Pentingnya keberadaan ekosistem terumbu karang bagi manusia dapat dilihat dalam fungsi ekologisnya bagi biota laut dan lingkungan sekitarnya.
Adapun produk barang dan jasa yang menghasilkan manfaat nilai ekonomi Tabel 4.
Tabel 4 Fungsi ekologis barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang
Barang dan Jasa Fungsi Ekologis
Sumberdaya terbarui Produk makanan laut, material dasar dan obat-obatan, material
dasar lainnya seperti rumput laut, bahan souvenir dan perhiasan, koleksi karang dan ikan hidup untuk perdagangan
akuarium
Penambangan terumbu karang Pasir untuk bangunan dan jalan
Jasa struktur fisik Perlindungan garis pantai, membentuk daratan, mendukung
pertumbuhan mangrove dan lamun, pembangkitan pasir karang
Jasa biotik di dalam ekosistem Merawat habitat, pustaka genetik dan biodiversitas, regulasi
fungsi dan proses ekosistem, merawat daya lentur kehidupan Jasa biotik antar ekosistem
Mendukung kehidupan ”mobile link’, ekspor produksi organik seperti jaring makanan food web pelagis
Jasa bio-geo-kimia Fiksasi Nitrogen, Kontrol neraca CO
2
Ca, asimilasi limbah Jasa informasi
Memantau dan rekaman polusi, pengawasan iklim Jasa
sosial dan
budaya Dukungan rekreasi, turisme, nilai estetika dan inspirasi
artistik, kelangsungan mata pencaharian masyarakat, dukungan budaya, nilai spiritual dan reliji
Sumber : diadopsi dari Moberg dan Folke 1999
Potensi Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti yang diinformasikan oleh Costanza et al. 1997 tentang perkiraan kasar
“Global Economic Values of Annual Ecosystem Services” tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh beberapa tipe ekosistem
dan jasa utama yang diperankan
Tipe Ekosistem Nilai
per Ha
UStahun Nilai Global
milyar tahun Jasa Utama
Estuari 22 832
4 100 Siklus nutrient
Rawa 19 580
3 231 Suplai air dan gangguannya
Padang lamun 19 004
3 801 Siklus nutrien, makanan
Mangroveintertidal 9 990
1 649 Penanganan lembah dan gangguannya
Danau, Sungai 8 498
1 700 Regulasi air
Terumbu Karang 6 075
375 Wisata
Hutan Tropis
2 007
3 813
Regulasi iklim, Siklus nutrien, material kasar
Pesisir 1 610
4 283 Siklus nutrient
Hutan subtropics 302
894 Regulasi iklim, siklus nutrient
Laut terbuka 252
8 381 Siklus nutrient
Padang rumput 232
906 Penanganan limbah
Lahan tanaman 92
128 Makanan
Padang pasir -
- 1 925 Juta Ha
Tundra -
- 74.3 Juta Ha
Kutub -
- 1 640 Juta Ha
Urban -
- 332 Juta Ha
Sumber : Costanza et al. 1997
Tabel 6 Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya perikanan Komoditi Potensi
Ribu Tontahun Perkiraan Nilai
US Jutatahun Perikanan Tangkap Laut
5 006 15 101
Tangkap Perairan Umum 356
1 068 Budidaya Laut Mariculture
46 700 46 700
Budidaya Tambak 1 000
10 000 Budidaya Air Tawar
1 039 5 195
Industri Biotek Laut -
4 000 Total Nilai
82 064
Sumber : Adrianto dan Wahyudin 2007
Berdasarkan data LIPI, terdapat luas ekosistem terumbu karang di Indonesia sekitar 85 700 ha. Perhitungan kasar dapat ditaksir potensi wisata laut
pada ekosistem ini mencapai US 520.6 Juta per-tahun. Terumbu karang di Perairan Nusantara ini mencakup fringing reef seluas 14 542 km
2
; barrier reefs 50 223 km
2
; oceanic platform reefs 1 402 km
2
dan atolls 19 540 km
2
. Pada World Ocean Conference WOC di Manado 2009, menyebutnya Perairan
Nusantara terutama di Wilayah Indonesia Timur sebagai Coral Triangle of the World, karena terdapat biodiversitas karang 500-600 spesies yang terbesar di
dunia sehingga di wilayah perairan ini menjadi pusat produktivitas ikan tuna dunia. Selanjutnya, luas perairan dangkal nasional yang cocok untuk budidaya
laut rumput laut, ikan kerapu, kakap, baronang, kerang sekitar 24.5 juta ha DKP 2002. Jika ditaksir kasar berdasarkan nilai yang dihitung oleh Costanza et al.
