Tingkat efisiensi teknik yang dicapai petani berbeda-beda dari sekitar 7 persen sampai 99 persen dengan rata-rata 65 persen. Namun secara umum tingkat
efisiensi teknik yang dicapai oleh petani cabai merah di daerah penelitian cukup tinggi. Singh 2007 menggunakan pendekatan stochastic frontier dalam
penelitiannya menghasilkan bahwa estimasi technical efficiency mengindikasikan bahwa usahatani dengan skala yang kecil lebih efisien dibandingkan skala
menengah dan besar.
2.2. Sumber-Sumber dan Tingkat Daya Saing Usaha Peternakan Sapi
Potong
Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Hal ini karena suatu produk yang
diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan makin meningkat. Daya saing merupakan salah satu kriteria
yang menentukan keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld 2004 menjelaskan bahwa setiap negara melakukan
perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan gains from trade bagi mereka.
Alasan pertama negara-negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu,
selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat
melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu- sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala
ekonomis economics of scale dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa
membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber
dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut
mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Krugman dan Obstfeld 2004 menjelaskan bahwa perdagangan
internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang memiliki keunggulan komparatif. Suatu negara
memiliki keunggulan komparatif comparative advantage dalam memproduksi suatu barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi barang tersebut
dalam satuan barang lain lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Ada keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif dengan
perdagangan internasional yaitu perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan
mengekspor produk yang memiliki keunggulan komparatif. Salvatore dan Diulio 2004 menjelaskan bahwa meskipun perdagangan
dapat memberikan keuntungan yang besar, banyak negara membatasi aliran perdagangan yang bebas dengan mengenakan tarif, kuota, dan hambatan-
hambatan yang lain. Tarif impor adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap barang-barang impor. Kuota impor adalah hambatan kuantitatif pada jumlah
barang yang akan diimpor pada tahun tersebut. Hambatan yang lain meliputi peraturan kesehatan, dan standar keamanan dan polusi. Hambatan perdagangan
didukung oleh tenaga kerja dan berbagai perusahaan dalam sejumlah industri sebagai bentuk perlindungan terhadap pesaing asing. Namun hambatan ini
umumnya membebani masyarakat secara keseluruhan karena praktik ini mengurangi ketersediaan barang dan meningkatkan harganya.
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam
pengusahaan komoditi tersebut. Dalam periode 1990-1995, pengukuran daya
saing sektor industri, agribisnis atau komoditas mengacu pada alat analisis parsial, seperti Relative Trade Advantage RTA, Revealed Competitive Advantage
RCA, dan Agribusiness Executive Survey AES Daryanto 2009. Analisis deskriptif kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence
Index ACI. Monke dan Pearson 1995 memperkenalkan Policy Analisis Matrix
PAM yang dinilai mampu mensinergikan pengukuran keunggulan komparatif analisis ekonomi dan keunggulan kompetitif analisis finansial. Selain
digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas, PAM juga dapat melihat sejauh mana dampak kebijakan harga input, kebijakan harga output, atau
kombinasi keduanya yang dilakukan pemerintah terhadap produsen. Daya saing subsektor peternakan ditentukan oleh beberapa faktor,
diantaranya : 1 kekayaan sumberdaya alam dan keragaman hayati dalam menyediakan bahan baku pakan jagung, kedelai, kacang tanah, ubikayu, limbah
sawit, dan hijauan pakan ternak, 2 sumberdaya manusia sebagai pelaku usaha peternakan, 3 ketersediaan kapital atau modal yang memadai, 4 inovasi
teknologi baru dan pengembangan teknologi tepat guna di bidang peternakan serta adaptasinya ditingkat peternak akan menjadi sumber pertumbuhan produktivitas
subsektor peternakan, dan 5 kelembagaan peternak sebagai wadah transfer teknologi dan informasi Daryanto, 2009.
Penelitian mengenai daya saing keunggulan komparatif dan kompetitif telah banyak dilakukan diantaranya Haryono 1991, Emilya 2001 Purmiyanti
2002, Sumaryanto dan Friyanto 2003, serta Kurniawan 2008. Untuk penelitian daya saing usaha ternak belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian
yang relevan dengan penelitian ini berkaitan dengan daya saing usaha peternakan khususnya usaha ternak sapi potong diantaranya adalah penelitian Lole 1995,
Nalle 1996, Nefri 2000, Perdana 2003, Lamy et al. 2003, Simatupang dan Hadi 2004, Widodo 2006 serta Daryanto 2009.
