Dari Pasuruan ke Reforma Agraria

Dari Pasuruan ke Reforma Agraria

IAPA tak tersentak menyimak sengketa tanah antara warga dengan pihak TNI AL di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan, Jawa Timur

(30 Mei 2007) yang menewaskan 4 petani, 8 terluka tembak, dan ratusan menderita? Ini adalah tragedi kemanusiaan yang memilukan.

Sejumlah anak bangsa terkapar akibat direpresi alat pertahanan negara ketika memperjuangkan haknya atas tanah. Tragedi Pasuruan membuktikan otoritarianisme di lapangan agraria belum goyah, per- lindungan HAM bagi rakyat masih jauh, dan rencana pelaksanaan pembaruan (reforma) agraria dikhawatirkan tersandera oleh perilaku represif aparat.

Dari 1.753 kasus yang direkam KPA (1970–2001), tak kurang dari 29% kasus melibatkan kaum berambut cepak. Konflik agraria yang melibatkan militer banyak dilatari pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan infrastruktur militer seperti perumahan dan tempat latihan tempur serta bisnis militer di la- pangan agraria–seperti di sektor perkebunan, kehutanan, dan pertam- bangan.

Keterlibatan militer dalam konflik agraria selama ini kerap menimbulkan kekerasan karena aparat pertahanan-keamanan lebih condong jadi “pengawal” mesin birokrasi dan modal daripada melindungi rakyat yang berhak atas rasa aman. Sebagai contoh ter- hangat, setelah Pasuruan bergolak, belum lama ini dikabarkan aparat Brimob telah menangkap secara paksa dan menganiaya sejumlah

Usep Setiawan tokoh petani Lengkong, Sukabumi, Jawa Barat yang bertahun-tahun

memperjuangkan haknya atas tanah yang bersengketa dengan sebu-

ah perusahaan perkebunan swasta. Sepanjang Januari–April 2007 saja (sebelum Tragedi Pasuruan meletus), KPA mencatat peningkatan kekerasan terhadap petani.

Dalam 13 kasus terbaru terjadi penangkapan dan penahanan sedikitnya 143 petani disertai kekerasan seperti penembakan, pen- culikan, pemukulan, dan intimidasi.Tercatat 33 orang mendekam di tahanan kepolisian dan 1 orang tewas di Mamuju, Sulawesi Selatan. Juga terjadi pengusiran rakyat akibat konflik agraria antara perusa- haan dengan masyarakat di sejumlah tempat.

Tercatat, 556 KK atau sedikitnya 1.200 jiwa—sebagian besar perempuan dan anak-anak—mengungsi selama konflik terjadi. Inten- sitas kekerasan ini terkait pula dengan diberlakukannya berbagai produk kebijakan yang membuka pintu represi terhadap rakyat seperti UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan Perpres 65/2006. Disahkannya UU Penanaman Modal belum lama ini juga tengah mengintai korban.

Hentikan otoritarianisme agraria

Rentetan peristiwa konflik agraria yang disertai kekerasan aparat hendaknya menjadikan pemerintah serius dalam menghentikan militerisme dan otoritarianisme di lapangan agraria yang diawali dengan mengevaluasi dan mengambil tindakan tegas terkait dengan penguasaan tanah untuk kepentingan sarana militer, apalagi kepen- tingan bisnis militer. Pemerintah harus kita dorong untuk segera melakukan langkah strategis. Pertama, mengidentifikasi, mengeva- luasi, dan menertibkan segala bentuk penguasaan tanah serta sum- ber-sumber agraria oleh militer di atas tanah milik rakyat atau yang sedang dikuasai rakyat. Tak boleh lagi ada penguasaan tanah oleh militer, baik untuk kepentingan resmi militer apalagi untuk bisnis di lapangan agraria, dengan cara merampas tanah rakyat.

Kedua, seiring dengan rencana pemerintah untuk menjalankan

Kembali ke Agraria reforma agraria, tanah-tanah yang dikuasai oleh militer yang berasal

dari tanah-tanah rakyat yang penguasaannya diperoleh dari cara- cara tidak sah dan disertai kekerasan dan tanah itu sedang dituntut rakyat hendaknya dijadikan objek land reform dan dikembalikan ke- pada rakyat. Sangat penting bagi pemerintah untuk segera mengem- balikan tanah rakyat yang dirampas militer dan menjauhkan tempat latihan tempur militer dari tanah rakyat dan permukiman penduduk.