1997, maka dapat diperkirakan potensi nilai ekonomi ekosistem perairan tersebut as coastal shelf adalah sekitar US 39.4 Milyar per tahun Nganro dan
Suantika 2009.
2.3 Konservasi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil
Dalam Agenda 21 disebutkan bahwa untuk pengembangan pulau kecil diperlukan pengelolaan yang terintegrasi untuk mencapai pembangunan yang
berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti, skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, sosial-
ekonomi dan budaya, sosial politik dan kelembagaan. Prasyarat dalam dimensi ekologi :
1 Aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat
penting; 2 Kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan
dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi lokal; 3 Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas
regenerasi. Dimensi sosial ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan
kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya dalam kerangka kapasitas regenerasi ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin
pengikutsertaan luas dari masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung
jawab dalam integrasi dan koordinasi pembangunan kepulauan kecil dengan undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana
setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya. Instansi ini perlu menjabarkan tingkatan kompensasi masalah lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam,
serta mempunyai kemampuan untuk berkerjasama dengan pihak luar Cincin-Sain et al. 2002.
Departemen Kelautan dan Perikanan 2001 telah menetapkan kebijakan mencakup 3 tiga aspek penting sebagai implementasi pengelolaan pulau kecil
dan wilayah pesisir secara terpadu, yaitu : 1 Kebijakan tentang hak-hak atas tanah dan wilayah perairan pulau kecil. Aspek
yang paling penting dalam kebijakan ini adalah bahwa untuk PPK dan wilayah perairannya yang dikuasaidimiliki diusahakan oleh masyarakat hukum adat,
maka kegiatan pengelolaan sepenuhnya berada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri. Oleh sebab itu, setiap kerjasama pengelolaan pulau-pulau
kecil antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung
lingkungan dan kelestarian sumberdaya. 2 Kebijakan pemanfaatan ruang pulau kecil. Dalam pemanfaatan ruang pulau
faktor penting yang perlu diperhatikan di antaranya adalah :
a Tingkat kerentanan terhadap bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi,
b Ketersediaan sarana prasarana, kawasan konservasi, endemisme flora dan fauna termasuk didalamnya yang terancam punah,
c Karakter sosial, budaya, dan kelembagaan masyarakat lokal, d Tata guna lahan dan pemintakatan zonasi laut,
e Tingkat pengelolaan suatu pulau kecil harus sebanding dengan skala ekonominya agar dapat diperoleh tingkat efisiensi yang optimal.
3 Kebijakan pengelolaan pulau kecil dan wilayah pesisir. Beberapa aspek penting dalam pengelolaan PPK yang perlu dipertimbangkan di antaranya adalah :
keseimbanganstabilitas lingkungan, keterpaduan kegiatan antar wilayah darat dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem dan efisiensi pemanfaatan
sumberdaya. Selain itu, pemerintah harus menjamin bahwa pantai dan perairan pulau-pulau kecil merupakan akses yang terbuka bagi masyarakat. Pengelolaan
PPK yang dilakukan oleh pihak ketiga harus memberdayakan masyarakat lokal, baik dalam bentuk penyertaan saham maupun kamitraan lainnya secara
aktif dan memberikan keleluasaan aksesibilitas terhadap PPK tersebut. Secara umum, pengelolaan pembangunan harus mengacu pada kaídah
pembangunan yang berkelanjutan. Beller 1990 menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan di pulau kecil bergantung kepada seberapa besar
jumlah penduduknya dapat mempertahankan kondisi sumberdaya alam, termasuk energi dan air, serta lingkungan ekosistem baik biofisik maupun tata nilai budaya.