Simatupang dan Hadi 2004 menyimpulkan bahwa diproyeksikan Indonesia tahun 2020 akan mengalami defisist produksi daging sapi sebesar 2.7
juta ekor. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput
grass-fed livestock farming, seperti sapi potong, kerbau, kambing, dan domba, sehingga daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada sistem
peternakan berbasis pakan asal biji-bijian grain-fed livestock farming, yaitu ayam ras pedaging dan petelur. Oleh karena itu, untuk mengembangkan usaha
sekaligus meningkatkan daya saing peternakan di Indonesia, dengan mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi
termasuk pasar domestik yang sangat besar, diperlukan pengembangan teknologi spesifik lokasi usaha peternakan intensif grain-fed yang berorientasi pada
permintaan pasar domestik; sekaligus memfasilitasi juga usaha peternakan berbasis pakan rumput agar tidak punah.
Analisis daya saing usaha ternak sapi potong menggunakan metode analisis PAM menunjukkan hasil yang berbeda untuk berbagai daerah. Penelitian
Nalle 1996 terhadap pengusahaan ternak sapi potong di wilayah Nusa Tenggara Timur, memperlihatkan bahwa baik untuk sistem pengembalaan maupun sistem
ikat serta pada orientasi substitusi impor dan perdagangan antar wilayah nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik KBSD nya lebih kecil dari satu. Hal ini
berarti bahwa pengusahaan komoditi ternak sapi potong di Nusa Tenggara Timur adalah layak dan memiliki keunggulan komparatif. Namun Nefri 2000
menghasilkan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong di Indonesia, memperlihatkan tingkat daya saing
yang relatif masih rendah baik sebelum atau sesudah perbaikan pakan, dimana nilai efisiensi ongkos produksi CP ratio adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat
pengembalian modal ROI 12-13 persen serta Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik KBSD 0.52-0.56.
Penelitian yang dilakukan Perdana 2003 menghasilkan bahwa usaha penggemukan sapi menguntungkan secara sosial dan dengan sendirinya memiliki
keunggulan komparatif. Selain itu tingkat keuntungan yang diperoleh antar skala usaha kecil, sedang, dan besar tidak bebrbeda nyata. Widodo 2006
menghasilkan pengelolaan sapi potong model Sistem Integrasi Pertanian Ternak SIPT memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai Koefisien Biaya
Sumberdaya Domestik KBSD atau Domestic Resources Cost Coeficient DRCC 1.0 yaitu 0.57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan diarahkan
pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong harga batas dan memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan
dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing
secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan tarif pemerintah masih rendah yaitu dibawah lima persen.
Lamy et al. 2003 menganalisa sekelompok indikator dan faktor-faktor determinan yang memungkinkan perbandingan penilaian daya saing sektor
produksi daging sapi di Argentina dan Kanada. Hasil analisis menunjukkan bahwa pangsa ekspor Argentina menurun sementara untuk Kanada meningkat. Biaya
pemasaran di Argentina lebih tinggi dibandingkan Kanada. Namun produsen di Argentina berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan Kanada
jika dilihat dari potensi lahan, dimana Argentina memiliki wilayah luas yang tidak digunakan dan dapat dimanfaatkan untuk ternak produksi. Sebaliknya Kanada
tidak memiliki lahan tidur seperti itu dan karenanya untuk meningkatkan produksi ternak maka harus dilakukan melalui peningkatan efisiensi seperti peningkatan
produksi padang rumput, faktor genetik, dan lain-lain. Penelitian Daryanto dan Saptana 2009 menghasilkan bahwa beberapa
faktor penentu dalam pengembangan kemitraan berdaya saing, diantaranya : 1 konsolidasi kelembagaan di tingkat peternak rakyat, 2 pengembangan sistem
informasi, terutama informasi pasar dan harga, serta 3 perlunya perlindungan peternak rakyat dan adanya praktek-praktek kegiatan usaha yang mengarah
kepada monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut terlihat
bahwa penelitian sebelumnya khususnya untuk usaha ternak sapi potong mengkaji secara terpisah antara analisis produksi dengan daya saing. Untuk itu dalam studi
ini peneliti ingin menganalisis produksi dan daya saing sebagai suatu kesatuan karena produksi dan daya saing dalam suatu usahatani ternak sangat terkait.
2.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Komoditas