Ketiga, sebagai bagian dari reformasi militer, TNI/POLRI tak bo- leh lagi terlibat dalam konflik agraria yang memperhadapkan rakyat versus pengusaha maupun warga versus pemerintah dan BUMN. Penggunaan kekerasan dan keamanan (repressive and security approach) dalam penanganan konflik agraria tidak akan pernah menyelesaikan konflik agraria, malah akan melahirkan pelanggaran hak asasi ma- nusia. Pimpinan TNI harus bersikap tegas kepada anggotanya. Dengan dalih apa pun, penembakan terhadap rakyat itu biadab, tak pantas dibela, apalagi dibenarkan. Jangan lindungi pelaku kekerasan karena bisa jadi preseden bagi yang lain untuk melakukan hal sama. Panglima TNI tak cukup minta maaf. Panglima mestinya segera me- manggil komandan yang bertanggung jawab di lapangan, meminta keterangan utuh dan segera menjatuhkan sanksi keras kepada pelaku.

Keempat, untuk mengatasi dan menyelesaikan ribuan konflik agraria di Indonesia, diperlukan lembaga khusus penanganan dan penyelesaian konflik agraria yang bersifat komite nasional indepen- den. Selama ini konflik agraria yang diproses dalam peradilan umum hanya menempatkan rakyat pada pihak yang selalu kalah dan tertu- tupnya ruang bagi rakyat untuk mengambil kembali tanahnya. Selain untuk menangani kasus lama dirancang pula strategi antisipatif agar kasus tanah struktural baru tak lagi bermunculan.

Kelima, kekerasan dan konflik agraria di Pasuruan harus jadi yang terakhir. Pihak berwenang harus mengusut tuntas pelanggaran hak asasi manusia dan menyelesaikan proses hukum melalui meka- nisme peradilan HAM, bukan peradilan militer yang bersifat eksklusif dan serba tertutup. Komnas HAM dan kepolisian perlu membentuk

Usep Setiawan tim investigasi dan segera mengumpulkan bukti serta keterangan

tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Dengarkan kesaksian warga di lapangan, catat secara cermat, lalu jadikan sebagai dasar pe- nanganan lebih lanjut. Wakil rakyat di DPR juga harus memberi per- hatian serius atas tragedi ini dan mengambil langkah-langkah politis jangka panjang, misalnya inisiatif menyusun RUU Perlindungan Hak Asasi Petani.

Percepat reforma agraria

Yang paling mendasar adalah perlunya penyelesaian sengketa tanah berprinsip keadilan sosial yang mengutamakan hak rakyat (petani) sebagai korban. Pemerintah harus memperhatikan sejarah pemilikan tanah di lapangan dan tidak terpaku hanya pada bukti formal. Pendekatan yang sifatnya sosio-historis dan mengutamakan golongan ekonomi lemah hendaknya membuka kemungkinan dikembalikannya tanah ke tangan rakyat. Langkah penanganan kasus tanah selama ini dirasa tak lagi efektif dan belum menunjukkan hasil kerja menggembirakan.

Selagi kita belum punya kelembagaan khusus sebagaimana di- usulkan di atas, struktur dan aparat BPN yang bertugas menangani perkara/konflik/sengketa tanah mesti bergerak lebih proaktif, cepat, dan sistematis. Pemerintah pusat dan daerah harus mengerahkan kemampuan dan sumber daya secara optimal sehingga hambatan mekanisme birokrasi tak perlu menunda, apalagi mengabaikan akar persoalan. Penanganan sengketa tanah tak akan berdampak banyak jika akar persoalan ketidakadilan agraria tidak dituntaskan.

Solusi utuh mengatasi sengketa tanah adalah merombak struktur penguasaan dan pemilikan tanah sehingga lebih berkeadilan. Pas- tikan rakyat miskin mendapatkan akses utuh atas tanah dan sumber- sumber kesejahteraannya. Berkaca pada Tragedi Pasuruan, gagasan untuk menghidupkan kembali Departemen Agraria, dan Peradilan Agraria serta membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria tampaknya patut kembali dicuatkan.

Kembali ke Agraria Komprehensifnya kelembagaan pengurus agraria ini akan

menjamin kapasitas negara dalam menjadikan tanah dan kekayaan alam diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semoga saudara-saudara kita yang wafat akibat Tragedi Pasuruan diterima di sisi-Nya dan kita kenang sebagai pahlawan rakyat. Yang terluka segera sehat dan kembali bangkit meneruskan perjuangan. Yang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang segera dibe- baskan demi keadilan dan kemanusiaan.

Reforma agraria sejati yang sudah lama dinantikan jangan sampai terhambat oleh Tragedi Pasuruan dan yang sejenisnya. Justru reforma agraria sejati harus cepat direalisasi demi keadilan sosial bagi seluruh anak bangsa.***