Salah satu upaya awal untuk mendorong dan mempertahankan dinamika pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir dan laut adalah melalui
pengelolaan kawasan yang mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam dan pemanfaatan yang tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan yang
dimilikinya. Konsep daya dukung lingkungan yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumberdaya
dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut.
Daya dukung merupakan satu sistem manajemen diarahkan pada pemeliharaan atau restorasi dari ekologis dan kondisi sosial yang bisa diterima, disesuaikan
dengan sasaran manajemen area dimana tak satu pun sistem diarahkan pada manipulasi dari taraf penggunaannya Hall dan Lew 1998, serta berkaitan dengan
wisata maka daya dukung wisata adalah jumlah maksimum orang yang berkunjung pada satu tujuan wisata dalam waktu yang sama tanpa merusak
lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial WTO 1992. Pembangunan merupakan suatu proses terjadinya perubahan dalam
meningkatkan taraf kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Perubahan–perubahan yang terjadi dalam suatu
sumberdaya suatu kawasan, baik yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, maupun yang terjadi secara alami natural process merupakan wujud dinamika
adanya proses kehidupan di kawasan tersebut yang berdampak kepada kestabilan pada semua ekosistem kehidupan. Perencanaan pembangunan pada suatu kawasan
pesisir harus didasari dengan konsep–konsep model kajian yang strategis dan efektif untuk menjamin keberlanjutan melalui pendekatan sistem ekologi,
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir. Pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada
akhir abad 20 yang mendasari konsep berkelanjutan yaitu integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial Kay dan Alder 2005. Konsep
pengelolaan wilayah pesisir di dalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi.
Menurut The Encyclopedia Americana, konservasi diartikan sebagai manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menjamin
pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosfer secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang. Kawasan pelestarian alam untuk kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini memiliki 2 dua bentuk kawasan perlindungan, yaitu Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman
Wisata Alam. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam laut yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam adalah kawasan
pelestarian alam laut dengan tujuan utama pemanfaatannya bagi kepentingan parawisata dan rekreasi alam.
IUCN 1994 menyatakan kawasan dilindungi protected area adalah suatu areal, baik darat maupun laut yang secara khusus diperuntukkan bagi
perlindungan, pemeliharaan keanekaragaman hayati, budaya yang terkait dengan sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau
upaya-upaya efektif lainnya. Marine protected area MPA pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National
Monument di Florida seluas 18 850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir, menjadi pendorong bagi pembentukan MPA berikutnya. The Fort Jefferson
National Monument telah mendapat perhatian khusus pada The World Congress on National Park tahun 1962. Selanjutnya, pada tahun 1982 kesatuan kerja dari
MPA meliputi perpaduan antara wilayah laut, pesisir dan perairan tawar di daratan. MPA memiliki perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan
dibentuk berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA, yaitu: konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan Marine
Management Area MMA atau Area Terkelola Laut IUCN 1991. Pengelolaan MPA mendapat perhatian khusus pada The World Congress on
National Park and Protected Area yang ke-4 tahun 1992 di Caracas, yang tertuang dalam Action 3.5 meliputi: 1 Menggolongkan daerah pesisir-laut
sebagai perlindungan alam di berbagai wilayah yang telah memberi sumbangan pada sistem global; 2 Melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir dan
memastikan keberhasilan pengelolaan perlindungan alam daratan dan laut; 3 Mengembangkan dan menerapkan program pengelolaan MPA secara terpadu
IUCN 1994. Pada prinsipnya MPA berperan untuk memenuhi tujuan dari World Conservation Strategy, yaitu memadukan aktivitas konvervasi dengan non-
konservasi secara simultan, sehingga dapat meningkatkan manfaat dari pengguna. Aktivitas konservasi bertujuan untuk : 1 memelihara proses ekologis dan
melindungi sistem penyangga kehidupan, 2 mempertahankanpengawetan keanekaragaman jenis beserta ekosistemnya, dan 3 pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan aktivitas non-konservasi digunakan sebagai obyek penelitian, sarana pendidikan tentang flora-fauna dan
ekosistemnya, sarana dan parasarana wisata alam. Tujuan pengembangan MPA adalah melakukan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut secara
berkelanjutan, terutama yang terkait dengan keberlanjutan sumberdaya perikanan dan mengurangi dampak perubahan global climate iklim dunia.
