UU Modal Memicu Kontestasi Atas Tanah

UU Modal Memicu Kontestasi Atas Tanah

D tarungan beragam kepentingan) atas tanah sebagai sumber utama

ISAHKANNYA UU Penanaman Modal oleh DPR pada 29 Maret 2007 diduga akan memicu kontestasi (mengerasnya per-

agraria kian massif. Dengan lugas, Revrisond Baswir mengecam UU ini sebagai kese- satan pikir penyusunnya dalam memfasilitasi kepentingan neo-kolo- nialisme (Republika, 10/04/07). Hemat saya, menganggap tanah sebagai komoditas dan fasilitas insentif bagi penanaman modal asing mau- pun domestik ialah bagian dari cara pandang yang sesat. Cara pan- dang sesat inilah yang jadi kekeliruan fatal dari UU Penanaman Modal.

Mestinya disadari bahwa tanah sebagai resources bukan semata landscape fisik geografik, melainkan sarat hubungan sosial dan eko- nomi. Tanah bukan hanya sumber daya penghasil surplus produksi, melainkan akar pengetahuan (knowledge) bahkan identitas budaya masyarakat. Di atas tanah/lahan itulah hubungan kemanusiaan di- bangun (Siti F. Khuriyati, 2007).

Di atas tanah masyarakat menganyam relasi sosial, menata pro- duksi dan membangun budaya. Bangsa agraris ini membentuk iden- titas sosial dalam landscape sosio-kultural secara holistis di atas tanah sebagai satu kesatuan jiwa raga bangsa.

Kontestasi di parlemen dan lapangan

Perdebatan di parlemen tentang pemberian fasilitas hak atas

Kembali ke Agraria tanah kepada penanam modal berupa hak guna usaha (HGU) selama

95 tahun, hak guna bangunan 80 tahun, dan hak pakai 70 tahun— Pasal 2 ayat (1)—ditandai minderheids nota fraksi PDIP dan PKB. Kedua fraksi memandang UU Penanaman Modal tak sejalan dengan UUPA yang berakar pada Pasal 33 UUD 1945.

Para ‘nasionalis’ di parlemen terlihat gigih membela UUPA seba- gai salah satu warisan terpenting pendiri bangsa yang masih relevan untuk dijalankan menuju kedaulatan dan kemandirian bangsa agra- ris ini. Puncaknya, fraksi “Ciganjur” memberi catatan sangat kritis, bahkan fraksi “moncong putih” walk-out sesaat menjelang palu penge- sahan diketukkan Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR) yang me- mimpin sidang.

Tidak bulatnya suara parlemen menunjukkan kerasnya kontes- tasi kepentingan politik. Potensi pertumburan kepentingan secara nyata di dalam landscape yang riil akan terjadi ketika pemerintah menyerahkan kuasa atas tanah kepada pemodal. Pada saat itu otoritas negara atas tanah pindah ke tangan kuasa modal. Namun demikian, sesungguhnya otoritas tak lagi selalu identik dengan kuasa politik. Para pemegang kuasa baru atas tanah harus menyadari bahwa diri- nya tidak serta merta dilekati oleh kekuasaan sepenuhnya atas tanah karena pada kenyataannya massa rakyat bisa membangun counter kuasa terhadap mereka.

Sulit membayangkan rakyat akan sukarela menerima klaim pena- nam modal atas penguasaan lahan yang diberikan pemerintah. Peme- rintah (plus pemodal) memiliki cara pandang berbeda dengan petani terhadap lahan. Bagi petani lahan bukanlah komoditi atau insentif fasilitas, melainkan sumber pokok kehidupan. Kehidupan petani sangat bergantung pada akses terhadap lahan. Mengambil lahan dari petani berarti juga mengambil sari-pati kehidupan mereka. Wajar bila kemudian petani melakukan perlawanan. Tumburan kuasa ‘nega- ra’ dengan kuasa rakyat inilah yang kelak memarakkan konflik agra- ria.

Konflik merupakan manifestasi dari kontestasi kekuasaan antar

Usep Setiawan aktor. Sepanjang Orde Baru berkuasa, konflik agraria terjadi dalam

intensitas yang sangat tinggi—KPA mencatat setidaknya 1.753 kasus. Sebagian besar terjadi di wilayah perkebunan, di mana pemodal besar menikmati kuasa atas tanah selama puluhan tahun sambil meng- alienasi akses ribuan keluarga petani terhadap resources. Kuasa terse- but didapatkan pengusaha melalui HGU. Dengan HGU, pengusaha mendapatkan akses atas lahan perkebunan untuk kemudian diper- gunakannya membangun pola produksi intensif. Nancy Peluso (2003) memahami akses adalah kontrol atas lahan, orang (buruh), dan insti- tusi. Dengan memiliki HGU 95 tahun, penanam modal dapat memiliki akses terhadap ketiga hal tersebut selama hampir satu abad.

Ketimpangan penguasaan dan terbatasinya akses rakyat atas tanah akan memancing konflik di sektor perkebunan. Petani dan pengusaha dipastikan akan berebut akses atas lahan. Kontestasi pun berderak kencang meramaikan arena konflik agraria.

Perlawanan rakyat

Pemberian fasilitas dan kemudahan berlebih kepada penanam modal akan menjauhkan rasa keadilan sosial dalam lubuk sanubari rakyat jelata. Meletupnya konflik sosial yang dipicu konflik agraria akan terbuka lebar ketika UU Penanaman Modal dijalankan. Pelak- sanaan UU Penanaman Modal dapat memicu kontestasi dalam ben- tuknya yang paling konkrit, yakni konflik agraria yang semakin mas- sif.

Pemerintah dan pemodal yang siap-siap masuk Indonesia dengan menggunakan karpet merah UU Penanaman Modal hendak- nya mawas diri terhadap kemungkinan bangkitnya perlawanan rak- yat yang mempertahankan tanah sebagai wilayah kelola, ruang hidup, sekaligus landscape kebudayaan mereka.

Agar kontestasi berbuah konflik ini urung terjadi, pembatalan UU Penanaman Modal oleh Mahkamah Konstitusi jalan keluar- nya.***