jangka panjang berpotensi menambah rumit struktur agraria kita karena ketimpangan dan ketidakadilan telanjur terlega- lisasi melalui sertifikat tanah sebagai bukti terkuat pemilikan tanah.
Setelah Pemilu 2009
Potensi eksistensi agenda reforma agraria pada pemerintahan baru hasil Pemilu 2009 akan sangat tergantung beberapa faktor penen-
Kembali ke Agraria tu. Ada empat faktor yang akan menentukan masa depan reforma
agraria, pertama, tergantung presiden terpilih. Jika presidennya masih SBY, ia harus secara signifikan mengubah arah dan strategi mereali- sasikan reforma agraria. SBY harus lebih tegas dan berani mengubah sumber ketidakadilan struktur agraria seperti perkebunan besar dan kehutanan. SBY harus lebih tegas pemihakannya pada rakyat miskin dan menunjuk menteri-menteri serta pembantunya yang paham dan sehaluan dalam merealisasikan reforma agraria.
Jika yang terpilih bukan SBY, ada dua kemungkinan. Pertama, pengganti SBY lebih buruk karena tak mau atau tak tahu relevansi dan urgensi reforma agraria. Kedua, penggantinya lebih progresif: mempunyai visi reforma agraria, memiliki strategi serta langkah-lang- kah konkret yang lebih jitu. Siapa pun presiden yang terpilih nanti, hendaknya segera menghidupkan kembali Kementerian Negara Agraria dan membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria. Bagi penanganan konflik, perlu dibentuk Peradilan Agraria dan/atau Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria.
Kedua, tergantung dukungan politik parlemen. Posisi DPR seba- gai pembuat undang-undang, penyusun anggaran negara, dan pengontrol pemerintahan mestinya mengarahkan dukungan politik terhadap realisasi reformasi agraria. DPR jangan jadi penghambat politik. DPR hasil Pemilu 2009 hendaknya memprioritaskan pem- bentukan UU khusus untuk reforma agraria dengan merujuk UUD 1945 (Pasal 33), Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta UU No 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Ketiga, tergantung dorongan dari kekuatan gerakan rakyat yang terkonsolidasi di akar rumput. Reforma agraria sejati yang diperju- angkan berbagai kalangan dan organisasi gerakan selama ini adalah reforma agraria yang didasarkan atas prakarsa dan kekuatan rakyat, yang diistilahkan agrarian reform by leverage.
Keempat, perlu dukungan publik. Kalangan yang memiliki kepe- dulian pada masa depan bangsa dan memiliki pemihakan pada go-
Usep Setiawan longan ekonomi lemah perlu memberikan dukungan. Dalam hal ini,
tokoh agama, akademisi, jurnalis, dan pegiat organisasi non-peme- rintahan sebaiknya berdiri di belakang gerakan rakyat untuk reforma agraria sejati.
Jika keempat hal tersebut tersedia secara memadai setelah Pemilu 2009, kita boleh berharap reforma agraria akan terus bergulir dan menguat. Sebaliknya, jika salah satu atau beberapa hal tersebut absen, ibarat kendaraan, reforma agraria terancam masuk ke area parkir yang tak diketahui kapan akan berangkat lagi.***