Konservasi wilayah pesisir dan PPK menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan PPK serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya
pesisir dan PPK dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamanya. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan PPK adalah
kawasan pesisir dan PPK dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan PPK secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut secara berkelanjutan dilakukan dengan menyeimbangkan prinsip-prinsip perlindungan, pelestarian dan
kepentingan pemanfaatan secara tepat dalam konteks sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat, terutama masyarakat setempat yang
telah memiliki akses turun-temurun terhadap kawasan konservasi tersebut. Bentuk-bentuk pengembangan konservasi di Indonesia dilakukan dengan
pendekatan wilayah berupa konsep pengembangan Kawasan Konservasi Laut KKL skala besar, KKL skala kecil, KKL daerah dan konsep MMA. Pengelolaan
kawasan konservasi laut skala besar, seyogyanya dikelola dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan, atau pengelolaan bersamapendekatan co-
management. Menurut CIT 2004, manajemen adaptif adalah suatu proses formal “pembelajaran dari yang dikerjakan”, dimana aktivitas manajemen yang
dirancang sebagai percobaan untuk menguji perbedaan asumsi manajemen dan hipotesis. Adaptive Co-Management ACM adalah suatu pendekatan kolaboratif
ke manajemen adaptif yang melibatkan pemerintah, penasehat dan perencana yang dengan tegas dalam penetapan isu, pengembangan rencana dan luaran
manajemen. ACM bermakna sebagai hak tanggung-jawab, penetapan pihak yang terkait untuk belajar dalam suatu masa melalui tindakan sedemikian sehingga
mereka dapat memodifikasi keputusan masa depan “bagian yang adaptif”. Menurut Kay dan Alder 2005 zonasi didasarkan pada konsep pemisahan
dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, merupakan suatu sarana yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk
disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah sebagai pembagian kawasan
lindung dan budidaya berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna
memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan Dahuri et al. 2003. Pekerjaan penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena
bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Beberapa aspek yang harus dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir PPK, yaitu aspek ekologi biofisik,
sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, kawasan taman nasional ditata dalam sistem zonasi, yaitu
pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada
prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengaturmengelola jenis-jenis kegiatan manusia di dalam taman nasional laut, sehingga dapat saling
mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat di sekitar taman nasional tersebut. Pengelolaan kawasan konservasi laut skala
kecil melalui pendekatan partisipatif community-based, dalam hal ini masyarakat harus dilibatkan mulai dari identifikasi isu dan masalah sampai pada evaluasi dan
monitoring. Persoalan sumberdaya dan lingkungan pada dasarnya terletak pada
kenyataan manusia dapat melalui sebuah proses pembelajaran learning process secara evolusioner antar waktu sehingga manusia melakukan kegiatan ekonomi
pada level terbaik pada suatu waktu sesuai dengan daya dukung lingkungan. Sistem manusia dan sistem alam pada dasarnya adalah proses berubahnya postulat
dunia kosong empty world ke Postulat dunia penuh full world. Postulat dunia kosong yakni dunia relatif kosong dari manusia dan infrastruktur, sedangkan